Shafayasmin Salsabila*: Santri Langit, Damaikan Bumi

Opini608 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sepenggal kalimat pernyataan di atas datang dari Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejehteraan Rakyat Setda Indramayu, Maman Koestaman ketika menjadi Inspektur Upacara peringatan Hari Santri, 22 Oktober lalu. Ditegaskan lebih lanjut, sebagai laboratorium perdamaian, pesantren merupakan tempat menyemai ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam ramah dan moderat dalam beragama. (indramayukab.go.id, 22/10/2019).

“Sejatinya, pesantren adalah laboratorium perdamaian.”

Menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa tema perdamaian ini terpilih untuk diangkat. Adakah korelasi antara penegasan peran santri sebagai agen perdamaian, dengan sejumlah laporan penelitian terkait peningkatan intoleransi dan radikalisme beragama di lingkungan pesantren? Lantas, dengan cara apakah santri mampu meminang perdamaian dan perdamaian seperti apakah yang sedang dibicarakan?

Sebagai seseorang yang tengah mendalami Islam di pesantren, santri memiliki peran strategis sebagai calon pemimpin umat di masa depan sekaligus menjadi benteng pertahanan negeri dari rongrongan musuh. Hal ini dikarenakan ajaran Islam yang ditanamkan kepada santri akan mengasah jiwa kepemimpinan, rasa tanggung jawab serta membentuk karakter Islamiyah pada diri mereka.

Karakter Islamiyah adalah karakter yang melekat kuat hasil dari penerapan metode pembelajaran khas Islam. Turun bersama wahyu, tertuang dalam Al-qur’anul Karim. Perpaduan unik antara pola pikir dan pola sikap Islam, tercetaklah santri langit. Menjadikan aturan Allah, satu yang ditaati.

Pembinaan yang bersifat talqiyan fikriyan (proses pembelajaran yang membekas, menghujam ke dalam benak, berimbas pada perilaku, melalui pemikiran mendalam berlandaskan akidah Islam, Red.), tak sekedar banyaknya hapalan dari kitab-kitab yang dipelajari, tapi justru, titik tekannya ada pada pengamalan praktisnya.

Maka tak aneh, tatkala sejarah mencatat betapa militannya para santri saat bersatu padu menggempur penjajah, bersama ditabuhnya genderang resolusi jihad oleh pendiri Nahdatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Resolusi itu untuk mencegah kembalinya tentara kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA. Semangat jihad diiringi pekikan takbir, mengalahkan sangar moncong senapan lawan. Musuh terkalahkan, rasa damai pun terwujud bersama terbebasnya umat dari pendudukan, penindasan dan kezaliman. Inilah kedamaian yang sesungguhnya.

Sayangnya saat ini, meskipun penjajah sudah 70 tahun lebih terusir dari tanah air, penindasan kembali terasa. Jeritan rakyat jelata semakin nyaring, hari demi harinya. Upaya pemurtadan dan menjamurnya aliran sesat membuat umat resah. Tindakan represif dari penguasa serta maraknya persekusi terhadap ajaran Islam bahkan ulamanya, mendidihkan darah para santri. Kembali, gejolak rasa itu hadir. Kesadaran pun tumbuh, ketidakadilan ini lahir akibat ditukarnya sistem buatan Allah dengan hukum ala akal manusia yang lemah dan cenderung pada kepentingan pribadi atau golongannya.

Ketika gelombang kesadaran ini mengarus, bukan berarti santri tersengat paham radikalisme. Justru sudah sunatullah-nya, santri pasti mendambakan kembalinya rasa damai. Dibawa bersama perubahan mendasar dan menyeluruh ke arah Islam. Penjajah memang sudah diusir tapi pemikiran sekuler yang diwariskannya sekarang menjadi biang kegaduhan. Umat Islam seakan dihadap-hadapkan. Antar ormas Islam dibuat saling hadang, devide et impera diputar ulang. Maka wajar jika santri meradang dan tak bisa tenang.

Namun para santri memahami, ghazul fikri (perang pemikiran) tidak harus dihadapi dengan fisik ataupun senjata. Masifnya dakwah bil lisan (dengan perkataan, tidak dengan kekerasan, red.) dikedepankan. Sebagaimana Allah berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS. An Nahl [16]: 125).

Maka sudah saatnya bagi santri menyatukan kembali suaranya. Mengarahkan militansi pada titik yang sama, Al-quran dan As-sunnah. Inilah santri langit, harapan masa depan bangsa. Menjemput damai agar membumi bersama penerapan sistem hidup made in Allah, Sang Pencipta Manusia. Karena, siapa lagi yang lebih memahami karakteristik manusia, selain Penciptanya?

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah [5]: 50).Wallahu a’lam bish-shawab. []

*Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu

Comment