Sulit Atasi Kemiskinan? Sistem Islam Solusinya

Opini454 Views

 

 

Oleh: Siti Eva Rohana, S.Si, Pegiat Literasi

__________

 

RADARINDONESIA.NEWS.COM, JAKARTA -Kemiskinan menjadi persoalan besar  yang tak kunjung selesai. Setiap tahun angka kemiskinan selalu mengalami peningkatan.

Melansir dari kemenkeu.go.id (30/11/22), setidaknya terdapat dua strategi pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara, dan kedua membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru

Strategi dengan berbagai upaya pemberantasan, pemberian dana bantuan tampaknya belum mampu menjadi solusi tuntas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Pemerintah bertekad untuk menuntaskan kemiskinan mencapai target 0 pada tahun 2024. Namun ternyata target tersebut sulit untuk direalisasikan.

Dikutip dari laman CNN Indonesia (6/4/23), kemiskinan ekstrem di Indonesia kini berada di level 3,2 %, namun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyebut target pengentasan kemiskinan ekstrem nol pada 2024 diturunkan menjadi 2,5 persen.

Untuk mencapai target nol, pemerintah perlu mengentaskan kemiskinan terhadap 5,6 juta orang pada 2024. Penurunan target tersebut, mengacu pada batas garis kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia, yakni penghasilan US$2,15 per atau Rp32.035 per orang per hari (asumsi kurs Rp14.900 per dolar AS).

Dengan angka Bank Dunia, Suharso melihat tantangan Indonesia masih cukup berat. Karenanya, perbaikan data secara total dan integrasi program yang disertai dengan pemberdayaan ekonomi yang masif harus segera dilakukan.

Menurut BPS, penduduk miskin adalah orang yang pengeluarannya kurang dari garis kemiskinan. Garis itu dibuat BPS dengan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam nilai pengeluaran dalam rupiah.

Jika dihitung dari besaran GK Rp535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp17.851 per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Ini artinya, warga negara Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp535.547 per kapita masuk kategori tidak mampu. BPS melaporkan jumlah tersebut merupakan data kenaikan garis kemiskinan (GK) pada September 2022 yang naik sebesar 5,95% dibandingkan Maret 2022, dari semula Rp505.469 menjadi sebesar Rp535.547 per kapita per bulan. Ini adalah kenaikan tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.(cnbcindonesia.com, 19/01/23).

Di tengah melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia, alih-alih semakin masif bantuan yang diberikan, nyatanya justru pemerintah akan menurunkan jumlah bantuan yang diberikan bagi masyarakat miskin. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa akan diganti menjadi BLT Kemiskinan Ekstrem mulai 2023. Penerimanya adalah keluarga berstatus miskin ekstrem, yakni berpenghasilan di bawah Rp 11.633 per/kapita/hari. Jika lebih dari Rp 11.633 / kapita / hari maka tidak miskin dan tidak berhak menerima bantuan (tegalharum.desa.id).

Padahal jika kita perhatikan masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp 11.633 per/kapita/hari, belum tentu dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sekedar makan pun dalam satu hari jauh dari kata cukup, belum lagi harus menanggung kebutuhan lain semisal tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dll.

Berubahnya kebijakan pemberian BLT bagi masyarakat miskin kepada masyarakat ekstrem, menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap menuntaskan masalah kemiskinan. Pemerintah berusaha untuk mengurangi beban tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan bagi warganya.

Ini bermula dari penerapan kapitalisme yang menganggap kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Padahal arti miskin harus dilihat sesuai realitanya bukan dihitung berdasarkan angka. Itulah sebabnya kapitalis tidak memiliki standar baku dalam menentukan angka kemiskinan. Pada akhirnya, standar kemiskinan berbeda-beda di berbagai negara.

Standar kemiskinan yang dihitung dengan angka tanpa memperhatikan faktanya ibarat gunung es yang tak tampak di atas kertas bisa jadi lebih banyak. Garis kemiskinan seperti ini juga berpeluang diubah sesuai kepentingan yang berkuasa.

Dengan perubahan standar kemiskinan, para penguasa bisa mengklaim angka kemiskinan menurun. Dengan begitu, ia akan dianggap sebagai pemimpin yang sukses mengentaskan kemiskinan.

Selama Indonesia menjadikan kapitalisme sebagai sistem kehidupan maka kemiskinan akan terus ada di Indonesia. Sebab kemiskinan adalah bagian konsekuensi penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini peran negara hanya sebagai regulator dan bukan penanggung jawab nasib umat.

Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dengan berpedoman pada syariat Allah. Ada banyak mekanisme Islam untuk menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat.

Pertama, pengaturan dan pengelolaan kepemilikan. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini dalam tiga aspek kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Adanya kepemilikan individu ini menjadikan rakyat termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya.

Aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh dimiliki sama sekali oleh individu atau dimonopoli swasta. Karena ini adalah harta umat, maka pengelolaannya diserahkan pada negara agar hasilnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh umat.

Adanya kepemilikan negara dalam Islam akan menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup untuk mengurusi umat. Termasuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin.

Kedua, distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan yang semakin tinggi. Maka, Islam telah mewajibkan negara untuk mendistribusikan harta kepada individu rakyat yang membutuhkan.

Ketiga, jaminan kebutuhan pokok oleh negara. Barang-barang berupa pangan, sandang, dan papan adalah kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi. Tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Keamanan, pendidikan, kesehatan pun merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dipenuhi. Negara lah yang melaksanakan dan menerapkan berdasarkan syariat Islam.

Keempat, sanksi keras terhadap koruptor. Abdurahman al-Maliki dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam menuliskan, bagi seseorang yang menggelapkan uang atau sejenisnya (korupsi) akan dikenakan ta’zir enam bulan sampai lima tahun penjara. Namun, jika jumlahnya sampai taraf membahayakan ekonomi dan kerugian negara, koruptor bisa dihukum mati.

Pengaturan Islam yang begitu rinci telah disebutkan dalam banyak kitab-kitab ulama yang merujuk pada Al-Qur’an dan sunah. Tata kelola yang langsung dibuat oleh Sang Pencipta, telah mengantarkan umat manusia menuju pada fitrahnya, yaitu hidup dalam kesejahteraan dan keadilan.

Peraturan tersebut hanya bisa diterapkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Wallahu a’lam bishawab. [SP]

Comment