Oleh: Hessy Elviyah, S.S, Guru Tahsin Metode Yanbu’a
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Heboh pernyataan geram Jokowi terkait alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) yang tidak tepat sasaran untuk kepentingan rapat dan perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam keterangannya, seperti ditulis kompas.com (14/6/2023) Jokowi membeberkan skema alokasi dana untuk stunting. Ia mengkritisi anggaran lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak krusial. Misalnya dana Rp 10 M, menurut pantauan nya di APBD Mendagri alokasi penggunaan dana berupa Rp 3M digunakan untuk perjalanan dinas dan Rp 3M untuk rapat-rapat kemudian untuk pengembangan dan lain-lain menggunakan dana Rp 2M.
Ironisnya, untuk hal krusial, seperti membeli telur, susu, protein, daging dan sayuran bisa jadi hanya Rp 2M. Lebih jauh, bapak Presiden menanyakan kapan Indonesia akan terlepas dari adanya stunting jika cara yang digunakan pejabat terkait masih dengan cara absurd dan tidak konkret seperti itu.
Kegeraman tersebut bukan tanpa alasan. Indonesia kini belum menyelesaikan permasalahan besar terkait malnutrisi warganya. Ini menjadi PR besar karena menyangkut kondisi generasi penerus bangsa. Generasi yang harus dipersiapkan segalanya, baik fisik maupun mental.
Misalnya kasus malnutrisi di Bekasi, generasi kota penyangga ibu kota negara ini terancam darurat malnutrisi. Selain kasus stunting yang tak terselesaikan, kini ditemukan kondisi warganya kelebihan berat badan atau obesitas.
Nasib malang ini seperti ditulis tribunnews.com (23/6/2023, menimpa bayi berusia 7 bulan dengan berat badan 15 kg, Siti Raysa Rahayu warga Kecamatan Cabangbungin, Kabupaten Bekasi. Kondisi berat badannya yang tidak wajar menyebabkan masalah dalam pernafasan, kerap sesak dan mengalami kesulitan dalam bergerak.
Kasus obesitas ini bukan pertama kali ditemukan, sebelumnya bayi berusia 1 tahun juga viral dengan bobot 27 kg. Tentu, hal ini menambah panjang rentetan PR pemerintah untuk mengatasi persoalan gizi di negeri ini.
Pada kasus stunting yang ternyata masih tercatat tinggi di negeri ini disebabkan ketidakpahaman tentang gizi seimbang yang kerap dialami keluarga miskin. Selain itu, ketidakmampuan mencukupi nutrisi pada anak juga mempengaruhi faktor penyebab adanya stunting. Begitu pula pada kasus obesitas, selain karena faktor genetik, kasus ini didominasi karena adanya ketidakseimbangan gizi yang masuk pada tubuh anak.
Dengan kondisi demikian, sungguh disayangkan karena solusi yang diambil sejauh ini masih sebatas tindak kuratif- penanganan dilakukan hanya pada saat kasus ditemukan. Contohnya pada kasus obesitas yang baru ditangani dokter gizi setelah ada kejadian tersebut. Begitupun pada kasus stunting, adanya posyandu tidak menuntaskan masalah, walaupun ada penyelesaian akan tetapi tidak maksimal dan tidak mengakar pada pokok persoalan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak adanya kontrol pemerintah decara komprehensif terhadap gizi dan peredaran makanan di pasaran, sehingga jenis makanan yang tidak layak gizi tetap lolos dan beredar secara bebas.
Hal ini juga yang menjadi faktor malnutrisi tak terselesaikan. Adanya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) belum memberi sampai signifikan terhadap persoalan stunting dan nutrisi makanan.
Japitalisme tidak mampu menjamin ketersediaan makanan sehat bagi warganya. Pemangku kekuasaan seakan sibuk memikirkan partai, kelompok dan kepentingan sendiri di sisi lain, rakyat dibiarkan mencari kebutuhan pokok secara mandiri tanpa ada jaminan kesehatan dan keamanan untuk dikonsumsi.
Pernyataan Jokowi tersebut adalah gambaran bagaimana instansi atau lembaga terkait tidak maksimal mengurus rakyat kalau tidak mau disebut hanya formalitas dan main-main.
Ketidak seriusan mengelola tugas dan tanggung jawab ini tentunya berdampak negatif terhadap generasi dan penerua bangsa. Generasi harus mengalami darurat malnutrisi yang tentu saja akan mengancam kualitas generasi mendatang.
Pemerintah seharusnya melakukan tindakan serius dalam upaya menangani kasus malnutrisi dengan memberi edukasi terkait obesitas dan stunting. Selain itu, pemerintah hendaknya mempunyai data yang akurat dan jelas mengenai keluarga rawan stunting dan obesitas, baik yang memiliki riwayat genetik, faktor ekonomi maupun pendidikan/awam terhadap pengetahuan akan gizi. Kondisi rawan inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah.
Hal lain yang tak kalah penting adalah jaminan kesejahteraan dari negara kepada rakyat, sehingga mampu mengakses makanan bergizi dengan mudah dan murah untuk mendapatkan gizi seimbang.
Tentu saja, hal ini tidak akan terjadi jika sistem kapitalisme dengan politik demokrasi masih diemban di negeri ini. Produk pemimpin yang dihasilkan oleh demokrasi adalah produk pemimpin yang gagal mengurus rakyat dengan baik dan benar. Mereka hidup mewah untuk mereka sendiri, sebagaimana beberapa hidup hedonis para pejabat yang viral di sosial media.
Kehidupan sejahtera dengan kepengurusan yang baik dan benar akan terrealisir ketika Islam diterapkan secara menyeluruh. Misalnya makanan, dalam Islam terhadap keharusan untuk setiap manusia agar makan makanan yang halal dan thayyib (baik). Hal ini sepatutnya menjadi perhatian para penguasa, karena ini merupakan perintah Allah Swt dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 168 yang berbunyi: ” Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di Bumi.” (QS. Al Baqarah (2):168).
Penerapan nilai nilai Al-Qur’an secara menyeluruh hanya ada ketika Islam tampil. Maka dari itu untuk memiliki penguasa yang amanah dan benar dalam mengurus rakyat adalah dengan kembali mengimplentasikan nilai nilai Islam secara kafah. Sehingga seluruh makhluk di muka bumi akan hidup sejahtera di dalam naungan kehidupan yang berkah. In syaa Allah.[]
Comment