Oleh : Syaila Nuraini, Mahasiswi STEBIS Bina Mandiri, Cileungsi
__________
RADADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Awal Desember lalu, umat beragama di Indonesia dikejutkan dengan berita rencana kedatangan Jessica Stern. Ia bukan sekedar utusan kaum LGBTQI+, tetapi juga mewakili pemerintah AS.
Ini menandakan pemerintah AS secara resmi mempropagandakan LGBTQI+ ke negara-negara lain. Amerika Serikat ingin agar negara sekutu mereka ikut menerima dan mendukung eksistensi kaum LGBTQI+. Memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia LGBTQI+. Menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, HAM, keragaman dan toleransi.
Namun, ada penolakan keras dari anggota DPR, sejumlah tokoh dan lembaga keislaman, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) serta Majelis Ulama Indonesia. Meskipun masih ada pro dan kontra terkait isu ini, mayoritas masyarakat Indonesia yang religius jelas tidak dapat menerima ekstensi LGBTQI+ baik atas nama larangan agama, nilai-nilai luhur budaya bangsa, maupun karena alasan moralitas.
Istilah LGBTQI+ mengacu pada kelompok masyarakat Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Intersex. Adapun tanda + menggambarkan perwakilan orang yang tidak mengidentifikasi gender atau orientasi seksual.
LGBTQI+ adalah akhlak yang sangat buruk dan jumhur ulama sepakat hukumannya lebih berat daripada zina. Sebab akan merusak kemuliaan dan martabat manusia serta berisiko menimbulkan kanker, penyakit kelamin, AIDS, dan seterusnya.
Karena dampaknya sangat mengerikan, sebaiknya ada upaya untuk mencegah timbulnya LGBTQI+. Caranya antara lain sebagai berikut ini: menjaga pergaulan, menjaga pandangan, menjauhi rangsangan seksual, menutup aurat, diadakan kajian atau seminar mengenai bahaya LGBTQI+ di sekolah-sekolah, diadakan penyuluhan keagamaan mengenai LGBTQI+ yang menyimpang dari aturan agama.
Peran keluarga juga sangat penting. Kehangatan dan keharmonisan keluarga akan mendorong anak untuk tumbuh normal dan wajar. Selain itu, jika kedua orang tua memberikan pendidikan agama dan moral yang baik, hal ini akan membentengi seseorang untuk menyimpang menjadi LGBTI+.
Islam memiliki mekanisme mencegah perilaku LGBTQI+, yakni melarang lelaki berpenampilan perempuan seperti waria atau transgender. Islam memerintahkan perempuan untuk menutup aurat dengan sempurna di depan kaum waria.
Negara juga akan menjatuhkan sanksi pengasingan bagi lelaki yang menjadi waria. Seorang gay, jika terbukti melakukan tindakan persetubuhan sesama jenis harus dijatuhkan hukuman mati.
Seharusnya umat belajar dari kisah kaum nabi Luth as. Kemurkaan dan azab Allah SWT bukan saja ditimpakan pada kaum Sodom yang mempraktikkan perilaku homoseksual, tetapi juga kepada istri nabi Luth yang bersekongkol membantu kaumnya dan mengkhianati nabi Luth as. sebagai utusan Allah SWT. Karena itu istrinya pun tidak selamat dari azab Allah SWT.
Allah berfirman : “Lalu kami selamatkan dia (Luth) beserta keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang Yang tertinggal (dibinasakan)” (TQS. AN NAML (27): 57).
Alhasil, jika kaum muslimin mengharapkan negeri ini bersih dari bencana dan kerusakan yang dilakukan kaum LGBTQI+ ini, satu-satunya jalan adalah kembali kepada Islam bukan yang lain.[]
Comment