RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ibu adalah sekolah pertama dan utama untuk para buah hatinya. Dari seorang ibu, pendidikan di rumah dimulai sebelum anak-anak belajar kepada guru di luar.
Ibu adalah guru pertama dalam rumah yang mengajarkan banyak hal, terlebih dalam pendidikan agama dan pengenalan terhadap sang pencipta. Sementara sang ayah diibaratkan sebagai kepala sekolah.
Keduanya, antara ibu dan ayah saling berkontribusi dan memaksimalkan peran masing-masing guna mencapai kehidupan keluarga harmonis sesuai tuntunan agama.
Namun seiring berjalan waktu, opini kesetaraan gender yang digencarkan kepada kaum perempuan begitu massif hingga peran keibuan banyak terabaikan.
Kampanye kesetaraan gender tersebut digaungkan secara masif sehingga membuat kaum perempuan dilematis dengan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dalam pemahaman kesetaraan gender yang dikampanyekat Barat, perempuan bekerja di dalam rumah itu adalah hal kuno yang diidentikkan dengan pendidikan rendah.
Barat dengan ide kesetaraan gender tersebut menggiring dan mengkondisikan opini bahwa wanita yang beraktivitas di rumah dilabeli dengan sesuatu yang buruk seperti terkungkung, ketinggalan, tertindas dan sebagainya. Kondisi ini dijadikan sebuah alasan dan pembenaran munculnya ide gender yang dianggap dapat menyelamatkan wanita dari keadaan tersebut.
Para wanita diprovokasi dan disejajarkan dengan laki-laki dalam hal aktivitas luar seperti pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Lebih parahnya lagi, ide gender justru didukung dan difasilitasi oleh banyak pihak.
Presiden Joko Widodo mengangkat isu terkait pemberdayaan perempuan saat berbicara pada Sesi III KTT G20, Sabtu, 29 Juni 2019. Sebagaimana kutipan berikut ini:
“Perempuan lebih rajin, lebih tekun, lebih detail, lebih sabar, dan lebih team-work daripada kita. Karena e-Commerce dan teknologi membutuhkan karakter seperti itu, sehingga meningkatkan partisipasi perempuan dalam bisnis, ekonomi dan politik otomatis akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional di era digital,” (kemlu.go.id, 29/Juni/2019)
Kondisi ini semakin lengkap ketika diberbagai perusahaan menawarkan lowongan pekerjaan yang membutuhkan tenaga perempuan meski dengan syarat-syarat yang begitu merendahkan perempuan, salah satunya adalah melepaskan identitasnya.
Lagi-lagi perempuan menjadi sasaran empuk para kapitalis dan menjadi korban. Dengan alasan gender, kaum perempuan terpedaya dan meninggalkan peran pentingnya di rumah.
Kapitalis menganggap perempuan sebagai tenaga produktif yang bisa menjadi penambah devisa negara hingga pahlawan penyelamat perekonomian keluarga, alhasil banyak perempuan yang berbondong-bondong bekerja di luar rumah dan meninggalkan kewajiban utamanya sebagai pendidik dalam keluarga.
Tenaga perempuan diserap habis oleh kapitalis dengan iming iming kesejahteraan materi. Dengan demikian, sebagian besar waktu perempuan di curahkan penuh untuk memenuhi kewajiban sebagai tenaga kerja di pabrik, perkantoran dll.
Peran perempuan sebagai madrasatul ula dan pengatur rumah tangga kandas oleh keinginan semu kesejahteraan materi yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kerusakan generasi di tengah keluarga.
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggung jawab melaksanakan ibadah kepada sang pencipta dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-qur’an :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat.
Kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun.
Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Kedudukan dan posisi perempuan dalam islam sangat mulia dengan peran dan fitrahnya sebagai warabbatul bait. Wallahua’lam bishawab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment