Sunarti, Penulis |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pagi itu langit menyibak bumi dengan awan birunya. Membias warna perak Sang Surya menembus jajaran pinus di lereng pegunungan. Cahaya semburatnya membias sebuah rumah sederhana yang berbalut kabut. Genting coklat tua berlumut kehijauan yang mulai menghitam, menghiasi atap rumah itu. Papan kayu jati yang mulai memudar warnanya, menutup rapi dinding-dindingnya. Pintu yang sudah terbuka, siap menyambut cahya Surya.
Tampak sesosok pria merapikan buku-buku di atas meja tamu. Kaca mata minus berbentuk bulat lonjong, nangkring di hidung hingga kepalanya. Frame hitam menambah ketegasan hitam bola matanya. Tubuhnya yang ramping, berbalut kemeja kotak-kotak berwarna biru tua. Memakai celana hitam rapi dan berikat pinggang sewarna. Bersepatu kulit hitam mengkilat.
Di kursi dekat pria itu, seorang perempuan sepuh duduk menungguinya. Senyum di raut mukanya menyisakan rupawan yang tersisa di masa mudanya. Rambutnya yang bergelung kecil, tampak dari luar kerudungnya. Warna putih rambutnya tampak sedikit menyembul di atas bagian telinga kanannya. Tubuh semampai dan ramping berbalut kebaya. “Nyamping” jarit batik bermotif beras kutah melilit longgar pinggang hingga kakinya. Punggung kaki yang sudah tampak keriput, memakai sandal jepit biru tua.
“Ibu, saya hari ini pulangnya mungkin malam. Ada anak-anak pondok setor hafalan sore nanti. Dan besok, mungkin jadwal saya menginap di pondok. Ibu maafkan anakmu ini”, kata pria itu, sambil menahan air matanya.
“Iya Le. Hati-hati! Iya, ibu mengerti. Sabar, suatu saat nanti akan datang jodoh terbaik dari Allah. Semoga istri sholihah benar-benar nanti engkau dapatkan. Aamiin!” jawab Ibu itu dengan senyum khasnya. “Kalau sampai hari ini belum engkau temukan jodohmu, maka bersabarlah. Carilah dengan jalan yang Allah Ridhloi! Pertahankan keyakinanmu yang sudah di jalanNya, Le!” lanjut ibu itu. Nada datarnya membuat Sang Anak bisa menahan air matanya. Rasa tenang menghiasi relung hatinya.
“Aamiin. Iya, insyaallah, Ibu. Doa Ibu semoga Allah ijabah. Dengan keyakinanku dan doamu ibu, insyaallah, akan selalu yakin akan jalan yang kupilih”, jawab Sang Anak. Dengan penuh kasih sayang dia peluk ibunya. “Saya memilih wanita, yang mau menikah dengan saya dan bisa merawat ibu. Karena tidak bisa dipungkiri, di masa sekarang sangatlah sulit untuk mencari istri sholihah. Sulit bukan berarti tidak bisa, Bu. Insyaallah, dengan ridhlo Ibu juga, akan ada jodoh saya nanti. Sudah ya, Bu, saya berangkat dulu. Assalamualaikum” diciumnya tangan kanan Ibunya dan segera beranjak menuju motor buntutnya.
“Waalaikumsalam. Hati-hati, ya Le!” jawab Ibunya sambil mengantar menuju motornya. Ibu ini tinggal di rumah sederhana dengan seorang anak yang masih berstatus lajang. Keempat anaknya yang lain sudah menikah dan berdomisili ratusan kilometer dari tempat tinggalnya. Anak yang bersamanya adalah Si Ragil (Si Bungsu). Seorang yang sederhana dan selalu berupaya agar bisa berkepribadian sesuai dengan ajaranNya.
