RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD 400,2 miliar atau Rp 5.694 triliun (estimasi kurs 14.228 per dolar AS).
Utang tersebut terdiri dari Utang Luar Negeri sektor publik atau Pemerintah dan bank sentral sebesar USD 192,4 miliar dan Utang Luar Negeri sektor swasta, termasuk BUMN sebesar USD 207,8 miliar.
Utang Luar Negeri Pemerintah meningkat setelah pada bulan sebelumnya mengalami kontraksi. Posisi Utang Luar Negeri pemerintah pada akhir April 2020 tercatat sebesar USD 189,7 miliar atau tumbuh 1,6 persen, berbalik dari kondisi bulan sebelumnya yang terkontraksi 3,6 persen.
Dengan angka sebesar itu, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang menjadi salah satu alokasi terbesar dalam APBN. Kas negara tersedot untuk bayar utang tiap tahun. Makin besar jumlah utang, jumlah kas negara yang tersedot untuk bayar cicilan utang juga makin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas.
Risiko lainnya, dengan makin besarnya ULN maka pembayaran utang, baik pokok dan bunganya, juga akan makin tinggi. Pasalnya, mayoritas ULN dalam Dolar. Sementara perbandingan nilai dolar dan rupiah sangat jauh, dengan begitu secara pasti membuat kebutuhan akan mata uang asing khususnya Dolar makin besar.
Akibatnya, kurs Rupiah akan terdepresiasi (menurun). Melemahnya Rupiah dan makin tingginya Dolar tentu akan membawa berbagai dampak terhadap perekonomian dan kehidupan rakyat secara umum.
Risiko terbesarnya adalah gagal bayar utang. Zimbabwe menjadi contoh cerita yang mengenaskan. Gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepeda Cina. Sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang. Berikutnya Nigeria.
Model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur.
Begitu juga Sri Lanka, Setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun.
Tak ketinggalan Pakistan. Pembangunan Gwadar Port bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus rela dilepas. Risiko seperti itu tidak mustahil.
Bila melihat pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan secara massif, polanya mirip dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara yang gagal membayar utang. (Rmol.co, 12/09/2018).
Selain bisa membangkutkan negeri ini, tentu seluruh utang itu disertai bunga alias riba yang diharamkan oleh Islam. Justru di situlah masalah terbesarnya. Pasalnya, utang disertai riba itu pasti akan memunculkan bahaya terbesar: datangnya azab Allah SWT.
Selain itu, perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tenteram akan terus jauh dari capaian.
Tak ada jalan lain untuk keluar dari persoalan ini, kecuali dengan mencampakkan sistem kapitalisme-liberal dan beralih kepada sistem ekonomi Islam secara total.
Islam akan menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat tanpa melihat suku, bangsa, warna kulit maupun agama.
Kebijakan politik ekonomi Islam adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan setiap individu rakyat; juga menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat.
Islam menetapkan kekayaan alam yang besar sebagai milik umum, milik bersama seluruh rakyat, yang haram dikuaai swasta apalagi asing.
Kekayaan alam itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat. Hasilnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat.
Patokan dalam pendistribusian itu adalah setiap daerah diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan dari daerah itu. Sebab, Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian dan pemerataan kekayaan di antara rakyat dan antardaerah.
Kesenjangan dan ketimpangan antar individu dan antar daerah akan segera bisa diatasi dengan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh itu.
Islam, ketika diterapkan secara total, pasti akan memberikan kebaikan kepada siapapun, termasuk non-Muslim. Syariah Islam inilah yang akan memberikan kebaikan kepada kita di dunia dan di akhirat. Dan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan bisa nyata-nyata diwujudkan.[]
Comment