RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sidang lanjutan gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB) baru saja selesai dilaksanakan, Selasa tanggal 17 Mei 2022 dengan agenda persidangan Perbaikan Permohonan.
“Setidaknya ada 6 poin perbaikan yang kami lakukan sebagai masukan dari Majelis Hakim Konstitusi, diantaranya kami perkuat legal standing Pemohon I sebagai lembaga negara perwakilan daerah dan Pemohon II partai politik peserta Pemilu. Selain itu, kami tegaskan juga dalam Permohonan bahwa Para Pemohon mengajukan materi muatan batu uji atau alasan permohonan berbeda, sehingga terbebas dari ne bis in idem”, kata Muhamad Raziv Barokah, kuasa hukum para pemohon
Ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut menurut Pemohon I telah menderogasi dan menghalangi hak serta kewajiban Pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.
“Kehadiran presidential threshold hanya memberikan akses khusus kepada para elit politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individul. Padahal, begitu banyak putra-putri daerah yang hebat dan mampu serta sangat layak untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden”, tegas Ketua DPD RI, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti.
Mantan Ketua PSSI tersebut juga menambahkan DPD secara kelembagaan juga mempunyai kewajiban untuk mengembalikan makna sejati dari presidential threshold yang benar dalam UUD 1945, yakni ambang batas keterpilihan Presiden dengan melibatkan persentase daerah/provinsi sebagai variabel utamanya, bukan ambang batas pengusungan calon Presiden.
Sejalan dengan pernyataan Ketua DPD RI, Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang, Afriansyah Noor, mengatakan bahwa PBB sebagai partai politik peserta Pemilu namun tidak memiliki kursi di DPR telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat keberadaan Pasal 222 UU Pemilu.
“Eksistensi presidential threshold nyatanya telah merugikan hak konstitusional PBB sebagai partai politik peserta pemilu untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dengan partai politik yang telah memiliki kursi di DPR untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Selama Pasal 222 UU Pemilu tetap berlaku dan mengikat, maka penghilangan hak konstitusional PBB dan partai politik nonparlemen serta partai-partai kecil atau partai baru lainnya akan terus berulang dalam setiap penyelenggaraan pemilihan presiden”, tuturnya.
Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK tidak dapat menerima permohonan karena alasan legal standing dan mengatakan pihak yang dapat menguji materiil presidential threshold adalah partai politik peserta Pemilu. MK dalam persidangan Pemeriksaan Pendahuluan sebelumnya juga menanyakan terkait ne bis in idem dalam permohonan yang kami ajukan.
“DPD dan PBB bekerja sama mengajukan Permohonan ini untuk memperjuangkan demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk mendapatkan hak konstitusional kembali tanpa adanya embel-embel ambang batas. Kendati Permohonan judicial review Pasal 222 UU Pemilu telah diajukan berulang kali, kami meyakini terbebas dari ne bis in idem karena telah memberikan argumentasi yang kuat dan meyakinkan dengan mengajukan materi muatan UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian atau alasan permohonan berbeda. Selain itu, mendasarkan pada fakta bahwa PBB adalah peserta Pemilu tahun 2019, maka minimal tidak ada alasan lagi bagi MK untuk menolak kedudukan hukum pemohon”, ungkap Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014 sekaligus Kuasa Hukum Pemohon.
Denny menambahkan, demokrasi atau daulat rakyat tidak boleh lagi dikalahkan oleh duitokrasi. Pemilihan langsung oleh rakyat harus diselamatkan agar tidak terus dikooptasi kekuatan-kekuatan oligarki yang koruptif. Demokrasi kita tidak boleh dibajak oleh kekuatan modal. Ini adalah presiden pilihan rakyat, bukan presiden pilihan uang.[]
Comment