Siti Aisah, S. Pd |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Penjajahan gaya baru terhadap negara berkembang adalah dengan cara ikut campur terhadap urusan politik, ekonomi, dan budaya negara lain. Tindakan ini seringkali disebut sebagai intervensi aturan dan kebijakan. Tapi terkadang tindakan ikut campur ini seringkali berlebihan, walaupun katanya dilakukan karena ada niat membantu. Salah satu contoh terbaru tindakan intervensi terhadap sebuah negara ini adalah perjanjian kesepakatan antara Cina dan Indonesia. Kedua negara tersebut telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek di bawah panji kebijakan luar negeri pemerintah Cina yang dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI).
Memorandum of Understanding (MoU) itu telah ditandatangani. Pelaksanaannya menggunakan skema business to business (B-to-B) artinya kerjasama ini dilakukan oleh para pebisnis dari kedua negara tersebut. Dilansir dari harian Bisnis dan Kompas, penandatanganan MoU dilakukan dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI yang dilangsungkan pada 25-27 April di Beijing, Cina. Salah satu pejabat pemerintah Indonesia yang menjadi perwakilannya adalah Wakil Presiden periode 2014-2019 bapak Jusuf Kalla. Beliau menyampaikan harapan besarnya kepada sekitar 400 pengusaha Cina dan Indonesia agar pelaksanaan proyek-proyek tersebut dapat berjalan dengan baik dan konsisten dengan skema B-to-B yang telah disepakati bersama.
Perlu diketahui pula Proyek OBOR yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping ini merupakan proyek infrastruktur jalur sutra modern. Dan merupakan salah satu “jebakan utang” Cina bagi negara berkembang semisal Indonesia. Gagasan OBOR ini menjadi proyek besarnya untuk masuk ke negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam. Konsep ini pun menjadi master plan pembangunan jalur perdagangan Cina dari Asia ke Afrika dan Eropa. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi sasaran empuk dalam lingkaran kobaran OBOR ini.
Seperti diketahui pula bahwa porsi utang Indonesia pada akhir November 2018 semakin bertambah. Posisi ULN (Utang Luar Negeri) Indonesia tercatat US$ 372,9 miliar atau meningkat dibandingkan Oktober 2018 yang mencapai US$ 360,5 miliar. Jika menggunakan asumsi kurs Rp 14.100/US$, maka posisi ULN Indonesia di akhir November 2018 setara dengan Rp 5.257 triliun. Pengkajian ulang terhadap proyek ini harus mendalam. Apakah proyek ini dapat menguntungkan Indonesia? Ataukah malah membuat negara ini menjadi jajahan gaya baru berupa intervensi aturan UU yang selalu menguntungkan para kapital. Atau juga membuat pejabat boneka yang bisa dengan mudahnya diatur oleh negara aseng tersebut. Ataupun sebagai tanda bahwa negeri ini sudah bertekuk lutut dalam hegemoni intervensi Cina yang mencengkram secara politik dan ekonomi.
Salah satu visi dari OBOR itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas perdagangan dengan serta penyediaan fasilitas infrastruktur, baik darat maupun laut, yang memadai di seluruh kawasan yang ditargetkan. Sedangkan tujuannya adalah membangun infrastruktur lintas benua agar bisa memperluas jaringan dagang Cina menuju Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. Presiden Cina Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru Cina ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun berlandaskan pada “nilai-nilai bersama”. Namun ini menjadi makna ambigu dan hanya negara Cintalah yang tahu makna arti sebenarnya.
Keuntungan bagi Cina dari proyek ini adalah Pertama, dana yang disalurkan tersebut tetap produktif, karena walaupun mengatasnamakan bantuan, tapi ini merupakan hutang terselimuti. Kedua, terbukanya lapangan kerja baru bagi para penduduknya dinegara tersebut dan Ketiga, memperkuat pengaruh Politiknya dalam skala geopolitik global. Akan tetapi bagi Indonesia dan negera yang telah melakukan kerja sama, terkadang lebih banyak buntungnya. Maka tak heran jika rayuan manis ini merupakan jebakan yang sudah disiapkan Cina untuk mencengkeram negara tujuan dengan mengatasnamakan kerja sama bantuan proyek OBOR.
Strategi yang ditempuh Cina untuk mengepakan sayapnya adalah dengan meniru strategi negara-negara maju seperti AS dan Jepang yang memberikan bantuan hibah dan utang secara bilateral serta melalui lembaga-lembaga multilateral yang mereka kuasai, seperti World Bank dan Asia Development Bank. Selain itu Xi Jinping melahirkan OBOR sebagai penyempurnaan proyek String of Pearls. Dan tak boleh disangkal, bahwa salah satu cabang OBOR-nya Xi adalah melintas di selat-selat dan perairan Indonesia. Kenapa? Bila Selat Malaka diblokade oleh Amerika kelak, maka alternatif jalur paling singkat menuju Samudera Hindia, Laut Arab, dan lain-lain guna mengamankan jalur suplai energi sesuai rute String of Pearls dulu adalah Selat Sunda, atau Selat Lombok dan lainnya.
“No free lunch”. Tak ada makan siang yang gratis. Hal ini berlaku juga. Cina tidak memiliki kompetensi dalam birokrasi internasional sektor bantuan asing, yang bertujuan menyebarkan dominadi ekonomi dan politik secara halus. Beijing memperlakukan proyek-proyek inf rastruktur di bawah kebijakan Belt and Road itu sebagai utang dalam bentuk konsesi jangka panjang, dimana satu perusahaan China mengoperasikan fasilitas itu dengan konsesi 20-30 tahun dan membagi keuntungannya dengan mitra lokal atau pemerintah negara setempat.
Fakta menunjukkan utang luar negeri cukup membahayakan negeri ini. Risiko terbesarnya adalah gagal bayar utang. Zimbabwe menjadi contoh cerita yang mengenaskan. Gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepeda Cina. Sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang. Berikutnya Nigeria. Model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang.
Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur. Begitu juga Sri Lanka. Setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Tak ketinggalan Pakistan. Pembangunan Gwadar Port bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus rela dilepas. Risiko seperti itu tidak mustahil. Bila melihat pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan secara massif, polanya mirip dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara yang gagal membayar utang (Rmol.co, 12/09/2018)
OBOR ini pula menujukan proyek ambisius Cina dalam hegemoni intervensi politik dan ekonomi, sebagai umat Islam yang menjadi pemilik sah negeri ini harus menolak semua itu. Karena kebijakannya ini telah mengundang investor asing ke Indonesia dalam rangka proyek ambisius pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi ini telah terbukti merugikan rakyat Indonesia. Ancaman lainnya adalah tergadainya negeri ini dalam rayuan manis yang menjerat ini bernama hutang yang ter intervensi oleh asing penjajah. Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam dan manusianya, semestinya bisa memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat serta dapat dikelola secara mandiri, karena berlimpahnfya SDM.
Hal yang utama adalah pengelolaan negeri ini membutuhkan aturan yang telah Allah turunkan. Dan menutup pintu untuk orang-orang kafir yang mau mengintervensi atau menjajah dan menguasai kembali kehidupan umat Islam. Sebagaimana Allah berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin” (An-Nisa’ [4]: 141)
Sehingga tidak ada alasan lagi untuk menolak proyek OBOR ini. Karena ini adalah bentuk jalan untuk mempertegas bentuk kolonialisasi Cina. Maka, tidak ada yang bisa memberhentikannya penjajahannya kecuali dengan membuat tandingan negara adidaya. Yaitu Al-Khilafah Islamiyah kembali kepada syariah yang Allah turunkan agar dapat hidup berkah dalam ridho-Nya. Wallahu ‘alam bi-ashawab.[]
Comment