Si Bungsu, dialah pria itu. Bisa dibilang usianya tidak lagi bisa dibilang muda. Dia memilih menjauh dari hiruk pikuknya remaja berpacaran. Bukan karena enggan untuk menyelami pribadi wanita, namun lebih kepada keyakinan terhadap prinsipnya. Baginya, ketika Allah mempertemukan jodohnya, dia memilih dengan jalan yang halal. Ta’aruf, khitbah dan nikah, baru pacaran. Begitu keyakinannya. Meskipun tidak sedikit wanita berusaha mendekat padanya, namun ketika mengajaknya untuk jauh dari ketaatan, maka ditolaknya. Demikian juga sebaliknya, dia tidak mau berdekatan dengan wanita, bukan karena kesombongannya. Namun lebih kepada ketaatannya pada Allah semata.
Siapa yang tidak memiliki cita-cita untuk membangun keluarga sakinah, mawadah wa rahmah? Insyaallah, setiap muslim mengidamkannya. Namun tak jarang, manusia memilih jalan yang dilarang oleh aturan Allah. Memilih jalan pendekatan kepada lawan jenis dengan berpacaran. Bagi peradaban sekarang, hal seperti ini sudah lazim. Mereka memuaskan diri melampiaskan gharizah nau’ dengan cara yang salah di mata Allah. Bergaul dengan membangun kedekatan dengan alasan untuk saling mengenal. Padahal hubungan sudah selayaknya suami istri (naudzubillah).
Inilah peradaban yang mengutamakan hak manusia. Semua perbuatan bergantung pada penilaian manusia. Bukan pada Sang Maha Pengatur dan Maha Memiliki Kehidupan. Semua disesuaikan dengan cara pandang masing-masing. Sebagaimana melampiaskan gharizah nau’ (naluri biologis/seks/kasih sayang).
Dalam pandangan peradaban Islam, yang dimaksud taaruf atau berkenalan ada aturannya. Berkenalan/taaruf dengan pendampingan mahram atau orang lain. Dalam taaruf, sebatas biodata, mengetahui wajah asli antara laki-laki dan wanita. Mengetahui silsilah keluarga, latar belakang kehidupan termasuk visi dan misi kelak ketika menikah.
Setelahnya diperkenankan berkenalan, maka sang lelaki boleh memilih. Boleh melanjutkan atau membatalkan taarufnya. Namun, berkenan atau tidak untuk dilanjutkan pada proses khitbah, dia harus bersikap makruf.
Demikian juga Sang Wanita, dia punya hak untuk menolak. Setelah taaruf dan dirasa tidak cocok dengannya, dia boleh membatalkan taarufnya. Dan proses khitbah tidak dilanjutkan karenanya. Namun, penolakan juga harus dengan cara yang makruf. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw : Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari & Muslim)
Apabila disetujui oleh kedua belah pihak, maka taaruf dilanjut dengan khitbah. Sedikit banyak diperbolehkan mengetahui kebiasaan masing-masing. Namun tetap menjaga jarak. Tidak diperkenankan bertemu tanpa ada pendamping. Komunikasi sebatas keperluan persiapan untuk menikah. Selebihnya tidak diperbolehkan. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw “Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Dalam dua tahap ini proses menjadi rahasia dari kedua belah pihak. Baik pihak laki-laki maupun pihak wanita, sekaligus keluarganya. Juga menjadi rahasia bagi orang-orang yang memprosesnya.
Harus diingat satu hal juga, bahwasanya ketika proses khitbah berlangsung, harus dipastikan keduanya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman.
Demikianlah ajaran Islam meberikan gambaran tentang proses perkenalan, pendekatan hingga menuju pernikahan. Pacaran dalam Islam itu hanya ada setelah menikah. Apabila dilakukan sebelum menikah, maka terkategori mendekati zina. Allah memperingatkan kepada makhluknya, larangan berzina. Dalam FirmanNya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (al-Israa’: 32).
Bahkan bisa sampai berzina. Sedangkan zina termasuk dosa besar. Maka sebagai “jomblo” sebelum menemukan calon pengantinnya maka memilihlah proses yang dihalalkan oleh syara’, itu pilihan tepat untuk taat yang sebenar-benarnya.[]
Comment