Subaidah SP.d |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sudah menjadi langganan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa wilayah Indonesia khususnya di pulau Kalimantan dan Sulawesi terjadi hampir tiap tahunnya. Saat ini kebakaran masih berlangsung di sejumlah lokasi, terutama di sekitar Kota Dumai dan Pulau Rupat di Kabupaten Bengkalis. Ratusan hektar hutan dan lahan sawit hangus dilahap Si Jago Merah
Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan lingkungan akibat bencana ekologis masyarakat mengalami kerugian sosial-ekonomi. Bahkan masyarakat turut mengalami beban kesehatan akibat peningkatan penderita ISPA di kawasan terjadinya karhutla.
Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita sebagai rakyat Indonesia. Mengapa kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana rutin atau bencana tahunan yang menimpa negeri ini, khususnya Kalimantan dan Sulawesi?
Hutan yang seharusnya sebagai lahan resapan, sekaligus penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia, berubah fungsi menjadi teror bagi masyarakat terdekat akibat ulah segelintir orang yang melakukan segala cara untuk membuka lahan dengan cara membakarnya. Asap dari kebakaran hutan sangat mengganggu aktifitas sekaligus kesehatan manusia. Apabila kita cermati kebakaran hutan bisa di sebabkan oleh:
Pertama. Faktor cuaca
Indonesia terdiri dari 2 musim, musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau memiliki andil terhadap kebakaran hutan. Kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.
Kedua. Pembukaan lahan pertanian atau perkebunan
Faktor manusia merupakan penyebab kebakaran hutan di sejumlah provinsi. Guru besar IPB Herry Purnomo mengatakan “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90 persen disebabkan oleh manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya membuka lahan perkebunan,” kata peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) itu (rappler.com).
Berdasarkan hasil riset CIFOR menyebutkan bahwa terjadi kenaikan harga lahan sekitar Rp 3 juta setelah pembakaran lahan. Sebelum lahan terbakar, harga berkisar Rp 8 juta, dan setelah terbakar menjadi Rp 11 juta per hektar. Dan harganya berlipat lagi setelah ditanami sawit sekitar Rp 50 juta bahkan bisa mencapai Rp 100 juta per hektar apabila ditanami sawit bibit unggul.
Ketiga. Lemahnya penegakan hukum
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Sejak tahun 2015-2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengantongi deposit kemenangan terhadap korporasi dalam gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup diantaranya; Rp 16,94 triliun untuk kerugian lingkungan hidup, dan Rp 1,37 triliun untuk biaya pemulihan. Namun faktanya belum ada satupun putusan yang sudah dieksekusi oleh pihak yang terkait (JawaPos.com).
Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini telah melahirkan manusia-manusia serakah demi ambisi menumpuk pundi-pundi rupiah, tidak peduli yang mereka lakukan telah merusak lingkungan dan merugikan orang lain.
Ekonomi kapitalis menjadikan orang atau pengusaha yang berduit seakan tidak tersentuh oleh hukum atau lambannya pelaksanaan hukum bagi mereka yang telah nyata-nyata melakukan pelanggaran. Ini terlihat pada kasus kebakaran hutan dan lahan yang hampir tiap tahun terjadi di sebabkan oleh lemahnya penegakan hukum pada perusahaan yang melakukan pembakaran hutan
Hutan indonesia yang luas sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis. Namun kekayaan itu tidak banyak gunanya bagi rakyat, karena pengelolaannya yang gagal. Kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan itu sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan tiada lain adalah produk nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan (pemerintah)
Pengelolaan Hutan Menurut Islam
Syariah Islam telah mengatur pengelolaan hutan antara lain: Pertama. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariat Islam telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah). Ini didasarkan pada hadits Nabi SAW “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Kedua. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara bukan pihak swasta atau asing. Ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum: Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas. Negaralah yang berhak untuk mengelolanya.
Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah). Sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Sabda Rosulullah SAW. “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu hutan, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Ketiga. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Qadhi Hisbah yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Qodhi hisbah bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Qodhi hisbah dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Keempat. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas kepada pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (lembaga peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Sungguh hanya dalam sistem Islam kekayaan alam berupa hutan sekaligus harta milik umum (ummat) bisa di kelola secara maksimal oleh negara yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sudah saatnya kita beralih pada sistem Islam, Sistem yang dibuat oleh Allah untuk kemaslahatan seluruh alam. Wallaahu a ‘lam bis showab.[]
Penulis adalah anggota komunitas Akademi Menulis Kreatif, Mojokerto
Comment