RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Setengah tahun lebih, dunia masih diselimuti Covid-19. Lonjakan kasus masih ditemui di beberapa tempat di Indonesia. Bahkan pada 10 September, dalam satu hari terjadi penambahan sebanyak 3.861 kasus. Dengan jumlah terkonfirmasi positif di Indonesia mencapai 207.203 orang (kompas.com, 10/9/2020).
Namun ironis, di tengah berkecamuk pandemi dan kegamangan akan kesehatan serta keselamatan diri, tak urung menghentikan gejolak syahwat terlarang. Mulai dari kasus prostitusi online sampai pesta seks kaum gay.
Dilansir oleh jpnn.com (9/9/2020), bisnis prostitusi online terbongkar. Apartemen Eco Home Tower di Banten, menjadi lokasi kemesuman. 8 wanita yang diduga sebagai pekerja seks dan dua laki-laki hidung belang, diamankan oleh polisi.
Sedangkan republika.co.id (8/9/2020) memberitakan aksi penggrebekan oleh Polda Metro Jaya saat berlangsung pesta seks gay di sebuah apartemen di wilayah Kuningan, Jakarta Selatan.
Ditemukan 56 lelaki tengah memadu kasih dengan berbagai macam permainan atau games di antara sesamanya. Sedang penyelenggaranya, TRF ternyata telah enam kali menjalankan bisnis birahi sesama jenis itu sejak 2018.
Jika ingin dijabarkan, serangkaian kasus serupa, masih panjang. Dan hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa bisnis syahwat ini tak kenal pandemi. Semakin liar, bebas dan berpotensi menambah panjang masa wabah.
Tak akan ada asap, bila tak ada api. Pandemi seperti sebilah pisau. Tergantung tangan yang memegang. Skenario besar sengaja dipersiapkan untuk meluluskan dan melanggengkan kerusakan generasi dan segenap umat Muslim dengan memanfaatkan situasi wabah.
Siapa lagi yang paling menginginkan Islam tumbang, jika bukan musuhnya yakni kafir Barat. Sudah sejak lama propaganda digencarkan lewat berbagai macam cara licik. Mindset kebebasan tanpa batas, prinsip YOLO (You Only Life One), hedonisme dalam topangan ideologi kapitalisme dengan asas sekulerisme, menjadi racun mematikan.
Tatanan sosial dirusak, benak umat dikontaminasi dengan paham-paham dari luar Islam. Gaya hidup, kebiasaan, nilai-nilai hingga aturan dalam masyarakat diimpor dari budaya Barat. Apakah semuanya dihentikan atau break sementara akibat pandemi? Nyatanya tidak. Serangan tetap dilancarkan, bertubi-tubi.
Justru, pandemi menjadi momentum masifnya sebaran propaganda lewat media. Dan daya sebar serta rusaknya berkali-kali lipat. Melalui televisi dan internet, berupa tayangan film, iklan, games, tak lupa media sosial dan aplikasi-aplikasi online turut andil menjadi bigbos influencer.
Masiflah konten-konten sampah memenuhi kepala. Dan hal ini selaras dengan dorongan seksual yang senantiasa menuntut dipuaskan. Liberalisme, meniadakan batasan agama dalam kepengaturan syahwat seksual.
Pornografi dan pornoaksi menjadi konsumsi sehari-hari. Padahal dari hal yang dianggap sepele inilah, perzinahan dan penyimpangan seksual dengan berbagai derivatnya, menjamur. Mulai dari yang dianggap wajar sampai di luar nalar (parafilia).
Kondisi pandemi memaksa sebagian orang untuk sedapat mungkin berdiam di rumah, membangkitkan rasa jenuh dan bosan. Di situlah naluri manusia akan mencari sesuatu yang baru. Baik sekadar mengisi waktu luang, atau mencari kesenangan.
Ruang maya menjadi pintu pembuka. Kepornoan baik disengaja atau tidak sengaja, memanjakan pandangan. Bahayanya, kesenangan ini bersifat adiktif dan berpotensi destruktif.
