Oleh: Eno Fadli, Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Publik dihebohkan dengan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami salah seorang artis dan penyanyi dangdut di tanah air.
Menurut keterangan saksi di Polres Metro Jakarta Selatan, sebagaimana ditulis dalam laman bangkapos.com (02/10/2022), pemicu KDRT tersebut diduga akibat perselingkuhan yang dilakukan pelaku sebagai suami korban.
Tentunya kejadian ini menambah jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang korbannya didominasi perempuan dan anak. Dari data yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan tahun 2020 terdapat 226.062 kasus kekerasan dan terjadi peningkatan sebanyak 50 persen pada tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus kekerasan. Pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat 1.411 kasus kekerasan.
Melihat hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) Bintang Puspayoga, seperti dilansir kompas.com (25/9/2022) mengkampanyekan Dare to Speak UP pada masyarakat, menghimbau masyarakat untuk angkat bicara dengan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi, baik sebagai korban kekerasan maupun sebagai saksi ketika melihat dan mendengar terjadinya kekerasan agar dapat memberikan keadilan terhadap korban dan menimbulkan efek jera pada pelaku kekerasan.
Berbagai regulasi untuk menghentikan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah dilakukan pemerintah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang memuat ancaman pidana bagi pelaku kekerasan secara fisik, minimal empat bulan penjara atau dengan denda Rp5 juta dan maksimal 15 tahun penjara atau denda Rp15 juta.
Dengan adanya Undang-undang ini pemerintah berkeinginan dapat memberikan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan bagi warga masyarakat. Pemerintah juga menegaskan bahwa kekerasan rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat manusia dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Menurut pemahaman yang berlaku internasional, hak asasi manusia merupakan hak mendasar dan menyatu dalam diri manusia secara universal dan hak ini tidak dapat diintervensi atau ditiadakan oleh pihak lain. Undang-undang ini juga bertujuan agar dapat menjaga martabat dan kebebasan pada setiap individu menjalani hidupnya.
Meskipun demikian, realitanya angka kekerasan dalam rumah tangga tetap saja meningkat dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan ketidaksesuaian antara keinginan pemerintah dengan fakta yang ada.
Dukungan negara terhadap sistem kehidupan yang dapat mendorong terbentuknya keluarga sakinah, mawadah, warahmah dirasa belum memadai sehingga kasus kekerasan dalam rumah tangga bagaikan gunung es yang semakin membesar.
Dari fakta yang ada, pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdapat beberapa faktor pemicu terjadinya kekerasan.
Faktor ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah menjadikan kondisi rumah atau keluarga lepas kendali. Kondisi finansial yang tidak stabil termasuk dalam urusan pemenuhan kebutuhan pokok menimbulkan keputusasaan sehingga pada akhirnya pelaku melakukan tindakan kekerasan terhadap orang-orang terdekatnya sebagai bentuk pelampiasan.
Negara seharusnya sensitif dengan pemenuhan kebutuhan hidup warga negara sebagaimana yang diimplementasikan Islam terkait mengatur pemenuhan kebutuhan pokok rakyat per individu. Islam juga mendorong rakyat untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder.
Pengimplementasian sistem ekonomi Islam berangkat dari paradigma shahih tentang makna kebutuhan, konsep kepemilikan dan bagaimana cara mengelola harta dan sumber daya yang Allah SWT berikan. Dengan demikian terwujudlah kesejahteraan dalam konteks ril.
Faktor lain terjadinya kekerasan rumah tangga dipicu oleh perselingkuhan dengan adanya orang ketiga baik wanita idaman lain (WIL) maupun pria idaman lain (PIL) yang menjadikan keharmonisan dalam rumah tangga hilang. Pengkhianatan terhadap pasangan menjadikan pasangan yang berselingkuh berpikir telah mendapatkan orang lain yang dapat diandalkan, sehingga menjadikan mereka tidak merasa bersalah untuk menyakiti pasangan. Terkadang kekerasan dilakukan untuk menutupi perselingkuhan itu sendiri.
Penerapan sistem sekuler, liberal kapitalistik menjadikan laki-laki dan perempuan hidup tanpa aturan yang jelas. Aturan hidup antara laki-laki dan perempuan serba bebas menjadikan hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menjadi kebablasan.
Hal ini karena sistem yang berlaku menjunjung tinggi nilai kebebasan, meskipun berbenturan dengan nilai-nilai agama. Oleh Karena itu dibutuhkan pemberlskusn sistem pergaulan Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum, jika terjadi hubungan kerjasama antara keduanya – hendaknya bersifat umum dalam masalah muamalah yang dibenarkan oleh syara’, bukan hubungan yang bersifat khusus karena Islam mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan itu terpisah.
Dalam dalam sistem pergaulan Islam adanya kewajiban menutup aurat dengan pakaian yang sesuai dengan aturan syara’ di kehidupan umum.
Adanya kewajiban menjaga kemaluan bagi laki-laki dan perempuan, sebagaimana dijeladkan dalam surah An.Nur ayat 30-31.
Allah SWT memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya, adanya larangan menampakkan perhiasan (auratnya) kecuali yang biasa terlihat.
Dalam sistem pergaulan Islam juga terdapat larangan khalwat, ikhtilat, zina dan lain-lain. Negara juga menutup rapat segala potensi yang dapat memicu naluri jinsiyah seperti konten-konten porno serta tayangan-tayangan yang dapat membangkitkan naluri ini. Dan jika terjadi pelanggaran negara akan menegakkan sistem sanksi sesuai syariat Islam.
Faktor budaya Patriarki di tengah masyarakat juga menjadi penyumbang meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Budaya patriarki yang berkembang di kehidupan masyarakat menjadikan laki-laki mengklaim dirinya memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding perempuan sehingga adanya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam praktik sosialnya di mana kaum laki-laki menguasai perempuan dengan menindas, menyiksa serta memojokkan posisi perempuan dalam rumah tangga, sehingga dengan pemahaman ini seringkali para korban KDRT bungkam jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga mereka, karena beranggapan masalah rumah tangga merupakan masalah privat yang jika dilaporkan dianggap menebar aib keluarga sendiri.
Dalam Islam, perempuan benar-benar dijaga kemuliaannya. Islam dengan seperangkat aturan yang memuliakan perempuan dan sekaligus sebagai bentuk larangan terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, terwujud dalam pengaturan hak dan kewajiban bagi perempuan.
Seorang laki-laki tidak dibenarkan mengklaim dirinya mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding perempuan terkecuali mengunggulinya dalam ketakwaan.
Terdapatnya peran dan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, merupakan wujud dari harmonisasi dan sinergi antara laki-laki dan perempuan dalam perannya masing-masing sesuai dengan fitrah yang ditetapkan Allah SWT pada keduanya.
Aturan dan potensi yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan sudah yang paling tepat dan tidak perlu dibiaskan lagi dengan ide kesetaraan gender yang diagungkan oleh kaum feminis dan dipahami oleh negara mengenai hak asasi manusia.
Islam memerintahkan pasangan suami istri saling menghormati dan menghargai, suami mencintai dan menggauli istrinya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan dan istri mentaati suaminya karena suami merupakan pemimpin dalam rumah tangganya (Qowwam), sehingga dengan ini akan tercipta rumah tangga yang harmonis bervisi akhirat.
Terlihat, bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah komplek yang membutuhkan solusi sistemis. Solusi sistematis ini hanya dapat ditegakkan dalam penerapan aturan Islam yang mampu melindungi perempuan dari tindakan kekerasan.Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment