Siti Ma’rufah, S.Pd*: Di Balik Normalisasi Diplomatik Arab – Israel

Opini579 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan negaranya terbuka untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Namun sebelum hal itu terjadi, Palestina harus memperoleh kemerdekaan.

“Kami selalu terbuka untuk normalisasi penuh dengan Israel, dan kami pikir Israel akan mengambil tempatnya di kawasan. Tapi agar hal itu terjadi dan berkelanjutan, kami berharap warga Palestina mendapatkan negara mereka, kita perlu menyelesaikan situasi itu,” kata Pangeran Faisal saat berbicara di International Institute for Security Studies Manama Conference seperti dikutip laman Al Arabiya, Sabtu (5/12).

Dia menilai bahwa membawa Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan adalah kuncinya.

“Negara Palestina akan memberikan perdamaian sejati di kawasan, dan itu harus menjadi fokus,” ujarnya sebagaimana dilansir republika.co.id.

Dari beberapa fakta tersebut, dapat dianalisis beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, menunjukkan bahwa PBB selaku polisi dunia gagal menjalankan perannya sebagai solusi konflik antar negara. Faktanya, semenjak Israel mencaplok Tanah Palestina pada 1948, konflik pecah antara Israel (bangsa Yahudi) dan negara-negara Arab (rakyat Palestina dan bangsa-bangsa Arab), PBB tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut secara adil.

Hal ini dibuktikan oleh ketidak- mampuan PBB menghentikan agresi Israel mencaplok wilayah-wilayah tertentu di Tepi Barat. Walaupun Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet telah mengecam tindakan Israel sebagai tindakan ilegal, namun faktanya Israel tetap berambisi untuk menguasai wilayah tersebut. Pencaplokan Tepi Barat ini bukanlah wacana baru. Proposalnya bahkan sudah diajukan sejumlah politisi Israel sejak wilayah tersebut diduduki Israel pada 1967 atau setelah Perang Enam Hari.

Yerusalem Timur merupakan wilayah pertama Tepi Barat yang dicaplok Israel secara de facto pada 1967 dan de jure pada 1980. Akibat ketidak mampuan PBB tersebut melatarbelakangi lahirnya agenda normalisasi ini dengan harapan Israel tidak lagi berupaya untuk mencaplok wilayah tepi barat.

Hal ini tertuang dalam kesepakatan Abraham Accords yang memuat bahwa Israel akan menangguhkan rencananya untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat.

Kedua, Palestina semakin sulit mewujudkan kemerdekaannya dari Israel. Palestina merupakan salah satu icon muslim dunia. Semenjak dibebaskannya Palestina dari tangan Romawi oleh kholifah Umar bin Khathab, Palestina merupakan wilayah kekuasaan kaum muslim.

Namun semenjak Israel berhasil menduduki Yerussalem, kaum muslimin semakin sulit membebaskan Palestina dari Israel. Hal ini disebabkan Israel mendapatkan dukungan dan perlindungan dari PBB. Ditambah lagi saat ini Israel melaksanakan normalisasi dengan beberapa negeri muslim.

Hal ini semakin mempersulit Palestina dalam upaya meraih dukungan untuk merdeka. Sebaliknya,  dengan normalisasi ini, justru memperkuat posisi Israel di Yerussalem.

Ketiga, adanya simbiosis mutualisme dari agenda normalisasi ini. Artinya semua pihak mendapatkan keuntungan masing-masing.

Pakar pertahanan dari Center for International Policy, William Hartung, menyebut perdagangan senjata sebagai pertimbangan penting dari kesepakatan normalisasi.

Bagi Amerika Serikat, agenda ini merupakan sasaran empuk untuk meraup untung sebesar-besarnya. Bagaimana bisa demikian?

Israel merupakan sekutu mesra Amerika Serikat. Sehingga, dengan adanya normalisasi tersebut, Amerika Serikat bisa dengan mudah mewujudkan cita-citanya dalam hal penjualan senjata serta produk militer.

Sedangkan bagi negeri-negeri Arab, normalisasi menyimpan pengkhianatan terselubung terhadap Palestina. Hal ini dikarenakan para pemimpin negeri muslim tersebut berharap akan mendapatkan akses bantuan senjata pertahanan dari Amerika Serikat yang mana posisinya sebagai sekutu Israel. Melalui Israel berharap Amerika Serikat simpatik kepada mereka.

Dari ketiga analisa di atas dapat disimpulkan bahwa normalisasi hubungan diplomatik ini merupakan momok bagi Palestina khususnya dan kaum muslimin pada umumnya.

Sebaliknya, normalisasi merupakan sumber kehidupan bagi Amerika Serikat dan sekutunya Israel. Selain itu, Normalisasi sebagai bentuk pemecah persatuan umat muslim dengan berkhianat terhadap sesama.

Sehingga persatuan umat untuk menegakkan syariat Islam dimuka bumi ini semakin sulit diwujudkan.

Persatuan menjadi modal utama yang akan memperkuat kaum muslimin merealisasikan syariat Islam sebagai rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam bishshowaab.[]

*Komunitas Generasi Peduli Peradaban

Comment