Siti Masliha, S.Pd*: Selebrita Dalam Pertarungan Pilkada

Opini550 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pandemi corona belum berakhir namun tak menyurutkan langkah pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).

Pemerintah beserta jajarannya telah menggodok berbagai prosedur agar Pilkada ini tetap berlangsung di tengah pandemi corona.

Pilkada sudah berlangsung empat kali di negara kita. Sebelumnya kepada daerah dipilih langsung oleh DPR.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah admistratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten. Wali Kota  dan wakil wali kota untuk kota.

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.

Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005, dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung.

Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.

Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasioal (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra  berjumlah 32 orang.(Wikipedia)

Dari Pilkada ke Pilkada wajah-wajah yang manghiasi layar kaca ikut bertarung memenangkan kursi kekuasaan di daerah. Mereka merusaha menarik simpati masyarakat dengan ketenaran yang selama ini mereka dapat. Para artis ikut andil dalam percaturan Pilkada.

Mulai dari penyanyi dangdut, pemain senetron, personil grup band dan lain sebagainya. Mereka mencoba banting setir dari dunia keartisan yang selama ini membesarkan namanya ke dunia politik. Padahal jika kita menengok latar belakang artis banyak yang tidak mengenal dunia politik.

Kontestasi Pilkada di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kembali memunculkan sepasang bakal calon. Kali ini, Kemal Pasya, seorang pengusaha asal wilayah tersebut menggandeng artis sekaligus presenter Ramzi, mendeklarasikan diri untuk maju di Pilkada Tangsel 2020.

“Ya, kami siap maju di Pilkada Kota Tangsel,” ujar Kemal Pasya saat seperti dikutip Liputan6.com, Jumat (7/8/2020).

Kemal mengatakan, dengan menggandeng Ramzi sebagai bakal calon wakil wali kota, akan memiliki nilai lebih dalam konstestasi nanti.

“Ramzi punya passion di bidang politik, serta semangat untuk mengabdi pada kemaslahatan umat yang lebih besar,” ujar dia.

Kemal Pasya pun mengaku mendapat respons positif dari banyak partai politik ketika maju di Pilkada Tangsel. “Bagus. Saya pendekatan bahkan ke semua partai,” ujar dia. (Liputan6.com 07/08/2020)

Banyak Partai politik yang menggandeng para artis untuk maju dalam pertarungan Pilkada.

Untuk mendongkrak perolehan suara agar menang di panggung Pilkada. Pasalnya Selebrita sudah terkenal dimasyarakat (public figur). Mereka setiap hari menghiasi layar kaya dan sosial media.

Masyarakat sudah tak asing lagi dengan wajah-wajah mereka. Selain itu masyarakat juga lebih familiar dengan wajah para artis ketimbang tokoh politik.

Oleh sebab itu banyak artis yang dilirik partai politik untuk mengambil hati rakyat agar menang dalam percaturan Pilkada.

Namun pertanyaannya, mampukan mereka memegang amanah yang selama ini diberikan oleh rakyat?  Itulah tugas utama seorang artis yang masuk dunia politik yaitu mengurus urusan rakyat. Selama ini yang dilakukan oleh para artis adalah menghibur di dunia layar kaca.

Namun fakta yang kita saksikan hari ini ketika artis masuk ke dunia politik harus pula mampu mengurus rakyat. Selain itu harus pula memiliki kemampuan melakukan perubahan yang lebih baik pada daerah yang mereka pimpin.

Hal ini tidaklah mudah. Banyak artis yang masuk ke dunia politik akhirnya masuk dalam pusaran kemaksiatan. Tak sedikit artis yang masuk ke dunia politik masuk dalam jebakan korupsi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk naik ke kursi Pilkada harus merogoh kocek yang cukup dalam. Bukan hanya jutaan bahkan milyaran rupiah.

Hal ini membuat rakyat miskin tak bisa masuk dalam bursa pencalonan Pilkada. Dengan dana yang cukup besar ini partai politik banyak melirik para selebrita sebagai calon yang akan di usung ke panggung Pilkada.

Dengan dana yang cukup fantastis ini banyak orang yang ingin naik ke kursi pemilihan Pilkada terganjal dana yang besar. Karna ketiadaan dana,  pada akhirnya mereka hanya menjadi penonton dalam kompetisi dan percaturan Pilkada.

Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, untuk naik ke panggung Pilkada seseorang harus mengeluarkan dana sangat besar.

Menurut Menteri Dalam Negeri  (Mendagri)  ada sebanyak 204 pemerintah daerah yang memerlukan tambahan biaya dari APBN.

“204 daerah sudah komunikasi, total yang memerlukan tambahan APBN yaitu Rp 1,02 triliun,” kata Tito dalam rapat dengan Komisi II, Kamis (11/6/2020).

Rincian Rp 1,02 triliun itu adalah untuk KPUD Rp 908,44 miliar, Bawaslu daerah Rp 76,36 miliar, pengamanan Rp 35,78 miliar. (Liputan6.com 11/06/2020)

Inilah realita yang terjadi saat ini, pertarungan Pilkada adalah sebuah pertarungan yang membutuhkan banyak modal dan ketenaran.

Wajar jika seseorang naik ke singgasana kekuasaan ingin mengembalikan modal yang digunakan sebagai biaya dalam percaturan Pilkada. Salah satunya jalan adalah dengan memenangkan proyek-proyek para korporat. Agar modalnya dapat kembali.

Demokasi memberikan peluang kepada siapa saja meski tidak punya kemampuan dan tidak memiliki kepribadian yang baik sekalipun.

Inilah wajah demokrasi sesungguhnya. Dalam demokrasi tak penting siapa yang berkuasa, yang penting punya modal.
Teori dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah isapan jempol belaka.

Pada saat ingin naik ke panggung Pilkada para calon mendatangi rakyat namun setelah mendapatkan suara dan naik ke kursi jabatan, rakyat pun dicampakkan. Tidak ada upaya signifikan untuk memberi perubahan terhadap nasib rakyat. Ini artinya demokrasi telah gagal dan tidak serius mensejahterakan rakyat.

Padahal sejatinya setiap pemimpin akan dimintai pertanggung – jawaban atas apa yang dipimpinnya. Hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR. bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini jelas seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa bagi seorang pemimpin tidak cukup hanya bermodal terkenal tetapi juga harus kemampuan untuk memimpin rakyatnya.

Selain itu untuk menjadi pemimpin tidak memerlukan modal yang besar. Dalam sistem Islam tidak ada pemilihan kepala daerah.

Kepemimpinan dalam Islam bersifat centralistik. Kepala daerah dipilih langsung oleh Khalifah sebagai kepala negara. Khalifah bertanggung jawab untuk mengontrolnya. Khalifah mengangkat wali yang akan ditempatkan di beberapa daerah untuk membantu tugasnya. Wali adalah amir atau pemimpin di suatu wilayah.

Khalifah wajib mengontrol aktivitas para wali. Dalam mengambil setiap kebijakan Khalifah senantiasa menyampaikan kepada wali, hal ini dimaksudkan agar kebijakan tersebut sampai pada daerah yang menjadi tanggung jawab wali.

Khalifah juga harus senantiasa mengontrol urusan para wali dan memonitor urusan-urusan mereka. Sebagaimana Khalifah juga wajib mengumpulkan para wali untuk mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh masyarakat.

Umar Bin Khaththab sangat ketat mengontrol para Wali. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk menyelidiki kondisi para wali dan mengaudit mereka.

Umar mengumpulkan para wali di musim haji untuk melihat apa yang mereka lakukan. Beliau juga mendengarkan apa yang menjadi keluhan rakyat, mengingatkan mereka tentang urusan kepemimpinan, dan menyampaikan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar.

Jelas terjadi perbedaan yang amat mencolok pemilihan Kepala Daerah dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam.

Dalam Islam, orang yang dipilih sebagian calon pemimpin harus memiliki kapasitas dan amanah. Pasalnya tugas pemimpin amatlah berat, yaitu mengatur urusan rakyat. Selain itu pemilihan Kepala Daerah tidak membutuhkan modal yang besar.[]

*Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Comment