RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Siapa yang dapat melupakan hadis mahsyur di atas. Bagai musafir di tengah gurun menemukan oase, sejuk, segar dan menghilangkan dahaga. Pasalnya terpaan wabah di 200 lebih negara, hampir meniadakan bahagia. Kalau saja tidak ada keimanan serta jauh dari pengetahuan agama, niscaya terkaparlah asa dalam dada. Hidup sudahlah suram malah semakin buram.
Isi hadisnya, memberikan motivasi spiritual. Setidaknya setiap insan beriman mampu mengembalikan senyumnya sekalipun dalam kegelisahan akibat ancaman Covid-19. Tentu dengan mengedepankan kesabaran. Dengannya pahala dapat digenggam. Allah telah menjanjikan pahala tanpa batas bagi siapa saja yang berkenan dan bertahan untuk bersabar.
Selain kebaikan berupa pahala, ada perkara penting lainnya sebagai ghayyatul ghayyah (tujuan di atas tujuan) bagi hamba beriman, yakni mardhotillah (meraih rida Allah Ta’ala). Harapannya ujian bagi manusia berupa wabah ini bisa dioptimalkan sebagai cara untuk meraih rida Allah.
Maka dibutuhkan fokus dalam menangani wabah ini. Capaian tertingginya bukan sekadar lepas atau pulih dari wabah tapi bagaimana agar prosesi menujunya berbuah keridaan Allah Swt.
Di Indonesia, pertanggal 8 Juni 2020, sudah tembus tiga ribuan orang terinfeksi virus yang makin viral ini. Tak cukup masalah ini diselesaikan mandiri secara individu dengan mendisiplinkan diri terhadap protokol kesehatan, melainkan butuh peran negara. Maka pemimpin dan jajarannya harus mampu menempatkan diri selayaknya “Avanger”. Bertugas menyelamatkan nyawa rakyat dalam sebuah tim yang solid.
Tentu, sejumlah kebijakan telah diambil untuk memutus mata rantai penyebarannya. Meski mengundang banyak polemik dan segudang tanda tanya. Tersuasanai spirit hari raya Idul Fitri, para pemimpin negeri pun menambahkan motivasi secara ruhiyah. Seruan akan sabar, tawakkal serta takwa pun digemakan.
Seperti pernah diberitakan di beberapa media, dalam acara Takbir Virtual Nasional dan Pesan Idul Fitri dari Masjid Istiqlal pada Sabtu, 23 Mei 2020 lalu. Saat itu, RI-1 dan RI-2 mengatakan bahwa modal keluar dari wabah ini adalah sabar, ikhlas, takwa dan tawakal. Sepenuh harap agar ikhtiarnya mendapat rida Allah sehingga dengan itu semua ujian wabah ini bisa dianggat.
Namun, ironisnya seruan ruhiyah tersebut belum dibarengi dengan langkah eksekusi yang senada. Kebijakan-kebijakan yang diambil sejauh ini malah kian menjauhi tuntunan syariat.
Pada saat Allah menyuruh untuk lari menjauh dari pengidap Lepra (penyakit menular), pemerintah malah melonggarkan PSBB (Pengendalian Sosial Bersekala Besar), menyerukan berdamai dengan Corona.
Bahkan mewacanakan “New Normal Life” yang artinya memulai kehidupan sekuler seperti biasa dalam intaian Corona yang beringas dan kelaparan. Rakyat seperti dijadikan umpan dan sasaran empuk. Banyak pihak mengkhawatirkan akan terjadi serangan virus secara brutal pada jilid kedua.
Ironis, ketika seruan dan harapan berkebalikan dengan aktualisasi kebijakan. Seperti berharap untuk dapat menginjakkan kaki di Jakarta, tapi tiket yang dibeli malah menuju Surabaya. Dengan ketidaksinkronan ini alih-alih membawa pada mardhotillah (peraihan rida Allah) justru menghadirkan petaka dan membawa ke tepi jurang neraka.
Maka butuh untuk kembali dicermati langkah cerdas agar wabah lekas berakhir, sembari berbuah keridaan Allah Ta’ala, diantaranya:
Satu, mengembalikan makna takwa dengan sebenar-benarnya. Bukan hanya retorika atau pun sepenggal saja. Takwa akan teraih sempurna ketika bangsa ini sedia dan setia kepada aturan Sang Pencipta. Baik ketika melaksanakan ibadah ritual, pada perkara makanan, minuman dan akhlak, juga pada aspek muamalah dan persanksian berikut kebijakan politiknya.
Bukankah negara yang bertakwa artinya negara yang meletakkan kedaulatan (hak membuat aturan) hanya di atas hukum syara’. Tunduk kepada kemauan Sang Pencipta.
Maka setiap kebijakan yang diambil dalam penanganan wabah serta solusi untuk lepas darinya, semestinya dikembalikan kepada panduan dalil. Karena telah jelas, hak menetapkan hukum hanya milik Allah semata.
Allah berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am :57)
Kedua, sabar yang membakar. Artinya bukan bersikap pasif. Pasrah menerima tanpa ada upaya keras menghalaunya. Termasuk ke dalam bentuk sabar ini, yakni tatkala rakyat mengktisi kebijakan yang keliru karena keluar dari arahan wahyu.
Sabar yang membangun, bermakna muhasabah bil hukam, atau menasihati dan mengajak penguasa untuk kembali kepada solusi yang ditawarkan oleh Islam. Perkara ini menjadi penting, untuk mengukur tingkat ketakwaan penguasa. Sekaligus menegaskan di pihak mana loyalitas penguasa kita berada.
Ketiga, melakukan taubat an nashuha secara nasional. Permohonan maaf kepada Allah di level negara atas kekhilafan yang selama ini telah dilakukan akibat memerintah dengan selain aturan dari Allah. Meninggalkan sekulerisme adalah bukti pertaubatan yang sesungguhnya.
Mengembalikan kedaulatan hanya kepada Allah saja. Menerapkan sistem Islam dengan basis akidah untuk mengurusi setiap warga negara, baik Muslim maupun non Muslim. Maka penanganan wabah pun akan dilakukan secara komprehensif, baik aspek ruhiyah, ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, pemerintahan berpadu padan. Menjadi sebuah simfoni yang mengantarkan wabah kembali ke peraduannya. Inilah kiat jitu menuai rida Allah dari ujian keimanan bernama wabah.
Jangan menyerah, karena tiadalah musibah ataupun wabah kecuali menjadi sekolah terbaik untuk melatih mental dan sarana pembuktian iman. Merapat kepada Islam, adalah kunci bahagia sejati.Wallâhu a’lam bish-shawab. []
*Founder MCQ Sahabat Fillah
Comment