Singkat Saja, Pemimpin Perlu Gagasan, Ide dan Ilmu

Opini251 Views

 

 

Penulis: Dr.  H. J. Faisal | Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Melihat dari perkembangan yang terjadi dalam dunia politik Indonesia saat ini, ternyata ada juga manusia sekelas calon presiden yang akan memimpin negara sebesar Indonesia, yang bahkan masih menjabat sebagai salah seorang Menteri di negeri ini.

Menurut saya masih alergi dengan keilmuan akademis yang berisi tentang gagasan, ide, dan pemikiran yang kreatif dari calon presiden lainnya. Bahkan celakanya, semua ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran akademis tersebut diejek dengan sebutan ‘omon-omon’ saja.

Menurut pemikiran awam saya, kalau masih ada manusia yang tidak suka mendengar tentang gagasan, ide, dan pemikiran yang bersifat akademis, maka itu artinya manusia tersebut benar-benar ‘rabun akut’ dalam melihat keilmuan dan pengetahuan.

Kalau ada manusia yang tidak menghargai gagasan, pemikiran, dan ide yang bersifat akademis, maka itu artinya manusia tersebut juga sangatlah tidak paham tentang bagaimana sesungguhnya ilmu itu ‘bekerja’, baik itu secara epistimologi (proses mendapatkan ilmu), ontologi (menganalisa keberadaan ilmu), dan aksiologinya (kegunaan ilmu dalam kehidupan), dalam membangun kehidupan manusia yang berpengetahuan dan beradab.

Bagi manusia yang tidak paham tentang bagaimana epistimologi, ontologi, dan aksiologi dunia keilmuan, maka tidak heran jika mereka hanya melihat kehidupan dan segala isinya hanya dari sisi ‘kacamatanya’ sendiri, egonya sendiri, kemauannya sendiri, dan bahkan hanya dari nafsunya sendiri.

Hanya karena nafsu untuk mendapatkan kekuasaan sesaat, akhirnya manusia-manusia tersebut ‘rela’ untuk mematikan hati nurani dan akal sehatnya sendiri.

Maka, tidaklah mengherankan pula jika manusia-manusia semacam itu dapat menjadi seorang yang berharta, atau bahkan dapat menjadi seorang pemimpin, karena faktor keberuntungan yang lebih dominan daripada faktor keilmuan yang dimilikinya.

Dampak yang akan muncul kemudian adalah, mereka akan menjadi manusia yang justru sangat ‘berbahaya’ bagi manusia lainnya, dikarenakan mereka hanya akan membawa kerusakan dibandingkan kebermanfaatan bagi sesamanya.

Celakanya lagi, jika manusia seperti mereka diberikan kesempatan untuk memimpin sebuah negara, maka negara yang dipimpin oleh mereka yang ‘alergi’ terhadap ilmu pengetahuan, dan hanya haus terhadap kekuasaan dan materi, akan dapat dipastikan, negara tersebut akan menjadi seperti negara Indonesia saat ini.

Berjalan tanpa arah tujuan yang pasti, yang akibatnya hanya membuat rakyat sengsara, dan hanya dijadikan sebagai ‘alat pembenaran’ untuk memberikan legitimasi positif atas ketidakbecusan kepemimpinan mereka dengan memberikan tambalan dan sumpalan berbentuk bantuan-bantuan sosial.

Ditambah lagi dengan ‘dukungan’ sistem kenegaraan yang liberal dan sekuler, di mana sistem politik, hukum, pendidikan, dan nilai-nilai demokrasinya didasarkan kepada pemikiran kaum orientalis yang lebih mementingkan nilai-nilai materialisme dan kapitalisme di dalam pelaksanaannya, dan sangat tidak memperdulikan nilai-nilai etika yang ada.

Bahkan khusus dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, yang saat ini sudah tercoreng ‘harga dirinya’, dengan kelakuan bodoh dan konyol para jajaran pemimpinnya, dengan ‘menjerumuskan’ mahasiswa mereka untuk membiayai pendidikan mereka dengan meminjam uang dari perusahaan fin-tech (baca:pinjaman online/pinjol), yang jelas-jelas mencari keuntungan dengan menerapkan beban bunga pinjaman, yang pastinya akan sangat memberatkan para mahasiswa mereka sendiri.

Semua cerminan keadaan yang sedang terjadi di bawah kepemimpinan negeri ini saat ini, sangatlah sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh sahabat terdekat Rasulullah Salallhu’alaihi wassalam, yaitu Abu Bakar Ashiddiq Radiallahu’anhu, yang pernah mengatakan bahwa amal yang dilakukan oleh seorang manusia yang tidak didasarkan atas ilmu, maka amalan tersebut akan menjadi sia-sia dan hanya akan membawa kerusakan.

Allah Ta’alla pun sudah memperingatkan manusia tentang berbahayanya melakukan amalan atau perbuatan, atau bahkan memutuskan suatu perkara tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Di dalam Al Qur’an Surah Sad ayat 26, Allah Ta’alla berfirman, yang artinya:

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita sebagai rakyat Indonesia yang masih percaya dengan kekuatan ilmu pengetahuan, dan kekuatan yang berbentuk ide, gagasan dan pemikiran yang sehat dan rasional dalam upaya untuk memperbaiki peradaban bangsa yang sudah compang-camping ini, masih mau mengikuti cara-cara mereka yang sudah tidak menghargai lagi keilmuan, bahkan mengejeknya dengan etika yang sangat minim, dan ucapan yang tidak pantas untuk diucapkan, atau dengan gimik yang sangat tidak pantas untuk dilakukan?

Pertanyaan sederhana berikutnya adalah, apakah kita sebagai rakyat Indonesia yang masih percaya dengan hati nurani dan akal sehat kita sendiri, harus percaya kepada mereka yang telah mengingkari hati nurani, akal sehat, dan etika dasar kemanusiaan mereka sendiri?

Pertanyaan terakhir adalah, apakah kita sebagai manusia berilmu dan mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada makhluk Alla Ta’alla lainnya, mau disejajarkan dengan posisi hewan ternak oleh Allah Ta’alla, Tuhan kita sendiri, hanya karena kita mengingkari hati nurani kita sendiri?

Seperti yang telah Allah Ta’alla peringatkan dan singgung secara halus di dalam Al-Qur’an surah Fathir ayat 28, yang artinya:

“Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para mereka yang berilmu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.”

Ingatlah juga peringatan Allah Ta’alla di dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 36, yang artinya:

“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Jadi, singkat saja apa yang dikatakan oleh hati nurani kita sekarang, dengan dasar tingkat keilmuan yang kita miliki masing-masing ? Wallahu’allam bisshowab.[]

Comment