RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Sudah jatuh tertimpa tangga, ibarat kondisi masyarakat saat ini ketika masyarakat masih dalam kondisi pandemi dan kesulitan ekonomi, beban tagihan listrik yang tinggi menyengat. Tak tanggung-tanggung, Juni ini, pelanggan pasca bayar mengalami kenaikan 3 x lipat dari bulan-bulan sebelumnya. Wajar saja jika sengatan tagihan listrik ini membuat masyarakat terkapar dan menimbulkan polemik.
Pihak manajemen Perusahaan Listrik Negara (PLN) akhirnya angkat bicara terkait aksi protes sejumlah warga yang mengaku mengalami kenaikan listrik yang fantastis. Ketegangan terkait peristiwa itu sempat terjadi di kantor PLN wilayah Sukmajaya, Depok pada Jumat 5 Juni 2020. (tvOnenews.com)
Pihak PLN sudah melakukan klarifikasi perihal polemik yang terjadi, bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik selama masa pandemi dan tidak pula karena adanya subsidi pada sebagian masyarakat bagi pelanggan listrik 450 watt dan 900 watt. Tagihan listrik yang melonjak di bulan juni dikarenakan tiga hal selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Yakni kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), ramadan, dan kebijakan pencatatan rata-rata meteran.
Kebijakan dari PLN menuai kontroversi, sebab masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi di tengah pandemi. Meski beralasan dan mengklaim kenaikan tagihan murni karena penggunaan pelanggan, akan tetapi kebijakan ini seolah jauh dari rasa empati.
Listrik merupakan hajat publik, karena hampir semua peralatan kehidupan tergantung dengan listrik. Mulai dari peralatan rumah tangga hingga industri. Harusnya hajat publik ini tidak diliberalisasi, jika diliberalisasi seperti saat ini kebijakan kelistrikan dari hulu hingga hilir seolah jalan sendiri, fokusnya adalah untung rugi bukan memfasilitasi, sedangkan Pemerintah dalam hal kelistrikan hanya menjadi regulator saja.
Liberalisasi inilah biang masalah kelistrikan. Dari total 109 proyek pembangki listrik, 74 proyek dikerjakan swasta, pemerintah dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mengerjakan 35 proyek. Berhubung sebagian besar proyek ada di tangan swasta, hal ini berimbas pada penentuan tarif dasar listrik juga ditentukan oleh swasta.
Kebijakan liberalisasi ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Sumber energi listrik begitu berlimpah di negeri ini. Ada puluhan blok migas tersebar dari ujung timur hingga ujung barat, potensi sumber daya air tidak terhitung sehingga tidak sedikit potensi batubara. Demikian pula, ketersediaan teknologi kelistrikan berikut para teknokratnya.
Sumber energi listrik dalam pandangan islam adalah milik umum, sebagaimana dalam hadits “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Maksud dari kata berserikat dalam hadits tersebut adalah ketiga hal berupa rumput, air dan api merupakan milik umum, milik manusia baik muslim mapun non muslim. Milik umum berarti tidak boleh dimiliki secara individu maupun diliberalisasi diserahkan kepada swasta, bahkan negara pun tidak boleh memilikinya.
Sumber energi listrik tergolong api yang disebutkan dalam hadits tersebut, dan sifatnya sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh masyarakat.
Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari sumber energi tersebut, negara mewakili masyarakat untuk mengelola dan mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu. Wallahu a’lam bi showab.[]
*Institut Kajian Politik dan Perempuan
Comment