RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kemarau masih membakar Indramayu, salah satu kabupaten di wilayah provinsi Jawa barat. Dilansir dari pikiran-rakyat.com (29/10) bahwa Pemerintah daerah memperpanjang siaga darurat kekeringan di Kabupaten Indramayu hingga bulan November. Banyak sawah merana, tanahnya retak-retak. Sebagian selokan sudah tidak lagi basah seperti biasanya, bahkan krisis air bersih melanda di Kecamatan Juntinyuat dan Krangkeng. Warga pun rela mengantre bantuan air bersih yang dikirim oleh Badan Bantuan Bencana Daerah (BPBD) Indramayu.
Tentu, bukan sekali ini saja warga Indramayu merasakan paparan terik matahari yang berkepanjangan, hingga membuat warna kulitnya semakin eksotik. Sepanjang tahun berganti, kemarau pasti datang dan tidak pernah absen. Hanya saja rentang waktu singgahnya sudah terlampau lama. Dan ini mengundang serangkaian tanda tanya.
Pemerintah memang sudah melakukan langkah kuratif terkait bencana kekeringan ini. Misalnya saja untuk menanggulangi krisis air bersih, Badan Bantuan Bencana Daerah (BPBD) terus berupaya mengirimkan bantuan air bersih bagi warga di wilayah-wilayah tersebut. Dalam sektor pertanian, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu telah mengeluarkan kebijakan untuk distribusi air yaitu berupa pengelolaan gilir giring distribusi air baku di saluran induk Cipelang. Namun sayangnya, belum ada solusi tuntas yang mampu mengakhiri terjadinya kekeringan.
Musim kemarau memang sudah sunatullah, atau lumrah terjadi di daerah beriklim tropis seperti Indonesia yang berada di garis khatulistiwa. Karena beriklim tropis, maka negara kita hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Tapi lain halnya dengan kekeringan. Karena kemarau tidak satu paket dengan kekeringan. Semestinya bencana ini sudah diantisipasi sejak awal dan tidak dibiarkan terulang kembali. Bukankah pepatah mengatakan, “hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.”
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat dijadikan renungan bersama, tatkala sebuah daerah menjadi langganan kekeringan, di antaranya:
Pertama, sebagai penegas betapa tidak berdayanya manusia. Karena akal dan kepintarannya, manusia kerap bermetamorfosa menjadi sosok angkuh dan keras hati.
Merasa paling hebat dan punya kuasa. Berduet bersama hawa nafsu melahirkan aturan hidup sendiri, tanpa sudi melirik sedikitpun hukum Sang Pencipta.
Inilah potret manusia sekuler, yang memutilasi agama hanya pada bagian ritualnya saja. Menihilkan peran Allah Ta’ala sebagai pengatur kehidupan.
Fakta kekeringan semestinya membuat manusia kembali sadar. Ada ketentuan Tuhan yang tak mampu ditandingi akal. Silakan kerahkan segenap kemampuan untuk menyegerakan hadirnya musim penghujan. Bahkan menghadirkan petir, mendung dan mengatur kedatangan angin, manusia pun tak sanggup melakukannya.
Indramayu adalah daerah pesisir, tidak seberapa jauh dari laut. Tidakkah laut berhenti menguap, tapi kemana awan mendung? Inilah tanda, tiada sekutu bagi Allah. Hendaklah ciptaan merendah, tunduk dan pasrah kepada aturan Allah saja. Kekeringan selayaknya membawa manusia untuk kembali menghamba, dan menapaki jalan setia hanya kepadaNya, Allah Azza wa Jalla.
Kedua, kekeringan adalah bencana sistemik, karena seringkali berulang, terjadi lagi dan lagi. Wajar jika logika memaksa kita menerima kenyataan pahit, bahwa ada faktor X yang menciptakan kekeringan. Bukan sekadar dibawa oleh fenomena alam, kekeringan adalah satu dari sekian dampak penerapan sistem hidup yang keliru di negeri ini. Kapitalisme mencengkram sampai ke setiap sendi kehidupan bangsa.
Sebagian besar pengusaha kelas kakap, kalap melahap kekayaan dan hijaunya negeri ini. Sawah berubah menjadi perumahan, tanah beraspal mengular. Hijau dan teduh berganti muka menjadi kota padat, macet, banyak polusi, dan pengap.
Semua terjadi atas asas manfaat, tentunya bukan bagi rakyat. Mereka para pemodal, tak berhenti dari rasa lapar, menggunduli hutan, pepohonan. Industrialisasi menambah kekisruhan, bumi tercemar, air bersih menjadi langka. Ditambah musim kemarau datang dan lama, maka inilah petaka akibat ulah tangan manusia serakah.
Di dalam Alquran, Allah telah menegaskan: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar-Rûm/30:41]
Ketiga, panas akibat kemarau panjang kerap membuat keringat mengucur deras, saat badan bertumbukan dengan sengatan matahari. Kiranya hal ini sedikit menjadi pengingat, tatkala manusia dikumpulkan di padang mahsyar.
Jika kekeringan yang dialami di dunia saja membuat setiap insan ingin lekas bermandikan hujan, lalu bagaimana saat tubuh ditenggelamkan keringat ketika matahari didekatkan sejengkal di atas kepala manusia?
Sebabnya karena maksiat, yakni pembangkangan manusia dan kelalaiannya untuk mentaati Tuhannya.
Maka, cukup sudah kekeringan membuat mata terbuka. Jika ada tata kelola yang salah atas negeri ini, tidakkah terpikir untuk menggantinya dengan tata kelola sesuai arahan wahyu yang dibawa oleh Rasulullah Saw yang mulia.
Bukalah Alquran, kesempurnaan dan sebaik-baik kepengaturan hidup tertuang secara mujmal (global). Sudah saatnya untuk mencampakkan cara pandang Kapitalisme.
Islam sebagai ideologi, tidak membiarkan keuntungan bagi sebagian orang atau kelompok menjadi prioritas yang diutamakan. Melainkan keridaan Allah dengan memastikan terwujudnya kemaslahatan bagi rakyat secara umum bahkan meliputi kebaikan bagi alam. Jangan pernah lupakan tujuan Allah memilih manusia sebagai khalifah, yakni sebagai penjaga bumi dari kerusakan. Mari kembali kepada sistem Islam, agar jangan ada lagi kekeringan yang mengganas. Wallahu a’lam bish-shawab.
*Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu
Comment