Sherly Agustina, M.Ag*: Taubat Yang Tepat Disertai Taat Syariat

Opini688 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (TQS. At Tahrim: 8).

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengingatkan masyarakat untuk tidak lupa mengingat Allah SWT di tengah pandemi Covid-19. Salah satu caranya dengan berdzikir dan taubat. “Kita juga tidak boleh melupakan zikir, istighfar, taubat kepada Allah Subhana Wa Ta’ala,” kata Jokowi saat membuka Muktamar IV PP Parmusi tahun 2020 di Istana Bogor, Jawa Barat. Jokowi juga berharap masyarakat memperbanyak sedekah, karena pandemi ini berdampak pada perekonomian. Banyak orang yang keadaannya sulit di tengah pandemi (Merdeka.com, 26/9/20).

Pertumbuhan seluruh negara yang biasanya di angka positif kini terkontraksi secara tajam. Pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga minus 5,32 persen. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Namun Kepala Negara mengajak masyarakat untuk tidak menyerah dengan keadaan. Semoga Allah SWT segera mengangkat wabah Covid-19 dari bumi Indonesia, semoga Allah selalu melindungi dan memberikan keselamatan kepada rakyat bangsa dan negara kita,” kata dia. (Kompas.com, 26/9/20)

Hadapi Wabah, Narasi Taubat Petinggi Negeri

Narasi religi yang diucapkan oleh orang nomor satu di negeri ini ada benarnya bahwa rakyat harus banyak berdoa, istighfar dan taubat. Namun, yang utama harus melakukan itu adalah negara dan para pejabat penting di dalamnya. Karena negara lah yang memegang kebijakan dan mengatur segala kepentingan rakyat.

Jika ada kemungkinan kesalahan, maka kemungkinan itu dalam pengurusan rakyat dan tata kelola negara, apakah sudah sesuai dengan yang diperintahkan Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta? Sementara rakyat selama ini hanya manut saja apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Bukankah segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini karena bertentangan dengan sunnatullah? Berdasarkan firman-Nya:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Ruum: 41).

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. As-Suro: 30).

Pandemi yang terjadi saat ini misalnya, sudahkah mengikuti tuntunan Rasul sebagai teladan di dalam menjalankan syariah-Nya.

Nyatanya belum, maka wajar pandemi masih tak jelas kapan berakhir. Sementara korban terus bertambah, seiring dengan bertambahnya klaster-klaster. Per 2 Oktober 2020 korban covid-19 sudah mencapai 295.499 kasus (Merdeka.com, 2/10/20).

Tak tepatnya solusi mengakibatkan dampak ke bidang lain yaitu ekonomi, krisis di mana-mana bahkan resesi bukan hanya di negeri ini tapi dunia.

PHK terjadi di mana-mana karena krisis melanda, pengangguran tak terelakkan. Sementara di tengah krisis pemerintah sudah ketok palu UU Omnibus Law yang isinya banyak merugikan para pekerja/buruh.

Lalu, di bidang sosial perceraian meningkat selama masa pandemi dengan sebab yang beragam, di antaranya faktor ekonomi. Di dunia pendidikan pun bermasalah, fasilitas daring dari pemerintah tak optimal. Seorang ibu karena stres menghadapi daring tega menghabisi nyawa anaknya.

Solusi Wabah: Taubat Nasional Disertai Taat Syariat

Masalah menjadi kompleks, apa sebenarnya penyebab semua ini? Jika dianalogikan pada benda, sebuah mobil misalnya dengan merk A. Namun, dalam operasionalnya menggunakan buku penduan merk B.

Tentu akan membuat rusak mobil tersebut karena tidak menggunakan buku panduan aslinya yaitu merk A tadi. Begitu juga dengan manusia, diciptakan oleh Allah dan sudah diberi pedoman berupa Al Qur’an.

Sudah pula diberi contoh melalui Rasul-Nya dalam wujud manusia bukan yang ghaib. Namun, menggunakan pedoman dan panduan yang lain maka wajar kerusakan demi kerusakan yang terus terjadi.

Sampai kapan rusak? Sampai pedoman asli dari Allalh tak pernah digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Maka benar, harus segera taubat tapi secara nasional dan massal.

Taubat ini diiringi patuh dan taat pada syariat-Nya, kembali pada aturan-Nya karena aturan-Nya adalah pasti yang terbaik bagi semua ciptaan-Nya.Dalam surat at-Tahrim ayat ke-8, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (taubat yang semurni-murninya).”

