RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Nama jalur sutra tentu tak asing lagi. Jalur perdagangan fenomenal ini telah dikenal ribuan tahun sebelumnya. Menghubungkan timur dan barat dunia. Rute perdagangannya membentang ribuan kilometer di benua Asia.
Penamaan jalur sutra sendiri mengacu pada kegiatan perdagangan sutra yang dilakukan oleh pedagang China di sepanjang jalan tersebut semasa pemerintahan Dinasti Han (206 SM-220 M). Istilah ini mulai populer digunakan masyarakat luas setelah ahli geografi asal Jerman, Ferdinand von Richthofen menyebut silk road (jalur sutra) dalam beberapa kali ekspedisinya ke China antara 1868-1872.
Selain bangsa China, kaum pedagang utama lainnya yang ikut melintasi jalur sutra pada zaman kuno berasal dari bangsa Persia, Yunani, Suriah, Romawi, India, Afganistan dan Uzbekistan. Selanjutnya pada periode kedatangan Islam, bangsa Arab menjadi salah satu bangsa pedagang yang paling menonjol di jalur ini.
Tak hanya jalur darat, jalur sutra juga memiliki rute perdagangan laut. Yaitu dari Guangzhou, Tiongkok Selatan, menuju selat Malaka dan terus sampai ke Srilanka, India dan pantai timur Afrika.
Korbankan Muslim Uighur
Jalur sutra kembali diperbincangkan setelah mencuatnya kasus kekerasan yang dialami oleh Muslim Uighur di wilayah Xinjiang. Pasalnya wilayah Xinjiang adalah jantung rute jalur sutra darat di China.
Secara historis dan geografis, Xinjiang dikenal sebagai Turkistan Timur. Memiliki akar budaya Islam. Islam menjadi identitas mereka. Namun, pada tahun 1949 setelah terbentuk RRC di bawah kekuasaan Komunis Mao Zedong, China melakukan invasi ke Turkistan Timur dan memasukkan Xinjiang ke wilayah kekuasaannya. Pemerintah komunis China mengontrol kekuasaannya di Xinjiang dengan mendorong imigrasi massal suku Han. Mendominasi lahan dan SDA. Melakukan diskriminasi terhadap muslim Uighur.
Saat ini di bawah kepemimpinan Xi Jinping, nasib Uighur tak berubah. Presiden China ini berambisi menguasai jalur perdagangan dunia dengan menghidupkan kembali jalur Sutra. Pada tahun 2013, Xi Jinping meluncurkan program The Silk Road Economic Belt and The 21st- Century Maritime Silk Road yang sering disebut dengan ‘The Belt and Road’ atau disebut juga ‘One Belt, One Road‘.
Untuk mewujudkan ambisinya ini, China melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah Xinjiang. Pemerintah China telah membangun Highspeed Railway Station of Wulumuqi. Stasiun kereta cepat yang dapat mengangkut 40 ribu hingga 50 rb penumpang setiap harinya. Infrastruktur jalan juga menjadi prioritas. Xinjiang sudah membangun 178.300 km jalan. Sepanjang 4.316 km adalah jalan tol. Selain itu, pembangunan bandara pun terus digenjot. Saat ini telah ada 16 bandara di Xinjiang. Jumlah ini menjadikan Xinjiang sebagai daerah otonomi China dengan bandara terbanyak.
Profesor Ekonomi dari Xinjiang Sosio and Scince Academy, Gao Jialong menyatakan bahwa Xinjiang adalah penopang utama program ekonomi jalur sutra. Sebagai daerah yang berbatasan dengan delapan negara, Xinjiang adalah pintu masuk sekaligus etalase.
Sebagai pintu gerbang sekaligus jembatan yang menghubungkan China dengan negara-negara Asia Tengah. Selain posisinya yang strategis, Xinjiang juga adalah wilayah energi. Merupakan urat nadi energi nasional China. Ladang minyak Xinjiang memasok 30 persen kebutuhan China. Sedangkan gas alamnya menyuplai 34 persen kebutuhan nasional. Begitu juga dengan batu bara, Xinjiang menyediakan 40 persen batu bara di negeri tirai bambu ini (www.republika.co.id).
Melihat posisi vital Xinjiang, Xi Jinping semakin keras berusaha menguasai wilayah ini. Keberadaan muslim Uighur dianggap sebagai penghalang bagi China dalam memuluskan syahwat kekuasaannya. Kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim semakin menjadi-jadi. Muslim Uighur dituduh sebagai ekstrimis dan teroris yang menjadi duri dalam daging sehingga harus disingkirkan.
