RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Apa yang kita ingat ketika mendengar kata Sebrenica? Tentu pikiran kita tertuju pada pembantaian kaum muslim. Pembantaian kaum muslim yang dilakukan oleh Ratco Maldik sebagai komando militer. Beliau menyuruh kepada anak buahnya agar menghabisi kaum Muslim Bosnia. Maka ketika pembantaian dimulai, rakyat Sebrenica segera menyelamatkan diri.
Mereka dibantai secara masal, digiring memakai buldoser dan dikubur hidup-hidup. Ratco berkata “jangan takut sebelum mereka dibantai. Bahkan kaum wanita dan anak-anak perempuan diperkosa. Jumlah korban pun tidak sedikit, dalam 10 hari 8000 kaum Muslim meninggal. (bbcnews.com, 11/07/2020)
Pembantaian tersebut dimulai sejak Yugoslavia bubar. Republik Sosialis Bosnia dan Herzegovina yang ketika itu adalah bagian dari Yugoslavia adalah wilayah multi-etnis Bosniak Muslim, Serbia Ortodoks dan Kroasia Katolik. Bosnia-Herzegovina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1992 setelah referendum dan diakui tidak lama kemudian oleh pemerintah AS dan Eropa.
Tetapi kelompok Serbia Bosnia memboikot referendum. Segera setelah itu, pasukan Serbia Bosnia didukung oleh pemerintah Serbia menyerang negara yang baru terbentuk. Mereka mulai mengeluarkan Bosniaks dari wilayah itu untuk menciptakan “Serbia Raya” kebijakan yang dikenal sebagai pembersihan etnis.
Kronologi tersebut sama seperti yang dialami kaum muslim di negeri lain. Seperti Rohingya yang dibantai dan dibakar hidup-hidup oleh kaum Budha. Palestina yang terus menerus dibantai sampai hari ini. Sebelum Covid-19 mewabah, etnis Uighur telah di masukkan ke kampung konsentrasi.
Seluruh pembantaian tersebut seharusnya membuat sadar bagi kaum Muslim bahwa hak asasi manusia yang diagung-agungkan selama ini tidak berpihak kepada kaum Muslim. Dan PBB yang diharapkan atas perlindungannya pun tidak ada.
Buktinya, tragedi Sebrenica, Uighur, Rohingnya dan genosida yang lain. Tidak ada yang bergerak untuk membebaskannya.
Bahkan kalaupun ada, mereka hanya mengeluarkan satu kata “mengecam atau mengutuk”. Atau bila kemanusiaan muncul, mereka mengirimkan obat-obatan. Seolah-olah obat sebagai penyelesaian segala masalah. Akan tetapi ketika kembali sehat, mereka berhadapan kembali dengan kaum Dajjal, seperti di Palestina selama ini.
Padahal penguasa Muslim mempunyai kekuasaan yaitu dapat menggerakkan militernya untuk menolong mereka. Akan tetapi, penguasa justru bercengkrama dengan pemimpin pembantai tersebut. Penguasa Muslim lebih takut pemboikotan dari pada nyawa kaum Muslim binasa. Akhirnya penguasa Muslim pun ikut tidak bisa berkutik sama sekali.
Apa yang kita saksikan pembantaian selama ini, bukanlah sinetron India atau Korea yang hanya dilihat dan didengar. Bila ada yang mengalami penderitaan cukup hanya berdoa. Padahal berdoa seharusnya dilakukan ketika manusia sudah ikhtiyar.
Sebagaimana
Rasullullah saw. bersabda, “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya.
Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, apakah sudah ada kaum Muslim yang melakukan itu semua. Padahal pembantaian demi pembantaian terus terjadi sejak runtuhnya khilafah tanggal 3 Maret 1924. Tentu saja belum. Sebab yang menghalangi kaum Muslim dan penguasanya adalah nasionalisme masih bertengger di mata mereka.
Inilah rusaknya demokrasi sekular yang telah memecah belah umat Islam. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Dan mereka disekat hanya masalah perbedaan suku, ras, agama dan warna kulit. Itulah landasan nasionalisme selama ini.
Jika sistem bobrok ini dibiarkan, maka lambat laun kaum Muslim akan binasa dari muka bumi. Oleh karena itu, kebobrokan sistem tersebut harus segera diganti dengan sistem lain.
Di mana sistem yang pemimpinya dapat mencabut nasionalisme dari dada kaum Muslim. Dan dapat menggerakkan militernya untuk menolong saudaranya.
Sistem tersebut tidak lain adalah Sistem Islam. Sebab dalam Islam, pemimpin adalah perisai bagi umatnya. Sebagaiman hadits Rasulullah saw. yaitu :
Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Oleh sebab itu, hanya dalam Islam-lah nyawa dan harta kaum muslim akan terjaga dari kezaliman orang kafir walaupun hanya setetes darah. Sebab, dalam Islam nyawa manusia lebih berharga dari pada kekayaan di muka bumi.
Sebagaimana Rasulullah saw. menjelaskan dalam haditsnya:
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)
Bukan hanya orang mukmin yang mendapat perlindungan akan tetapi orang non-muslim pun sama mendapatkan perlindungan. Baik ibadahnya maunpun nyawanya.
Bahkan Islam juga membiarkan non-muslim hidup berdampingan dengan Muslim, selama non-muslim tidak memusuhi dan memerangi. Dalam Daulah Islamiyyah non-muslim seperti ini dinamakan kafir dhimmy, yang mana harta dan darahnya terjaga.
Bahkan Rasulullah saw. menyatakan dalam hadis, bahwa barang siapa menyakiti kafir dhimmy tak ubahnya menyakiti kaum Muslim. Diriwayatkan Al- Khatib dari Ibnu Mas’ud Rasullullah saw bersabda:
“Barang siapa menyakiti dhimmy, maka aku berperkara dengannya, dan barang siapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari akhirat.”( Imam al-jalil Abu Zahrah, Zuhrat Al- Tafaasir, juz1, hal 1802.
Maka dari itu hanya dalam sistem Islam yang akan menjaga kehormatannya kaum Muslim dari serangan orang kafir. Sebab dalam Islam diibaratkan satu tubuh jika ada bagian tubuh yang sakit maka seluruh tubuh ikut merasakannya.
Oleh karena itu jika ada pembantaian seorang Muslim maka Muslim yang lain pun ikut merasakannya dan segera membebaskannya. (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bishawab.[]
*Member AMK
Comment