Sri Kuntari*: Sistem Sekuler Tak Akan Mampu Atasi Krisis Keluarga

Opini484 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Saat ini krisis kepercayaan terjadi bukan hanya terhadap negara saja tapi terjadi juga krisis keluarga.

Krisis keluarga dan tren perceraian terus meningkat setiap tahun. Menurut laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019, berdasarkan data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan.

Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri.

Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan.

Sistem sekuler saat ini terus mengondisikan suasana kehidupan yang serba bebas tanpa aturan. Bahkan single parent dijadikan solusi alternatif untuk menghadapi gempuran berbagai masalah yang menyerang keluarga.

Padahal kasus perceraian menyisakan banyak masalah terkait kondisi anak pascaperceraian, masalah eksekusi putusan soal nafkah anak, dll.

Tampaknya masalah dan persoalan terkait krisis keluarga hingga saat ini belum menemukan solusinya. RUU ketahanan keluarga yang diajukan para anggota dewan dianggap dapat menyelesaikan segala permasalahan pelik dan rapuhnya ketahanan keluarga. RUU yang masuk daftar prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2020 justru mendapat hujanan kritik oleh sebagian pihak karena terlalu mengatur individu hingga masalah rumah tangga.

Beribu cara ditempuh oleh rezim ini untuk menuntaskan masalah krisis ini. Upaya menyelesaikan masalah meski dengan cara parsial bahkan cenderung kontraproduktif tak juga membuahkan hasil untuk melindungi keluarga dari berbagai masalah.

Sebaliknya, setiap kali menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru. Berharap masalah tuntas, tapi berakhir dengan kecemasan pada rakyat karena masalah terus berulang tak kunjung usai.

Faktor ekonomi yang kerap kali menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga terus menghiasi pemberitaan di media. Wajar saja, karena pengangguran terus meningkat dan ancaman PHK massal juga menjadi tren saat ini.

Konflik rumah tangga kian hebat. Perempuan pun berjuang mempertahankan keluarga dengan bekerja.

Dengan alasan emansipasi, perempuan berupaya memperoleh nafkah sendiri. Hingga perempuan berani mengambil keputusan bercerai.

Dalam Islam, hukum perempuan bekerja sudah selesai dan jelas, yakni boleh namun lebih banyak mudhorat ketimbang manfaat.

Perempuan bekerja ini jadi kunci sukses Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dampaknya membuat makin banyak anak-anak telantar.

Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan di negerinya telah memaksa jutaan perempuan ini meninggalkan rumah dan anak-anak mereka demi sesuap nasi meski harus menjadi TKI.

Gempuran yang dihadapi keluarga saat ini sangat luar biasa seperti sekularisme, kapitalisme, feminisme, liberalisme dan isme-isme berbahaya lainnya. Ditambah lagi minimnya peran negara melindungi keluarga.

Padahal dalam pandangan Islam, optimasi peran perempuan ialah sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan, bukan sebagai angkatan kerja.

Paradigma Islam sangat berkebalikan dengan sistem sekuler. Islam justru memelihara hubungan kemanusiaan yang luhur antara peran perempuan dan kualitas generasi.

Sungguh kini masyarakat menginginkan Islam untuk menyelamatkan keluarga mereka dari kehancuran. Dengan itulah mereka dapat mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Wallahualam Bi Shawwab

*Ibu Rumah Tangga

Comment