Berbagai penyiksaan dan penahan terus dilakukan. Sekitar satu juta muslim Uighur dijebloskan ke kamp penahanan yang disebut sekolah re-edukasi. Para tahanan didoktrin untuk menerima ideologi komunis dan bersumpah setia kepada presiden Xi Jinpiing. Muslim Uighur kini tengah menghadapi genosida yang akan menghilangkan eksistensi mereka dari tanah Xinjiang karena obsesi negara komunis ini.
Jebakan bagi Negara-Negara Berkembang
Program One Belt, One Road (OBOR) merupakan jalur sutra abad 21 yang mengusung visi globalisasi ala China. Jalur sutra modern ini akan melintasi dua jalur yaitu darat dan maritim. Jalur darat dimulai dari China melewati Asia Tengah , Eropa Timur lalu berakhir di Eropa Barat. Sedangkan jalur maritim akan melewati Vietnam, Malaysia, Indonesia dan India. Dari Asia, jalur sutra akan melewati Afrika Timur yaitu menuju Kenya, Somalia dan melewati Teluk Aden dan Laut Merah. Setelah itu akan berlanjut ke Afrika Utara melalu Terusan Suez dan menuju Italia.
Program OBOR yang pada tahun 2016 telah berganti nama menjadi Belt and Road Initiative (BRI) ini bermaksud memperkuat fasilitas perdagangan dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barries). Jalur sutra memiliki potensi pasar sebanyak 3 miliar jiwa. Untuk Asia Tenggara saja ada 600 jiwa. Memahami potensi ini, China tak main-main dengan megaproyek tersebut.
Maka demi memuluskan rencananya negeri tirai bambu ini tak tanggung-tanggung mengeluarkan dana yang besar. China telah mempelopori pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (IIAB) senilai US$ 50 miliar. Presiden Xi Jinpiing juga berjanji akan menyiapkan US$ 8 triliyun untuk pembangunan infrastruktur di 68 negara. Menurut China, kini mereka telah berinvestasi sebesar US$ 50 miliar di 20 negara yang dilewati jalur sutra (www.tempo.co).
Bagi negara-negara berkembang, hadirnya China dengan proyek jalur sutra bak malaikat yang akan membantu memperbaiki keadaan ekonomi negara mereka sekaligus kesempatan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur. Tak heran jika China secara gila-gilaan mendanai pembangunan infrastruktur di negara-negara terlewati jalur sutra. Mulai dari pembangunan jalan nasional, pembangunan rel kereta api hingga pelabuhan-pelabuhan. Tak ketinggalan industri energi pun ikut didanai untuk menunjang program ini.
Dalam sambutannya di forum Belt and Road Forum (BRF) di Beijing pada 14 Mei 2017 lalu, Xi Jinpiing menyampaikan janji manisya di hadapan 100 perwakilan negara terlewati jalur sutra bahwa China akan bekerja bersama untuk mewujudkan megaproyek ini dan memberikan keuntungan bagi semuanya (www.tirto.id).
Benarkah mega proyek jalur sutra ini membawa keuntungan pada negara-negara berkembang? Atau malah sebaliknya?
Dari 68 negara yang mengikuti kerjasama BRI dengan China, 33 negara punya peringkat investasi B atau bahkan tidak punya peringkat. Sepuluh diantaranya adalah negara kaya aset seperti Brunei Darussalam dan Iran. Atau belum punya utang publik banyak seperti Timor Leste. Artinya, ada 23 negara lainnya yang berpotensi telilit hutang.
Faktanya, setelah 5 tahun berjalan ada delapan negara dengan resiko krisis keuangan paling tinggi. Yakni Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgistan, dan Tajikistan. Yang terparah adalah Pakistan. Negara tersebut berhutang sebesar US$ 62 miliar atau Rp. 903 triliun dalam perjanjian China-Pakistan Economic Corridor. Itupun belum termasuk pinjaman lain. Bagaimana jika negara-negara tersebut tidak sanggup melunasi? Maka mereka harus melakukan skema tukar aset.
Seperti yang menimpa Sri Lanka. Negara yang bertetangga dengan India ini terlilit hutang kepada China sebesar US$ 8 miliar atau 116 triliun. Kerena situasi politik yang buruk, Sri Langka tidak bisa membayar hutangnya. Sebagai gantinya, Sri Langka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaannya kepada China.
Pemberian utang oleh China kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Pada akhirnya menyebabkan kolonialisme utang. Negara-negara berkembang yang didominasi oleh negeri Muslim ini menjadi kerdil di hadapan China. Tidak heran jika mereka tidak bersuara terkait kasus kekerasan yang menimpa muslim Uighur di Xinjiang. Wallahua’lam.[]
Comment