Sinta Mustika, S.Hi*: Sekolah Buka Di Zona Hijau Bikin Galau 

Opini570 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  — Meskipun saat ini penyebaran wabah Covid-19  dipastikan belum berakhir, namun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah mengumumkan bahwa tahun ajaran baru akan berjalan sesuai dengan jadwal, yaitu pada bulan Juli ini.

Jadwal itu tidak berdampak kepada metode yang dilakukan baik daring maupun tatap muka.

Kebolehan ini berlaku pada sekolah yang berada pada zona hijau (sejumlah 92 kabupaten/kota atau 6% dari keseluruhan sekolah di Indonesia).

Dilansir tribunenews.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menegaskan, hanya sekolah di zona hijau yang dapat kembali membuka pengajaran secara tatap muka di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

Artinya sekolah tersebut dapat kembali buka untuk menerapkan kegiatan belajar mengajar.

Meski begitu, waktu dimulainya tahun ajaran baru belum diputuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

Plt Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Hamid Muhammad seperti dikutip laman kontan.co.id, Kamis (4/6/2020) mengatakan, hanya sekolah di zona hijau yang dapat membuka sekolah dengan tatap muka. Tanggal pastinya menunggu pengumuman Mendikbud,

Hamid menegaskan kembalinya siswa ke sekolah dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Hal itu untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah.

Hamid menegaskan pentingnya jaga jarak dan pemakaian masker,  jaga kebersihan dan jumlah maksimal siswa dibatasi 12-18 siswa perkelas.

Sementara untuk daerah yang masih berada pada zona kuning, orange, dan merah tetap akan melakukan kegiatan belajar dari rumah.

Kemendikbud bersama Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menyusun materi pengayaan pendukung kegiatan belajar dari rumah.

Data SPAB per 27 Mei 2020 menunjukkan sebanyak 646.000 satuan pendidikan terdampak Covid-19. Sedangkan jumlah siswa terdampak mencapai 68.801.708 siswa.

Siswa tersebut melaksanakan kegiatan belajar dari rumah. Dari hasil survei singkat Seknas SPAB pada bulan April 2020, sebanyak 30,8% responden mengalami kendala belajar dari rumah dikarenakan koneksi jaringan internet.

Kebijakan terkait mengakhiri belajar dari rumah ( BdR) telah dilontarkan oleh Kemendikbud, namun kemudian dirinci dengan persyaratan mengikuti protokol kesehatan dan social distancing.

Belajar dari Rumah ( BdR) memang lebih ramah anak dari aspek kesehatan daripada pembelajaran tatap muka.

Namun BdR tetap harus dipahami sebagai sebuah metode belajar yang tidak alami, tidak normal. Akhirnya, ‘ belajar dari rumah’ hanya dimaknai ‘ mengerjakan tugas dari rumah’.

Pihak sekolah pun bakal kerepotan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai protokol kesehatan.

Utamanya soal phisycal distancing yang mengharuskan kelas hanya terisi setengahnya.

Kurikulum dan kinerja guru terkena imbas akibat kondisi ini. Belum lagi jika ada siswa yang tidak mendapat ijin orangtua belajar di sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa- siswa tersebut.

Sehingga, pekerjaan sekolah akan jauh lebih berat, beban berat bertambah karena pemerintah tidak mengeluarkan kurikulum darurat saat pandemi, baik untuk pembelajaran jarak jauh maupun belajar tatap muka saat pandemi.

Hal ini justru membuat stakeholder pendidikan bingung dan ragu apa langkah yang semestinya diambil untuk menyikapi kebijakan tersebut?

Pemerintah sendiri tidak punya arah yang jelas tentang target pembelajaran sekolah, juga tidak ada integrasi kebijakan dengan kehidupan baru yang dijalankan.

Sehingga kesulitan menetapkan secara tegas apakah perlu tetap BdR atau bisa tatap muka.

Dalam situasi pandemi, negara Islam menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja (lockdown). Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka.

Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.

Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah.

Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat.

Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian.

Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.

Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya.

Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah. Wallahu’alam.[]

*Praktisi pendidikan

Comment