Lantas, apa yang dimaksud dengan tobat nasuha? Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjelaskan, tobat nasuha, yaitu tobat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan.

Dalam kitab Riyadh as-Shalihin dijelaskan, jika kemaksiatan itu menyangkut urusan seorang hamba dengan Allah saja, tidak ada hubungannya dengan hak manusia, tobatnya harus memenuhi tiga syarat.

Pertama, hendaklah berhenti melakukan maksiat. Kedua, menyesal karena telah melakukan kemaksiatan. Ketiga, berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Apabila tobatnya berkenaan dengan hubungan sesama manusia, tiga syarat tersebut ditambah satu lagi. Orang yang bertobat itu harus meminta kehalalan dari orang yang diambil hak-haknya atau dizalimi.

Para ulama mengatakan bahwa tobat yang murni ialah bila seseorang menghentikan dirinya dari perbuatan dosa di saat itu juga. Kemudian ia menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan bertekad di masa mendatang ia tidak akan mengerjakan hal itu lagi. Rasulullah Saw. menjawab: Penyesalan atas perbuatan dosa manakala kamu telah mengerjakannya, lalu kamu memohon ampunan kepada Allah dengan penyesalanmu itu di waktu seketika. Kemudian kamu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya.

Dalam konteks negara, berhenti melakukan kemaksiatan adalah berhenti menggunakan aturan yang bukan dari Allah Swt. sebagai Sang Pencipta. Karena aturan selain dari Allah banyak menimbulkan kerusakan. Kemudian menyesali telah melakukan hal tersebut dan berniat tak akan mengulangi kembali. Serta meminta rida pada rakyat yang pernah terdzalimi selama mengurusnya bukan dengan aturan dari Allah Swt. Jika taubat ini dilakukan, semoga Allah rida dan segera mengangkat wabah ini dari muka bumi.

Wabah menular pernah terjadi di masa Rasul Saw. dan sahabat Umar bin Al Khaththab. Saat itu Umar hendak melakukan perjalanan ke Syam, terdapat kabar bahwa Syam sedang ditimpa wabah. Akhirnya setelah Umar meminta saran dari kaum sesepuh Quraisy yang dulu hijrah pada peristiwa penaklukkan Makkah, kembali ke Madinah tidak melanjutkan perjalanan ke Syam.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw., jika ada wabah di sebuah negeri maka janganlah memasukinya. Dan jika ada wabah di negeri lain, maka jangan keluar dari negeri tersebut. Sahabat Umar patuh dan taat pada sabda Nabi. Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr bin Ash mampu menyelamatkan Syam dari wabah tersebut.

Amr bin Ash berkata: “Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”.

Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali. Tak dikenal krisis selama penanganan wabah, yang pernah terjadi adalah paceklik karena kemarau panjang di masa Umar tidak ada hubungannya dengan wabah.

Hujan sama sekali tak mengguyur Semenanjung Arab selama sembilan bulan. Segala usaha pertanian dan peternakan hancur total. Hewan ternak kurus kering. Unta dan domba tak mampu menghasilkan susu. Warga Arab Badui di pedalaman — yang tidak memiliki persediaan makanan — berbondong-bondong ke Madinah. Mereka meminta pertolongan khalifah.

Melihat kondisi kaum Muslimin yang begitu memprihatinkan, Umar bersumpah tak akan makan daging dan samin sampai semua kembali seperti sedia kala.

Dia memegang teguh sumpahnya hingga paceklik berakhir. Dia lantas mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah dan Amr bin Ash di Mesir. Kedua gubernur itu mengirimkan bantuan yang besar lewat laut melalui Madinah.

Abu Ubaddah juga mengirim bantuan berupa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi dengan makanan. Dengan cepat, Umar mendistribusikan semua bantuan yang diterima kepada kaum Muslimin.

Umar juga melakukan shalat Istisqa untuk meminta hujan. Imam at- Thabarani meriwayatkan, Umar Radhiyallahu ‘anhu keluar untuk melaksanakan doa minta hujan.

Dia keluar bersama al-Abbâs Ra dhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memintanya berdoa minta turun hujan. Allahu A’lam Bi Ash Shawab.[]

 

*Pegiat literasi dan pemerhati kebijakan publik

Comment