RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pahlawan tanpa tanda jasa itulah gelar yang disematkan kepada seorang guru. Guru adalah pekerjaan yang mulia. Dari tangannya lahir generasi-generasi unggul pengisi peradaban mulia.
Di pundaknya dipikul tanggung jawab besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari “digugu lan ditiru” (orang yang dipercaya dan diikuti). Bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter.
Itulah tugas berat seorang guru. Kita bisa banyangkan apa jadinya jika negeri ini kosong tanpa hadirnya seorang guru. Kita akan kehilangan generasi cemerlang di masa depan. Kehilangan generasi yang akan mengisi peradaban. Namun di tengah fakta dan tugas guru yang amat berat kita masih menemukan kisah-kisah memilukan seorang guru.
Kisah kesejahteraan guru yang jauh dari kata layak. Banyak kisah guru yang harus “bekerja sambilan” karena gaji yang jauh dari kata layak.
Hal ini sebagaimana dialami oleh salah seorang guru honorer di Kabupaten Bekasi, Fristy. Dia mengaku gajinya sebagai guru honorer paling tinggi sebesar Rp 1,2 juta/bulan. Itu pun bisa dia dapat bila mengajar hingga 24 jam pelajaran dalam satu bulan.
Fristy mengatakan gajinya tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. Untuk mengakalinya, Fristy juga harus bekerja di tempat lain untuk bisa menutupi kekurangan dari gajinya sebagai guru honorer.
Fristy kepada detikFinance, Rabu (2/5/2018), bertutur bila hanya mengandalkan gaji sebagai guru honorer tidak akan mencukupi. Harus ada kerja di luar sebagai kerja sambilan.
Masih banyak ribuan guru yang bernasib sama dengan Fristy, bahkan ada yang lebih miris dari yang dialami Fristy.
Itulah kisah sedih yang dialami oleh guru yang penuh dengan derita. Sebuah kisah pilu yang tak tentu tidak berhenti sampai di sini.
Kisah derita honorer pun bertambah pilu dengan diputusnya tunjangan guru non PNS.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyetop pemberian tunjangan profesi kepada guru bukan Pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di Satuan Perangkat Kerja (SPK).
Hal ini tertuang dalam Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus bagi Guru Bukan PNS.
Pasal 6 Ayat 1 menyebutkan bahwa tunjangan profesi diberikan kepada guru bukan PNS yang memenuhi kriteria penerima tunjangan profesi. Namun, Pasal 6 Ayat 2 dituliskan pemberian tunjangan profesi dikecualikan bagi guru pendidikan agama yang tunjangan profesi guru agama dibayarkan oleh Kementerian Agama dan guru yang bertugas di SPK.
SPK sendiri, seperti dikutip cnnindonesia, Senin (20/07/2020), adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan atas kerja sama antara lembaga pendidikan asing yang diakui di negaranya dengan lembaga pendidikan di Indonesia.
Lembaga ini dibentuk sesuai dengan perundang-undangan, baik dalam bentuk formal maupun non formal.
Lagi-lagi kesejahteraan guru termarginalkan di negeri ini. Anggaran pendidikan sebesar 20% ABN dirasa masih rendah sehingga belum memadai untuk mensejahterakan guru di negeri ini. Anggaran APBN ini tidak hanya diperuntukkan sebagai gaji guru tetapi dialokasikan juga untuk penyediaan fasilitas pendidikan yang lain.
Selain alokasi anggaran pendidikan yang rendah, pemerintah tidak maksimal dalam pengelolaan dan eksistensi Sekolah Berbasis Internasional (SBI).
Sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI) di negeri ini diselenggarakan dengan biaya dan tarif yang sangat melangit. Untuk masuk ke sekolah tersebut harus mengeluarkan biaya jutaan bahkan milyaran rupiah.
Gaji guru di sekolah tersebut diganjar dengan nominal yang sangat tinggi. Hal ini membuat sekolah-sekolah pemerintah gulung tikar. Kesenjangan gaji guru semakin menganga dengan jarak yang melebar.
Di sisi lain, kapitalisme yang begitu besar pengaruhya di negeri ini semakin memperparah ketidaksejahteraan guru. Kekayaan negeri ini direbut oleh pihak asing dan dinikmati hasilnya di negeri mereka.
Kekayaan alam (SDA) yang seharusnya dikelola oleh negara diserahkan kepada swasta atau asing, akibatnya banyak rakyat yang tidak dapat merasakan kesejahteraan, salah satunya adalah mereka dari kalangan yang berprofesi sebagai guru.
Kapitalisme menjadi salah satu faktor penyebab munculnya permasalahan dan derita guru di negeri ini. Kapitalisme dengan asas kebebasan kepemilikan menghalalkan orang-orang yang bermodal memiliki kekayaan di negeri ini. Akibatnya negara mengalami kerugian dan rakyat pun termarginalkan.
Seluruh kekayaan alam di negeri ini sejatinya dikelola oleh pemimpin dalam pemerintahan negeri ini. Namun faktarnya para konglomerat dan koorporat yang menikmati. Akibatnya kemiskinan pun menyelinap dan menyelimuti negeri sehingga nasib para guru honorer khususnya termarginalkan di negeri ini.
Berharap pada konsep kapitalisme untuk mensejahterakan guru di negeri ini hanyalah mimpi belaka. Kita butuh solusi sistemik agar kesejahteraan guru lebih baik ke depan.
Pandangan Islam Terhadap Guru
Dalam pandangan Islam pendidikan adalah hak dasar bagi setiap rakyat. Rakyat wajib mengenyam pendidikan tanpa pandang bulu. Pendidikan termasuk pelayanan umum dan merupakan kemaslahatan hidup terpenting.
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara gratis bagi rakyatnya. Baitul maal (kas negara) menanggung semua pembiayaan.
Guru dalam pandangan Islam adalah profesi yang mulia. Di tangannya tersampaikan ilmu yang bermanfaat bagi murid-muridnya. llmu yang bermanfaat ini adalah ilmu yang berguna bagi orang lain dalam hal kebaikan.
Selama ilmu yang diajarkan tersebut masih digunakan dan dimanfaatkan oleh orang lain maka selama itu pula pahala tiada henti dan mengalir kepada orang yang memberikan ilmu itu sekalipun orang tersebut telah meninggal dunia.
Ilmu tersebut menjadi amal jariyah bagi seorang guru yang terus mengalir meski telah meninggal dunia.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi SAW: Jika seseorang anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh.” (HR. Muslim).
Selian itu tugas guru yang tak kalah pentingnya adala mencetak generasi pembangun peradaban mulia. Nasib sebuah bangsa ke depan sangat bergantung pada generasi muda hari ini.
Jika generasi muda kita hari ini bobrok maka yang menjadi pemimpin kita ke depan adalah generasi yang bobrok pula. Jika generasi kita hari ini adalah generasi unggul maka pemimpin bangsa kita ke depan sudah barang tentu generasi unggul.
Salah seorang guru yang berhasil mencetak generasi unggul adalah Aaq Syamsudin. Beliau adalah guru dari M. Al Fatih.
Sultan Murad II, ayah M Al Fatih dengan pemikirannya yang cerdas mencarikan guru berkualitas dan cakap membentuk kharakter. Dia memanggil Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsudin.
Berkat pendidikan karakter dan pendidikan dengan pondasi Islami yang kuat, kelak Sang Anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad Al-Fatih (Sang Penakluk).
Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng Konstantinopel paling kuat dalam sejarah yang belum pernah terhoyahkan selama 1000 tahun lebih.
Setelah 825 tahun penantian dan atas kebenaran sabda Nabi. benteng Konstantinopel pun akhirnya dapat dilakukan oleh Sultan terbaik.
Itulah seorang guru yang mengemban tugas mulia sekaligus sangat berat. Karena itu dalam pandangan Islam, kesejahteraan seorang guru harus diperhatikan oleh pemimpin negara.
Negara wajib menjamin kebutuhan guru dan keluarganya. Gaji guru diambil secara langsung dari Baitul Maal. Kesejahteraan pendidik juga diperhatikan oleh negara.
Ad-Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari al-Wadliyah bin Atha’. Dia mengatakan, di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Umar Bin Khatab tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing diberikan 15 dinar emas setiap bulan (1 dinar= 4,25 gram emas). Besaran itu bila dikonversi sama dengan Rp9,5 juta.
Demikianlah sistem pendidikan dalam Islam dengan keunggulan spesifik dan hasil yang paripurna yang mempertimbangkan dan menghargai jerih payah seorang guru.
Dengan bersikap objektif, maka manusia yang jujur akan kembali kepada pendidikan Islam.[]
*Praktisi pendidikan dan Pemerhati Generasi
Comment