Siti Ningrum, M.Pd*: Liberalisme Dalam Sistem Kapitalisme

Opini839 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA —  Heboh, ASN melakukan poliandri. Benar-benar berita yang sangat ramai diperbincangkan di media sosial baik cetak maupun elektronik. Sungguh merupakan fenomena baru di negara Indonesia dan bisa membuat kita terhenyak sesaat, namun inilah fakta yang terjadi saat ini.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN). Fenomena tersebut berupa ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri (Republika, 29/8/2020).

Liberalisme dalam Kapitalisme

Tidak heran sebetulnya adanya poliandri di zaman sekarang yang serba boleh, liberalisme dengan kebebasannya akan memberikan ruang kepada manusia untuk membuat aturan sendiri sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya.

Liberalisme atau liberal adalah sebuah pemahaman turunan dari ideologi kapitalisme. Liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.

Saat ini liberalisme telah masuk ke dalam pemahaman umat Islam. Para pengusungnya tidak berhenti menggaungkan kebebasan, bahkan sering menyerang aturan-aturan Islam dengan berlindung dibalik Hak Azasi Manusia (HAM).

Kaum liberalisme bergandeng tangan dengan kaum feminisme untuk sama-sama menghancurkan pondasi terakhir yaitu keluarga. Dengan berbagai programnya, bak menyuguhkan madu namun sejatinya adalah suguhan racun berbisa yang pelan-pelan menghancurkan tatanan sebuah keluarga.

Seorang Ibu adalah bagian terpenting dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya, agar menjadi manusia yang cerdas serta berakhlakulkarimah. Jika yang menjadi pondasi sudah tidak menjalankan perihal aturan yang semestinya, sudah bisa dipastikan kehancuran di depan mata.

Tidak hanya itu, kaum hawa pun tidak sedikit yang kemudian terbius dengan manisnya sebuah kebebasan. Apalagi jika ditopang dengan faktor ekonomi, maka faktor keadaanlah yang akan mendorong manusia melakukan hal-hal yang diluar nalar sekalipun. Seperti halnya kasus poliandri.

Anak yang akan menjadi generasi penerus pun sudah sejak dini dihancurkan masa depannya. Nasabnya sudah tidak jelas. Kepada siapa anak menyandarkan walinya, keluarga yang harusnya menjaga keturunan namun telah menanam duri yang akan melukai anak sehingga jiwanya terkoyak. Tidak sedikit anak menjadi korban dari ketidakharmonisannya sebuah keluarga. Mereka lebih memilih menjadi anak jalanan bahkan tidak jarang jatuh ke dalam jurang kemaksiatan yang lain yaitu jeratan narkoba dan seks bebas.

Kehancuran demi kehancuran pun akan terus bergulir bak bola salju, sulit untuk dihentikan sebab semuanya bermuara pada satu kesalahan yaitu kesalahan aturan yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Sehingga tatanan kehidupan pun tidak berjalan dengan yang semestinya.

Semua itu tidak lain adalah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan artinya aturan agama tidak boleh mengatur urusan manusia, dimana manusialah yang berhak mengatur urusannya. Jika paham sekuler menjadi landasan perbuatan manusia, maka sudah bisa dipastikan manusia ada dalam lingkaran masalah yang tidak akan kunjung selesai.

Poliandri dalam Pandangan Islam

Poliandri dalam pandangan Islam sangat diharamkan sebab akan berpengaruh terhadap nasab/keturunannya kelak. Anak yang terlahir dari rahim seorang ibu yang berpoliandri akan susah menentukan siapa wali/ayah dari anak tersebut. Jika ini dibiarkan maka ketahanan keluarga sudah diambang kehancuran yang nyata.

Berdasarkan dalil Alquran dan Sunah. Dalil Alquran adalah firman Allah SWT:

وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡ

“Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24)

Ayat ini menunjukkan salah satu kategori wanita yang haram dinikahi laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119, “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”

Adapun dalil Sunah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّ‌َجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلأَوَّلِ مِنْهُمَا.

“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad)

Hadis di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).

Berdasarkan dalalatul iqtidha, hadis tersebut juga menunjukkan tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja. Dalalatul iqtidha’ hadis di atas menunjukkan haramnya poliandri.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata,

“Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki’, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya.

Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur.

Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan.” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65).

Demikianlah permasalahan perempuan baik di Indonesia maupun dunia. Permasalahan pada perempuan dan anak tidak akan terseleseikan dengan baik jika solusi yang diberikan hanya bersifat parsial, kedaannya sangat sulit untuk diurai ibarat benang kusut yang tidak berujung.

Tidak semestinya, para perempuan dibiarkan mengurus dirinya sendiri tanpa sebuah aturan yang jelas. Hanya sistem Islam yakni Khilafah yang akan memberikan jaminan kepengurusan terhadap hak-hak perempuan.

Untuk itulah dalam pandangan Islam, aturan tidak boleh dibuat oleh manusia, sebab jika aturan diserahkan kepada manusia maka akan cenderung hanya memenuhi nafsu belaka sesuai dengan keinginan masing-masing. Maka sudah seharusnya manusia mengikuti aturan Sang Pencipta agar tercipta sebuah kedamaian dan selamat baik di dunia maupun di akherat.

Dalam Islam yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Swt. Sesuai dengan firmannya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

“Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah,” (Yusuf: 40)

Juga firman-Nya:

أَلا لَهُ الْحُكْمُ

“Ingatlah hanya milik-Nya lah hak pembuatan hukum itu,” (Al An’am: 62).

Wallohu’alam Bishowab

*Praktisi pendidikan

Comment