Siti Juni Mastiah, SE: Problematika Jaminan Produk Halal Dalam Sistem Sekuler

Opini565 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menyatakan usulannya terkait RUU Omnibus Law untuk restoran UMKM terbebas dari sertifikat halal. Beliau menyatakan bahwa saat ini UMKM sulit menyertakan “sertifikasi BPOM” maupun halal pada produknya.

Pasalnya sertifikasi itu diperuntukan ke masing-masing produk. Misalnya warung makan Padang, Sertifikat halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya Rp 10 juta. Satu restoran Padang untuk Sertifikasi bisa Rp 80 juta. Ini hal yang akan menghambat. (Kompas.Com, 01/02/2020).

Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim, 14% dari total seluruh umat Islam di dunia, hidup di negara ini, sehingga halal merupakan syarat utama dari makanan yang akan dikonsumsi oleh umat Islam, tidak hanya itu, obat-obatan, kosmetik dan barang konsumsi lainnya yang digunakan oleh umat Islam harus terjamin halalnya.

Dalam kehidupan sekuler saat ini, kehalalan produk seperti menjadi ajang bisnis bagi perusahaan. Padahal kehalalan produk bukanlah tren melainkan kebutuhan umat Islam. Sulitnya mengurus sertifikat halal bagi produk makanan dan minuman menjadi penghambat bagi para produsen untuk bisa menjamin produk yang dikelolanya halal.

Dari pernyataan Menteri Koperasi dan UMKM bahwa yang harus mendapatkan sertifikat halal adalah dari produsen bahan bakunya bukan dari pelaku UMKM nya. Ini jelas sekali keliru karna dalam pengolahan bahan baku menjadi barang yang siap dikonsumsi atau digunakan bisa terjadi kerawanan ketidakhalalan dalam prosesnya.

Negara ataupun penguasa seharusnya mampu untuk mengontrol segala jenis produk yang akan dikonsumsi oleh masyarakat bahwa terjamin halal dan kebaikannya. Terbukti bahwa rezim sekuler kapitalis saat ini gagal melindungi hak publik untuk memberikan jaminan halal pada setiap produk yang beredar di pasaran maupun di restoran.

Berbeda dengan sistem Islam dimana Negara dengan para pemimpinnya akan bertanggungjawab penuh dalam pengontrolan segala jenis makanan, minuman, obat-obatan, dan semua barang yang siap dikonsumsi oleh masyarakat harus sudah terjamin kehalalan dan keamanannya.

Pengontrolan dalam Negara Islam akan dibantu oleh Qadhi Al Muhtasib yang mengurusi penyelesaian dalam masalah penyimpangan-penyimpangan hak-hak jamaah. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda yang artinya : “orang yang melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad).

Landasan terkait makanan halal yang harus dikonsumsi adalah firman ALLAH Swt dalam T.QS. Al Maidah ayat 88 yang artinya : “Dan makanlah makanan lagi halal dan baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada Nya.”

Negara Islam tidak akan mempersulit untuk pengecekan kehalalan produk yang dikelolah oleh para produsen, serta tidak ada pungutan biaya seperti sistem kapitals sekuler saat ini dalam perizinan kehalalan pengolahan produk. Karna hal tersebut sudah menjadi kewajiban negara didalam Islam untuk menjamin kehalalan segala jenis produk yang dikonsmsi dan dipakai masyarakat khususnya umat Islam.

Maka hanya di dalam sistem yang menerapkan aturan Islam secara kaffah saja yang akan mampu memberikan terjaminnya keamanan kepada masyarakat terhadap barang yang dikonsumsinya, dan memberikan kemudahan kepada semua produsen untuk memperjualkan produk usahanya yang terjamin halal dalam setiap proses pengolahannya dengan pengontrolan yang rutin dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh para pemimpin yang diberikan amanah didalam negara.

Pesan Rasulullah Saw dalam sabdanya :“Aku telah meninggalkan dan memperbaikinya pada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR.Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashir. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilal di dalam Ta’zhim wal minnah fil intisharis sunnah, hal 12-13). Wallahu’alam biashowab.[]

Comment