Sikap Bersama Buruh Perempuan Tuntut Penghentian Pembahasan Omnibus Law Saat Pandemi Covid – 19

Nasional317 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang lain. Bekerja! Suara itu saya dengar nyaring sekali, tampak tersurat di hadapan saya sehingga harus saya tulis untuk nyonya, karena nyonya sungguh-sungguh turut merasakan dan turut menghayati suka-duka kami. (Kartini kepada Nyonya Abendanon Mandiri, 8 April 1902).

Demikian kutipan surat Kartini yang ditujukan kepada Nyonya Abendanon Mandiri pada April 1902 dalam kaitan pernyataan sikap memotivasi semangat buruh perempuan di tanah air yang disampaikan Jumisih, Ketua FBLP dalam rilisnya ke redaksi Selasa (18/4/2020).

Menyikapi pandemic covid19 yang terus memakan banyak korban. Pemerintah secara susul menyusul mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai respon dari tanggung jawab pemerintah atas situasi yang memprihatinkan ini.

Di saat pemerintah memberikan arahan kepada rakyat untuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), demi memutus mata rantai penyebaran covid 19. Tapi di sisi lain, kita juga tahu bahwa pemerintah dalam hal ini DPR masih melanjutkan pembahasan Omnibuslaw RUU Cipta Kerja.

“Kami buruh perempuan, yang juga merupakan generasi Kartini di era ini adalah bagian dari jutaan buruh perempuan yang kini menghadapi situasi darurat corona, menghadapi beban dan tekanan yang luar biasa.” Ujar Jumisih dalam rilis kepada Radar Indonesia News, Selasa (18/4).

Beban yang dimaksud Jumisih,  karena mereka harus bekerja dalam situasi ancaman tertular atau bahkan menjadi penular dari covid 19 ini.

Cara kerja yang berdesakan dalam jumlah ratusan/ribuan dengan APD yang kurang memadai menjadikan posisi kami sangat rentan.

Selain itu tambah Jumisih, buruh perempuan juga mengalami beban ganda, selain kerja di pabrik juga menjadi pendamping atau guru bagi anak-anak yang juga sekolah secara online di rumah.

“Dalam situasi kami harus bekerja dan anak di rumah, ini membuat ketidaknyamanan dan kekhawatiran kami dalam bekerja karena hawatir anak tidak ada yang memantau di rumah.” Ujarnya.

Hal ini tambahnya, berpotensi melanggar hak anak atas perlindungan dan keamanan.

Jumisih menambahkan, sebagain dari mereka sudah dirumahkan tanpa di upah penuh dan di PHK sepihak tanpa mendapatkan pesangon.

“Kinerja pengawasan ketenagakerjaan sangat lambat dan nyaris tidak perduli dengan kondisi ini. Hal ini berdampak terhadap keberlangsungan isi perut kami dan keluarga. Karena 1 buruh perempuan terPHK, sementara kami adalah pencari nafkah utama ini akan berdampak terhadap asupan gizi yang diterima oleh anggota keluarga yang lain.” Ucap Jumisih.

Sementara distribusi sembako oleh pemerintah lanjutnya, tidak sampai kepada mereka dengan alasan sebagai warga pendatang.

“Menurut hemat kami seharusnya juga berhak menerima sembako dari pemerintah dengan jaminan keberlanjutan gizi yang baik dan demi tetap sehat di tengah wabah pandemic. ” Ujar Jumisih menilai.

Jumisih juga meneaskan, secara ekonomi, pendapatan buruh merosot, lebih besar pasak dari pada tiang.

“Kami terancam diusir dari kost-kostan karena tidak sanggup membayar uang sewa bulanan. Sementara oleh pemerintah kami dihimbau untuk tidak pulang kampung, tapi keberadaan kami di Jakarta tidak mendapat perlindungan yang baik. Dalam situasi ketidakpastian dan keterancaman ini, kami buruh perempuan merasa semakin diabaikan oleh penguasa, ketika Omnibuslaw RUU Cipta kerja tetap dibahas oleh DPR melaui Badan Legislatif (Baleg).” Ucapnya.

Saat ini tambahnya, aspirasi dilarang untuk diekspresikan, sedangkan penolakan sebelum-sebelumnya tidak digubris. Hal ini berakibat memancing kemarahan buruh dan rakyat untuk melakukan aksi protes, jika pembahasan oleh Baleg tidak dihentikan. Karena secara substansi draff RUU Cipta Kerja merugikan rakyat khususnya buruh perempuan.

Bagi buruh perempuan, RUU Cipta kerja akan berdampak dan berpotensi tidak terpenuhinya hak-hak perempuan. Kenapa?

Karena Pasal 93 dalam daraf RUU Cipta kerja hanya berisi pengaturan pembayaran upah karena buruh berhalangan/tidak masuk kerja. Artinya tidak diatur dengan jelas. Sehingga tidak lagi disebutkan hak buruh menerima upah ketika mengalami sakit, menstruasi, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, melahirkan atau keguguran kandungan.

Selain itu, dari awal pemerintah tidak transparan dalam menyusun draff RUU Cipta Kerja ini. Ketidaktransparan pemerintah ini berdampak tidak partisipatif artinya keterlibatan para pihak menjadi sangat minimalis. Kami bukan pajangan yang hanya diundang untuk disosialisasi sebagai bahan legitimasi.

Inilah yang kita sebut pemerintah menciderai ruang demokrasi. Padahal kita sama-sama tahu bahwa Negara kita adalah Negara demokratis. Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta Pasal 96 tentang partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati hari kartini, kami memaknai semangat perjuangan Kartini dalam melawan kolonialisme dengan terlibat dan mempelopori perjuangan pembebasan perempuan.

Kami sebagai bagian dari berbagai aktivis buruh perempuan lintas serikat dan lintas daerah menyatakan sikap:
1. Segera hentikan pembahasan Omnibuslaw RUU Cipta kerja, karena berpotensi merugikan buruh perempuan.
2. Fokuskan kinerja pemerintah untuk penanganan covid19, jangan biarkan korban terus berjatuhan.

3. Distribusikan sembako dan fasilitas kesehatan lain (masker, handsanitizer, vitamin) kepada seluruh warga tanpa membedakan ia penduduk asli atau pendatang.

4. Stop PHK dan Pemotongan upah pekerja dalam situasi covid 19 dan berikan layanan kesehatan secara berkala bagi buruh perempuan.

5. Berikan kemudahan bagi buruh perempuan untuk sosial distance dengan penerapan PSBB tanpa diskriminasi dengan jaminan upah penuh.

6. Maksimalkan kinerja pengawas ketenagaerjaan atas situasi perburuhan saat ini, untuk memastikan hak pekerja di dapat, di saat buruh di rumahkan atau dikurangi jam kerjanya.[]

Comment