Di sisi lain, perekonomian terpuruk, banyak kaum wanita beralih menjadi tulang punggung keluarga. Dan demi menyambung napas, mereka rela melakukan apa saja sampai menjual badannya.
Maka tak aneh jika dirasa amat mudah untuk dapat menikmati kehormatan wanita, bahkan terkadang dibandrol dengan harga yang amat murah. Meski banyak juga yang menjual diri lantaran gaya hidup.
Hasil penelitian Georgia Gwinnett College, menemukan bahwa bagi pria lekukan tubuh ramping dan seksi dari wanita, memiliki pengaruh terhadap aktivitas kimiawi di dalam otak.
Serupa dengan yang ditimbulkan oleh pengaruh mengkomsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan. Itu artinya, konten pornografi ternyata menimbulkan efek addict bagi yang menyaksikannya.
Ternyata kemajuan teknologi berupa Internet semakin membuka lebar penyebaran konten berbahaya ini. Tanpa adanya aturan tegas dari negara, imbasnya seluruh lapisan masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya. Dari sinilah semua kerusakan moral berawal.
Maka wajar jika pornografi dijadikan salah satu alat penghancur generasi Muslim. Buah pahitnya, yakni maraknya bisnis prostitusi, ragam penyimpangan sampai kejahatan seksual, semuanya sistemik. Lahir akibat simbiosis parasitisme dengan aturan kufur.
Islam adalah guidance book bagi manusia. Aturannya sempurna, bersifat solutif. Islam bukan hanya mampu meredakan gejolak syahwat, namun seperangkat aturannya akan menghilangkan segala kerusakan sistemik, baik pada saat kondisi normal, maupun pandemi.
Seperangkat aturan tersebut ada yang seruannya ditujukan pada individu, ada yang dibebankan pada masyarakat, serta ada yang menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk melaksanakannya.
Ketiga pihak ini merupakan pilar penegak hukum syariat terwujud dalam kehidupan. Tanpa keberadaannya, atau jika salah-satu pihak abai, maka tidak mungkin masalah selesai secara tuntas. Demikian juga halnya dengan liberalisme syahwat, mustahil bisa dihilangkan.
Di antara syariat yang ditujukan pada individu adalah larangan ikhtilat campur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram. Baik secara nyata atau virtual.
Kecuali pada kondisi tertentu yang diperbolehkan. Kedua, melarang khalwat, yakni laki-laki berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya.
Ketiga, perintah untuk menutup aurat. Dengannya lekuk tubuh wanita tidak akan sembarang dinikmati mata nakal. Keempat, Islam memerintahkan kepada seorang muslim untuk menjaga pandangan (ghadlul bashar). Kelima, Islam memerintahkan individu muslim menghiasi dirinya dengan ketakwaan (QS al-Ahzab[33]: 70).
Seruan Islam untuk masyarakat adalah perintah melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Ali-Imran[3]: 104.
Dan pilar ketiga sebagai kuncinya yakni kehadiran negara. Diantaranya:
1) Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam dan mengajarkan pengetahuan hukum syariat kepada peserta didik.
2) Negara wajib menerapkan sistem pergaulan Islam.
3) Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok dan asasi.
4) Negara juga wajib memastikan tidak adanya konten-konten media yang merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat.
5) Negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.
Pembuat dan penyebar konten-konten porno akan diberikan sanksi ta’zir. Pelaku penyimpangan seksual akan diupayakan kesembuhannya. Apalagi kehidupan Islam akan menjadi support system terbaik.
Bila tetap dalam gelimang dosa besar, maka sanksi tegas diberlakukan. Misal hukuman bagi homoseksual adalah dijatuhkan dari gedung tinggi.
Negara adalah pengendali syahwat paling efektif. Maka butuh untuk mewujudkan tipikal negara yang ber-khidmat dengan aturan dari Allah Ta’ala. Negara yang serius dalam memperbaiki generasi dan mempersembahkan peradaban maju dan luhur.
Dengan inilah liberalisme syahwat mampu dibabat.Wallâhu a’lam bish-shawab.[]
*Admin Ngaji Literasi
Comment