RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — LCS ( Laut Cina Selatan ) menjadi ajang perebutan antara Amerika Serikat dan Cina, kondisi ini semakin memanas ketika Cina mengklaim 80% wilayah perairan di LCS melalui sembilan garis putus-putus (nine dash line) menjadi miliknya, padahal klaim tersebut belum diverifikasi oleh badan Internasional manapun. Melihat sikap Cina ini, Amerika gerah dan tidak akan tinggal diam atas sikap Cina yang semakin ingin menguasai Laut Cina Selatan secara sepihak.
Laut Tiongkok Selatan atau Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3500000 kilometer persegi (1400000 sq mi). Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya.
Laut ini juga memiliki kekayaan makhluk hidup yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.
Dengan melimpahnya Sumber Daya Alam (SDM) di kawasan Laut Cina Selatan tidak heran jika wilayah ini menjadi ajang perebutan antara negara-negara yang mempunyai kekuatan luar biasa di dunia.
Dengan menguasai Laut Cina Selatan, maka eksistensi negara tersebut akan diperhitungkan oleh negara-negara lain di dunia. Dengan Sumber Daya Alam (SDM) dan wilayah yang strategis sebagai wilayah perlintasan sepertiga kapal di dunia.
Pada tahun 2016 Filipina menentang klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan, dan membawa kasusnya ke arbitrase internasional di bawah UNCLOS. Pengadilan Internasional di Den Haag memutuskan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak bersejarah atas Laut China Selatan, dan bahwa itu telah melanggar hak kedaulatan Filipina.
China, yang tidak ikut serta dalam proses pengadilan itu, menyebut putusan itu “tidak berdasar” dan bersikeras bahwa China tidak terikat oleh putusan itu. China lebih lanjut mengatakan bahwa perselisihan ini harus diselesaikan melalui negosiasi bilateral. (Matamatapolitik.com, 20/02/2019).
Ketegangan pun berlanjut hingga sekarang, dan baru-baru ini Cina secara sepihak mengklaim 80% wilayah Laut Cina Selatan menjadi hak milik Cina, akibatnya Amerika yang didukung Jepang dan Australia menjadi murka dan tidak memberikan angin segar untuk Cina melengang menguasi wilayah Laut Cina Selatan.
Amerika meskipun tidak mempunyai hak teritorial terhadap wilayah tersebut menjadi negara yang sibuk untuk menjadikan Cina tidak berkuasa di wilayah Laut Cina Selatan, pasalnya Amerika menjadi tokoh penting di wilayah yang disengketakan itu, melakukan kebebasan navigasi untuk menantang apa yang disebutnya “klaim maritim yang berlebihan” yang dapat membatasi akses internasional ke wilayah tersebut. Amerika mengandeng Australia untuk mendapatkan dukungan agar Cina tidak bisa dengan bebas berkuasa di wilayah Laut Cina Selatan. (Matamatapolitik.com, 20/02/2019).
Menurut teori Donald E. Nuecterlin diantara kepentingan Amerika Serikat di Laut Cina Selatan adalah kepentingan ekonomi dan tata internasional, yaitu Amerika Serikat dengan kekuatannya untuk senantiasa mengokohkan kekuatan dominasi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.
Bagaimana dengan Indonesia menyikapi konflik ini? Sejak memanasnya konflik Laut Cina Selatan Indonesia mengambil sikap netral dengan menghormati perjanjian UNCLOS yang merupakan konvensi Internasional. Meskipun nantinya ketika terjadi peperangan antara Cina dan Amerika Indonesia pun tetap memilih sikap netral dan tidak mau ikut campur tangan.
Dengan sikap seperti ini, maka dapat dipastikan Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar tidak mampu unjuk kekuatan atas hegemoni negara asing bahkan penjajah untuk menjadikan wilayah Laut Cina Selatan menjadi wilayah yang harus dikuasai hajat hidup masyarakat secara umum. Karena sejatinya dalam Islam, Laut Cina Selatan adalah menjadi wilayah umum yang kepemilikannya adalah menjadi hak secara menyeluruh untuk kepentingan umum dan bukan menjadi hak individu apalagi kepemilikan negara kafir.
Kepemilikam dalam Islam terbagi menjadi 3 Kepemilikan Individu (al-Milkiyah al-Fardiyah), Kepemilikan Umum (al-Milkiyah al-amah) dan Kepemilikan Negara (al-Milkiyah ad-dawlah). Negara Islam wajib menjadi eksistensi kepemilikan ini agar post-post dalam kepemilikan ini dapat terjaga dan tepat sasaran.
Ketika membahas tentang Laut Cina Selatan yang sejatinya menjadi kepemilikan umum, maka pemanfaatannya harus jelas dan bisa dinikmati oleh masyarakat secara umum. Kepemilikan umun adalah izin pembuat hukum (ALLAH SWT) Kepada suatu masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda.
Berbagai benda yang dinyatakan pembuat hukum (ALLAH SWT) memang diperuntukkan bagi suatu komunitas masyarakat dan Allah Swt melarang benda tersebut dikuasai oleh seorang saja (privatisasi).
Jelas bahwa Islam adalah satu-satunya yang mampu menjaga dan memberi manfaat yang luar biasa untuk menjadikan setiap hak sesuai denga kadar yang dimiliki.
Dengan negara Islam sebagai pemantau atas hak-hak ini akan bisa dipastikan kesejahteraan masyarakat secara umum akan tercapai dengan semaksimal mungkin, negara Islam akan memberikan hak-hak tersebut kepada warga negara Islam baik muslim mauoun non muslim.[]
Comment