Siti Ningrum, M.Pd*: Pro dan Kontra Kebijakan Tatap Muka

Opini683 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Gonjang-ganjing sekolah tatap muka, sedang hangat diperbincangkan oleh publik. Orang tua dilema, bagai makan buah simalakama.

Satu sisi ada kekhawatiran terpapar covid-19, mengingat saat ini penularan covid-19 sedang masif-masifnya. Sisi lainnya, tingkat kejenuhan dan kebosanan serta frustasi kerap dirasakan oleh anak, mengingat hampir sembilan bulan belajar daring. Termasuk orang tua yang sudah kewalahan, mendampingi anak-anaknya belajar daring.

Sedangkan, sampai hari ini kurva pandemi belum juga melandai. Malah semakin naik dari hari ke hari. Penyebabnya berbagai faktor, diantaranya adalah masyarakat sudah mulai merasakan kejenuhan akibat terlalu lama harus berdiam di rumah. Akhirnya mulai bepergian dan berkerumun dengan mengabaikan protokol kesehatan.

Disinyalir Kluster Baru

Pertama, sekolah. Jika tatap muka sekolah dibuka saat-saat ini, disinyalir akan menjadi kluster baru. Mengingat, akan banyak yang berinteraksi secara intens.

Ke dua, pilkada. Pilkada serentak pun yang akan digelar pada bulan Desember menambah daftar kekhawatiran rakyat, berkerumun pun takkan bisa terelakkan lagi. Di sana pun dikhawatirkan akan ada kluster
baru lagi.

Ke tiga, tempat wisata. Pada bulan Desember, yang merupakan akhir tahun maka akan banyak kerumumnan massa yang pergi berlibur ke tempat-tempat wisata di anah air, maka disinyalir akan menjadi kluster baru,

Ke empat, tempat hiburan. Penyambutan awal pergantian tahun baru, akan memungkinkan berkerumunnya massa. Seperti yang kita tahu, bahwa malam pergantian tahun baru identik dengan pesta kembang api/ hiburan malam.

Menyoal Sekolah Dimasa Pandemi

Indonesia memasuki bulan ke sembilan terserang badai covid-19. Maka, sejak kemunculannya pada bulan Maret 2020, semua aktivitas nyaris berhenti total. Semua pekerja WFH (Work from Home). Termasuk persekolahan dan kampus, ditutup.

Mendikbud, Nadiem Makarim, membuat kebijakan dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). PJJ atau belajar daring/online.

Namun kebijakan dari PJJ tersebut banyak sekali kejadian yang tak terduga, semisal ada yang bunuh diri gegara banyak tugas, jaringan yang terkendala, anak banyak yang depresi, timbul kekerasan pada anak dari orang tua karena orang tua pun ikut depresi.

Sarana dan pra sarana yang tidak mendukung itulah, sehingga Mendikbud dengan kebijakan PJJ-nya mendapatkan raport merah dari FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) pada bulan Oktober 2020.

Dari kejadian demi kejadian PJJ, maka banyak orang tua, anak dan guru menginginkan sekolah tatap muka. Akhirnya pada tanggal 20 Nopember 2020, SKB (Surat Keputusan Bersama) Empat Menteri dikeluarkan. Yakni oleh Mendikbud, Menag, Menkes, dan Mendagri yang isinya membolehkan tatap muka pada bulan Januari atau semester genap tahun pelajaran 2020/2021. Namun kewenangannya diberikan kepada setiap daerah masing-masing, tanpa melihat status zona.

Dilansir dari laman tirto.id, Kamis 26 November 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) Nadiem Makarim memaparkan tiga poin penting dalam surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang sekolah tatap muka 2021.

Poin pertama, menurut Nadiem, keputusan untuk membuka sekolah harus mendapat persetujuan bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga dari pihak sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan para orangtua murid.

Kedua, orang tua tidak harus khawatir juga karena kalau sekolah anaknya mulai tatap muka, sekolah itu tidak bisa memaksa anak itu untuk pergi ke sekolah.

Ketiga, sekolah yang dibuka akan membuat kebijakan yang berbeda dengan saat sebelum pandemi Covid-19. Jumlah Siswa yang hadir dalam satu sesi kelas hanya boleh 50 persen.

Kuncinya terdapat pada orang tua, yang mana jika komite sekolah tidak memperbolehkan dibukanya sekolah maka sekolah tersebut tidak diperkenankan untuk dibuka.

Pro dan Kontra

Menyoal kebijakan sekolah tatap muka ini, IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) pun angkat bicara, yakni tidak memberikan rekomendasi karena dikhawatirkan adanya kluster baru. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), juga masih khawatir, atas sarana dan pra sarana protokol kesehatan setiap sekolah.

Hal senada pun diungkapkan para epidemiologi Indonesia. Salah satunya adalah pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Dr Windhu Purnomo. Menurutnya, pemerintah tidak konsisten dan tidak berbasis pada kesehatan masyarakat.

Windhu mengatakan, seharusnya pertimbangan pengaktifan kegiatan apa pun yang memungkinkan kontak antar warga, termasuk siswa sekolah, didasarkan atas kondisi epidemiologi yang menunjukkan tingkat risiko penularan Covid-19 di suatu wilayah.

Epidemiolog lainnya, yaitu dari Griffith University Dicky Budiman, berkata bahwa rencana pembukaan sekolah kembali harusnya disikapi dengan hati-hati, bijak dan matang. Usia emas anak-anak sekolah jangan sampai menjadi korban dengan dibukanya tatap muka saat ini (Kompas.com, 21/11/2020).

Sementara guru sebagai pelaksana dari pemerintah, berharap ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi, yakni dukungan sarana protokol kesehatan.

Siswa dan orang tua menghendaki sekolah tatap muka. Sebab daring banyak membuat anak dan orang tua menjadi tidak harmonis. Banyak kekerasan terhadap anak akibat dari PJJ. Bagai dua sisi mata pisau.

Kilas Balik Penanganan Covid-19

Untuk menekan laju penularan coronavirus negara-negara di dunia melakukan lockdown. Termasuk Cina sendiri melakukan lockdown ( karantina wilayah), alhasil covid-19 di Wuhan Cina tidak berlarut-larut.

Begitu pun dengan negara-negara lainnya seperti; Italia, Spanyol, Perancis, Irlandia, Elsavador, Belgia, Polandia, Argentina, Yordania, Belanda, Denmark, Malaysia, Filipina dan Libanon. Semua melakukan lockdown.

Di Indonesia Lockdown tidak diterapkan, alasannya hanya soal ekonomi yang akan merosot. Fakta menunjukan sebaliknya, ketika kebijakan Lockdown tidak diterapkan, maka covid-19 begitu cepat penyebarannya sebab antara yang sakit dan tidak sakit sudah bercampur baur. Akhirnya orang yang terpapar kian menyebar ke setiap daerah.

Alhasil, kurva pandemi terus naik. Ada pun terkait kemerosotan ekonomi, tetap saja dirasakan oleh rakyat, bahkan tidak sedikit yang kemudian depresi.

*Kebijakan Lockdown*

Lockdown atau karantina wilayah adalah mengunci rapat-rapat wilayah yang terkena penyakit menular. Tidak boleh penduduk tersebut keluar dari wilayahnya, dan orang dari wilayah luar tidak boleh memasukinya.

Kebijakan lockdown pun telah ada sejak zaman Rosulullah saw. Maka kebijakan lockdown diterapkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab ketika wilayah Syam pada abad mengalami guncangan hebat yakni masyarakat Syam terkena sebuah wabah penyakit menular. Wilayah Syam dilockdown. Alhasil dalam waktu singkat wabah di Syam bisa diatasi dan tidak menyebar ke wilayah lainnya.

Di Indonesia kebijakan karantina wilayah telah tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak milik warga.

Berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, karantina wilayah dilakukan jika situasi kesehatan masyarakat dikategorikan darurat salah satunya karena penyakit menular. Namun sayangnya pemerintah tetap bergeming.

Syariat Menimbang

Memang sekolah adalah tempat menimba ilmu pengetahuan dan pembinaan karakter. Melalui sekolah juga diharapkan anak bangsa akan cerdas dan kreatif, sebab kelak akan menjadi generasi penerus yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan.

Islam pun memberikan tuntunan ajarannya, bahwa perlindungan terhadap nyawa adalah hal paling utama dibandingkan hal lainnya. Maka dari itu, Seyogianya keputusan tatap muka harus ditinjau kembali jika memang masih banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya.

Jika standar kebijakan yang diambil adalah hukum yang berasal dari manusia, sudah bisa dipastikan selamanya akan terus menuai pro dan kontra dimasyarakat, sebab hukum yang dibuat oleh manusia pasti ada kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan, belum lagi jika kebijakannya itu ditunggangi oleh kepentingan lainnya.

Itulah sebuah bukti yang nyata, bahwa manusia itu tidak boleh membuat hukum tanpa berpijak pada aturan sang Pencipta.

Sudah saatnya, kita melaksanakan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt, agar keberkahan pun bisa dirasakan dari langit dan bumi. Seperti firman Allah swt dalam Q.S Al-Araf ayat 96, artinya:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. Wallohualam bishowab.[]

*Praktisi pendidikan

Comment