Sherly Agustina, M.Ag*: Ada Apa di Balik Moderasi Agama?

Politik334 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati” (TQS. Al-Baqarah: 159).

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar seperti dilansir detikNews.com mengatakan bahwa mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs, dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.

Sebagai tindak lanjut KMA 183 tahun 2019, nantinya madrasah akan menggunakan buku yang sebelumnya telah dinilai Tim Penilai Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

Sebanyak 155 buku telah disiapkan, termasuk untuk PAI, akan menjadi instrumen kemajuan serta mempererat kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu upaya yang dilakukan adalah meletakkan materi sejarah khilafah, jihad, dan moderasi beragama secara korelatif dalam berbagai bentuk perjuangan muslim.

Perjuangan dimulai sejak zaman Nabi hingga masa kini dalam membangun peradaban masyarakat modern.

Pembelajaran khilafah disajikan dalam sudut pandang sejarah yang menjelaskan karakteristik dan pola kepemimpinan Rasulullah SAW serta empat khalifah pertama.

Buku mengisahkan sosok yang sangat dihormati umat Islam tersebut membangun masyarakat Madinah sampai masa Islam modern, yang diwarnai nilai jihad dan moderasi beragama.

Untuk materi jihad ditulis dalam perspektif perjuangan membangun peradaban, dengan menggali makna dan menanamkan nilai perjuangan.

Materi tersaji dari masa perjuangan Rasulullah SAW, para sahabat, walisongo hingga para ulama untuk membangun peradaban, ilmu, dan Islam.

Dengan materi tersebut, maka perbedaan KMA 183 tahun 2019 dengan KMA 165 tahun 2014 adalah adanya perbaikan substansi materi pelajaran. Menurut Umar hal ini disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat terkini. Sedangkan secara umum tidak ada perbedaan karena pelajaran tetap terdiri atas Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab (11/07/20).

Pemerintah terus menggalakkan program moderasi beragama yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kemenag telah menjabarkan moderasi beragama dalam Rencana Strategis (renstra) pembangunan di bidang keagamaan lima tahun mendatang.

Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan, sebagai institusi yang diberi amanah untuk menjadi leading sector, Kementerian Agama terus memperkuat implementasi moderasi beragama. Hal ini ditegaskan Menteri Agama Fachrul Razi dalam diskusi daring dengan Gugus Tugas Nasional Revolusi Mental.

Namun, apakah diskusi yang diinisiasi oleh Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan dihadiri Sesmenko PMK Agus Sartono beserta jajarannya, Perwakilan BPIP Rima, Perwakilan Bappenas Didik Darmanto, serta Anggota Gugus Tugas Gerakan Nasional Revolusi Mental ini urgen untuk saat ini?

Sebenarnya apa yang terjadi di negeri ini hingga begitu gencar melakukan kebijakan program moderasi agama yang dengan kata lain Islam moderat? Bahkan dibuat RPJMN dan diturunkan ke berbagai bidang termasuk pendidikan?

Menarik untuk dibahas, apa korelasinya moderasi agama sebagai turunan dari RPJMN sementara bisa dilihat permasalahan pendidikan saat ini terutama ketika pandemi. Dominan masalah pendidikan saat ini adalah teknis ketika daring.

Bagaimana agar esensi materi tetap bisa sampai dalam kondisi daring di tengah pandemi?

Bagi masyarakat kota dengan kehidupan yang sudah modern menggunakan gadget hal biasa, maka mudah saja melakukan pembelajaran daring. Namun bagi masyarakat desa yang jauh dari modern bagaimana?

Orang tua yang belum terbiasa dengan hal ini, dan sebagian orang tua bekerja maka bagaimana proses daring anak agar tetap bisa dilakukan. Tak heran, jika ada sebagian orang tua stres dengan kondisi ini.

Maka menjadi urgen untuk saat ini bagi pemerintah, membuat formula teknis belajar yang nyaman bagi para peserta didik daring dan orang tua di tengah pandemi bukan membuat kurikulum moderasi agama.

Sejak ide khilafah booming, seolah menjadi momok yang menakutkan dan mengancam negeri ini. Sehingga dibuatlah berbagai propaganda untuk menghalangi booming-nya ide khilafah ini.

Dalam dunia pendidikan dibuat opini moderasi agama yang tak ada korelasinya dengan masalah dunia pendidikan saat ini. Isu yang dahulu disebut dengan istilah Islam moderat ni pun sebenarnya telah usang dan mulai tidak laku karena fakta di lapangan masyarakat telah mampu membaca dan menemukan makna Islam sesungguhnya.

Ibarat pasar, yang laku saat ini adalah ide khilafah yang Allah dan Rasul janjikan dan menjadi solusi seluruh problematika umat di dunia bukan hanya Indonesia.

Umat manusia di setiap negara telah menyadari banyak persoalan dan masalah di dunia ini. Pandemi yang tak kunjung usai, kasus covid-19 yang makin bertambah bahkan kasus di negeri ini melampaui Cina, korupsi dan prostitusi bagai fenomena gunung es.

Belum lagi hukum dan SDA tercabik-cabik oleh korporatokrasi. Nasib buruh yang kian miris, krisis kesehatan dan ekonomi. Lalu apa solusi atas semua permasalahan ini jika bukan kembali pada aturan Allah yang telah menciptakan dunia ini?

Diskursus Khilafah yang telah menjadi mercusuar sebuah peradaban dan keadilan di masa keemasan Islam dahulu kini sedang dilirik sebagai alternatif dan solusi terhadap persoalan dunia yang semakin kompleks memimbang kapitalisme, sekulerisme dan demokrasi liberali telah gagal membangun keadilan secara universal dan berkeadilan.

Montgomery Watt,  sejarawan Barat bahkan secara terus terang mengakui kehebatan sistem ini.

Maka, kriminalisasi terhadap khilafah yang menjadi bagian penting dalam ajaran Islam bukanlah perilaku seorang muslim. Karena bagi seorang muslim sejatinya bersikap sami’na wa atho’na –  kami dengar dan kami taat.

Khilafah bukan hanya sejarah, justru sejarah yang ada sebagai bukti untuk lebih menguatkan keimanan dalam menjemput janji-Nya (QS. An-Nuur: 55).

Khilafah bukan ancaman. Khilafah justeru sebagai solusi yang dibutuhkan bukan saja oleh umat Islam tetapi umat manusia secara keseluruhan di muka bumi ini.

Ibarat orang sakit, obatnya adalah segera kembali pada aturan Allah. Jadi, opini moderasi agama hanyalah pendangkalan terhadap pemikiran umat dan akan menjauhkan umat menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada.

Upaya pendangkalan ini akan berdampak negatif pada generasi muda, sehingga umat tak mengenal lagi khilafah sebagai ajaran Islam tapi hanya sekadar sejarah/tarikh semata.

Bahkan generasi muda yang seharusnya memperjuangkan nilai nilai Islam berbalik menentang dan menyingkirkannya dari kehidupan.

Perhatikanlah, ini bagian dari tipu daya setan dan musuh-musuh Allah. Allah Swt. berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208), Allhu A’lam Bi Ash Shawab.[]

*Member Revowriter dan WCWH)

Berita Terkait

Baca Juga

Comment