Standar Kemiskinan dalam Islam

Opini427 Views

 

 

Oleh: Siti Aminah, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia agar mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity.

Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari.

Sri Mulyani seperti ditulis CNBN Indonesia (09/05/2023) mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinan di naikkan malah menyebabkan 40% masyarakat tergolong orang miskin.

Negara sejatinya zalim ketika menetapkan standar kemiskinan dengan sangat rendah. Hal itu menunjukkan bahwa negara abai terhadap kondisi rakyatnya, bahkan seolah bukti bahwa kesejahteraan rakyat bukan hal utama yang diperhatikan oleh negara .

Dengan standar yang rendah negara seakan merasa mampu mengatasi kemiskinan tapi kenyataannya rakyat masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.

Banyak rakyat yang kerja serabutan, tidak mempunyai penghasilan tetap bahkan banyak pengangguran karena sempitnya lowongan pekerjaan. Negara kapitalis hanya menjadi regulator saja sehingga urusan ekonomi diserahkan pada rakyat untuk menyelesaikan sendiri. Rakyat bisa memenuhi kebutuhan pokok atau tidak bukan lagi urusan negara tapi urusan rakyat itu sendiri.

Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (pokok) secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah SWT berfirman,

“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai dengan kemampuanmu.” (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tiga perkara, yaitu sandang, pangan, dan papan, tergolong pada kebutuhan primer yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi manusia. Apabila kebutuhan primer ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran eksistensi manusia.

Dengan demikian, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengkategorikan orang yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir.

Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut).

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, munculnya kemiskinan adalah dampak dari buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Kesejahteraan rakyat dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.

Islam memiliki cara khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan, baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya.

Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Solusi Islam untuk menyelesaikan masalah kemiskinan adalah, Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Primer).

Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok dengan menjadikan negara sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Selain kebutuhan pokok individu, negara pun menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yakni kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dalam Islam diwujudkan dalam mekanisme sebagai berikut:

Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarga

Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman: “Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (TQS. al-Mulk [67]: 15).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari).

Ayat dan hadits di atas menunjukkan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 233 dan surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya.

Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja.

Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman: “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Maksud dari ayat di atas adalah seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah dari segi nafkah. Yang dimaksud waris di sini bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Jadi, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah beralih ke kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan harta tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Dalam kondisi seseorang yang tidak mampu dan tidak memiliki kerabat atau dia memiliki kerabat tetapi hidupnya pas-pasan, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Negara melalui Baitul Mal berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR. Imam Muslim).

Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambil dari kas zakat. Allah SWT berfirman: “Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (TQS. at-Taubah [9]: 60).

Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain dari Baitul Mal.

Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin

Apabila Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah SWT berfirman:

“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda:“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wa Ta’ala terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad).

“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR. Bazzar).

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

Islam menjadikan penguasa untuk mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraan orang per orang sehingga dapat hidup layak dan tercukupi semua kebutuhan dasarnya.

Islam memilki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan menjuhkannya dari kemiskinan. Apalagi kemiskinan dapat memicu tindak kriminal yang membahyakan umat.[]

Comment