Sitti Sarni, S.P*: Wamena Siapa Yang Semena Mena?

Opini645 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Peristiwa di Papua meninggalkan bekas luka yang mendalam belum terutama di Wamena yang banyak menelan korban. Atas [eristiwa keji ini, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof M. Din Syamsuddin menyampaikan keprihatinannya atas jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.

“Kita semua yang memiliki hati nurani sangat sedih mengetahui terjadinya tindak kekerasan di Wamena yang menimbulkan puluhan korban tewas mengenaskan dan ratusan lain mengalami luka-luka berat dan ringan,” ungkap Din, seperti disampaikan pada PWMU.CO, Sabtu (28/9/19) siang.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015 itu, kejadian tersebut tidak terlepas dari peristiwa di Papua sejak beberapa waktu lalu berupa aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Jayapura, dan tempat-tempat lain seperti di Ibu Kota Jakarta yang memprotes ketidakadilan dan bahkan menuntut kemerdekaan.

“Seyogyanya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi, dan terutama faktor pemicunya di Surabaya berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus cepat ditindak tegas. Tapi, kita menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil,” kata Din.

Kalau hal demikian berlanjut, sambungnya, maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. “Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Di berbagai tempat lain aparat keamanan dan penegak hukum terkesan dan patut diduga berperilaku tidak adil dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang sebenarnya absah di alam demokrasi.

Menurut dia, pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya. Oleh karena itu Din berpesan kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab.

“Hindari perasaan benar sendiri bahwa negara boleh dan bisa berbuat apa saja, baik ‘membunuh rakyatnya’ atau membiarkan rakyatnya dibunuh oleh sesama dan negara tidak bisa berbuat apa-apa,” pesan Din.

Mengutip kompas.com pada kerusuhan yang terjadi di Kota Wamena, Senin (23/9/19), massa membakar 5 perkantoran, 80 mobil, 30 motor dan 150 ruko. Hingga Selasa (24/9/19) malam, total 28 jenazah telah ditemukan dan 70 orang luka-luka. Selain itu, sekitar 5.000 warga mengungsi di 4 titik pengungsian.

Kapitalisme, Akar Masalah
Jika kita analisa lebih dalam, kasus yang terjadi sebenarnya hanyalah pemantik saja yang merupakan pangkalan kepentingan. Kepentingan Barat memang sangat kentara pada kisruh Papua. Motifnya tentu tidak lepas dari eksistensi kelompok kepentingan tertentu dan penjarahan SDA dengan cara melepaskan bumi Cendrawasih dari NKRI via referendum. Negara tidak punya power untuk menjaga Papua yang menjadi tanggungjawabnya. Sebab kedaulatannya telah digadaikan pada asing.

Sejatinya Papua sudah sejak zaman orde baru berlanjut sampai rezim Jokowi ini menyimpan kompleksitas persoalan yang belum tuntas. Harits Abu Ulya, pengamat intelijen dan terorisme, menngatkan bahwa di Papua ada gerakan separatis OPM yang terus bekerja untuk melepaskan Papua dari NKRI.

Pihak asing juga melihat Papua sangat seksi dan menarik untuk dikangkangi. Di saat ada momentum yang menguntungkan, maka tidak menutup kemungkinan kontraksi di Papua kali ini akan sulit diselesaikan dan OPM bisa saja menunggangi.

Kita tentu masih ingat, bagaimana lepasnya Timor Timur di masa lalu, yang cukup memberi pelajaran berharga. Saat itu, desakan untuk melepasnya datang dari Australia yang memiliki kedekatan kultural dengan Timor Timur yang berasal dari ras melanesia. Diketahui, dukungan kuat Australia disinyalir karena adanya ketertarikan Australia pada kandungan minyak yang ada di Timor Leste. Akankah Papua bernasib sama seperti Timor Leste? Kita tentu tidak berharap demikian.

Lantas, mengapa upaya separatisme ini tak kunjung berakhir? Siapa sebenarnya yang semena-mena? Padahal sebagai sebuah negara, Indonesia tentu memiliki aparat dan sarana yang memadai untuk menumpasnya. Tidak bisa dipungkiri, sistem kapital-sekuler yang masih saja diadopsi membuat separatisme menjadi momok menakutkan bagi keutuhan suatu negara.

Sistem kapital-sekuler ini pula yang membuat negara tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok separatis yang dibacking oleh kekuatan asing. Sebuah negara harusnya menjadi junnah dan pemelihara urusan rakyat, bukan ‘pion’ kekuasaan bangsa lain.

Islam Solusinya
Berbeda dengan Islam. Menjaga persatuan kesatuan merupakan suatu kewajiban, dan memisahkan diri darinya merupakan keharaman. Oleh karenanya, Islam menetapkan sanksi yang sangat tegas berupa had/perang bagi siapapun yang melakukan tindakan bughat/makar terhadap negara. Hanya saja perang di sini bukan untuk dihabisi, melainkan sebagai bentuk pelajaran.

Tidak hanya sanksi yang tegas, Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah, yaitu permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali Ra yang memerangi Muawiyah dalam perang shiffin.

Di samping itu, mencegah segala bentuk intervensi asing, memata-matai kaum harbi fi’lan, memutus kontak/hubungan kerja sama warga negara dengan pihak luar negeri serta menerapkan kebijakan satu pintu melalui departemen luar negeri. Demikianlah sempurnanya Islam, yang terbukti telah menjaga kesatuan dan persatuan serta melarang perpecahan.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyatukan visi perjuangan untuk perubahan hakiki yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam melalui penerapan  Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ

“Dan apabila Kami kehendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat (syariat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya,” (Qs. Al-A’raf: 176).Wallahu a’lam.[]

*Founder Komunitas Pejuang Islam

Comment