RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kasus salah deteksi dalam uji cepat Corona menggunakan rapid test membuat masyarakat panik. Hal ini terjadi pada 51 tenaga kesehatan RSUD Kota Bogor yang dinyatakan positif Corona pasca rapid test.
Namun setelah menjalani tes swab, mereka semua negatif Corona. Kasus salah deteksi juga terjadi di Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan Polri di Sukabumi. Pada 1 April lalu, hasil rapid test menunjukkan 300 polisi positif Corona.
Belakangan hasilnya berbalik, hasil uji swab menunjukkan hanya 82 polisi yang positif. Walhasil akurasi rapid test ini menjadi masalah di berbagai daerah.
Uji rapid test hanya mendeteksi antibodi seseorang akibat kehadiran virus di dalam tubuhnya. Bisa saja antibodi belum terbentuk meski virus sudah
masuk ke dalam tubuh. Jadi hasil negatif belum tentu menujukkan tidak terinfeksi
Corona.
Begitu pula sebaliknya, hasil positif belum tentu terinfeksi Corona karena bisa jadi antibodi terbentuk akibat virus lain.
Hasil pengujian salah adalah bencana dan berbahaya. Kesalahan pendeteksian virus bisa memengaruhi kejiwaan
seseorang. Mereka yang dinyatakan positif padahal sebenarnya negatif bisa
terkena gangguan psikosomatis atau kecemasan yang berlebihan.
Lalu, mengapa Indonesia justru mengimpor besar-besaran alat ini dari Tiongkok maupun Belanda? Padahal beberapa negara menolak alat tersebut karena ketidakakuratannya.
Pengujian yang tepat adalah menggunakan tes swab (PCR). Hanya saja tes ini harganya sangat mahal dan tidak semua laboratorium di Indonesia bisa melakukannya. Bukan hanya alat-alat yang dibutuhkan, tes swab juga membutuhkan fasilitas laboratorium yang memadai.
Dalam menghadapi wabah Corona, pemerintah cenderung gelagapan alias tidak siap. Fasilitas kesehatan yang ada tidak mencukupi bahkan di awal pandemi pemerintah cukup santai menanggapinya.
Banyak tenaga ahli menyarankan daripada impor alat yang tidak akurat (rapid test), seharusnya pemerintah fokus mengembangkan laboratorium dan memperbanyak alat uji PCR. Sayang sekali pemerintah kekeuh impor alat berbentuk batangan ini dari Tiongkok.
Dalam Islam, pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan ilmu/keahlian, pemerintah akan mendengarkan saran tenaga ahli bukan suara mayoritas atau kepentingan orang-orang tertentu.
Sayangnya, kapitalisme yang sudah lama diadopsi Indonesia justru mengarahkan kebijakan untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya. Inilah kesalahan cara pandang dalam pengurusan rakyat. Sangat fatal akibatnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang menomor satukan hajat hidup masyarakat, karena cara pandang politik Islam adalah riayah suunil ummah. Bingkai politiknya bukan Kapitalisme tapi Islam.
*Alumni Mikrobiologi, UGM 2008_
Tinggal di Bogor, Jawa Barat
Comment