RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Tak selamanya tol sebagai jalan bebas hambatan, steril dari hambatan. Bukan karena si Komo lewat, tapi dihadang oleh banjir bandang.
Kasus langka ini terjadi di Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) KM 136 pada penghujung tahun 2019, Selasa (31/12).
Sontak, banjir berdurasi satu jam tersebut membuat arus lalu lintas baik dari Jakarta maupun Cirebon tersendat. Kendaraan mengular hingga 3 km. Bahkan lebih parah sebuah truk terperosok dan tampak miring karena salah satu rodanya terperosok. (iNewsJabar.id, 1/1/2020)
Telunjuk diarahkan kepada aktivitas meluapnya sungai Cilalanang, Kabupaten Indramayu, akibat curah hujan tinggi. Namun muncul pertanyaan, bukankah tak sekali ini hujan berlimpah turun dari langit kota Mangga ini? Apakah tidak cukup waktu, selama musim kemarau panjang untuk menyusun tindakan preventif? Kurang banyakkah populasi orang pintar di negeri ini?
Jalan raya sebagai sarana transportasi darat adalah bagian dari layanan publik yang sangat vital dan sudah semestinya menjadi fokus perhatian. Apalagi tol yang nota bene tidak gratis.
Sejumlah uang dikeluarkan demi membayar sebuah kenyamanan dan keefisienan dalam berkendara. Setidaknya ada tiga hal menohok di sini.
Pertama, lazim bagi pemerintah sebagai pihak dan tempat rakyat mewakilkan hajat hidupnya, menyediakan sarana transportasi, khususnya di darat, di antaranya adalah jalan raya yang mulus, semulus kulit para artis.
Namun faktanya, kenyamanan berkendara di jalanan aspal dibandrol harga. Tergantung pada golongan kendaraan.
Kedua, sudahlah berbayar, ternyata tak aman dari terjangan banjir. Hal ini membuat rakyat sebagai pengguna jalan, dirugikan dua kali lipat. Banjir di jalan tol, membuat keringat dingin mengucur, tegang dan cemas akan besarnya peluang terjadi kecelakaan.
Alhasil kendaraan pun melaju tak ubahnya jalan pasangan pengantin baru, perlahan-lahan yang penting selamat. Hasilnya, waktu tempuh pun meleset dari estimasi.
Ketiga, fasilitas ini menjadi mimpi bagi kendaraan beroda dua, hanya mobil, bus dan truk saja yang diperbolehkan melintas.
Ada kesenjangan, padahal baik pengendara roda dua atau pun empat, sama-sama berstatus warga negara. Tentu, jika tol saja disinggahi banjir, tak perlu ditanya bagaimana nasib jalan reguler yang memang tidak bebas hambatan.
Indonesia merdeka sudah hampir 80 tahun, tapi rakyat masih merindukan pelayanan transportasi yang aman dan nyaman. Bebas dari jalan berlubang, bergelombang, tidak rata. Aman dari genangan, banjir dan kemacetan. Tak sedikit nyawa melayang akibat dari kurang optimalnya layanan transportasi. Apalagi di daerah tertinggal atau juga wilayah perbatasan.
Padahal pelayanan publik adalah salah satu hal yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan sang Pencipta.
Hal ini dikarenakan Islam telah menetapkan hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat. Sudah menjadi kewajiban para pemimpin untuk mengurus rakyat. Karena pemimpin adalah ra’in (pemelihara), selayak penggembala atas gembalaannya.
Sekali waktu Umar bin Khattab pernah menangis tersedu-sedu. Satu kabar tak sedap didengarnya dari tanah Irak. Bahwa ada seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan rusak dan berlubang. Posisinya sebagi amirul mu’minin itu membuatnya terpukul, meskipun hanya seeokor keledai, Allah tetap akan menanyakannya.
Kiranya kisah ini mampu membuka hati para pemangku kebijakan untuk berbenah. Bukan hanya melakukan reformasi birokrasi, ataupun mental semata, tapi yang utama adalah reformasi pemikiran.
Mengubah orientasi kenegaraan bahwa pemimpin itu tidak sedang berjual beli dengan rakyat tapi sesungguhnya dengan Allah lah, penguasa berniaga.
Ia baktikan jabatannya untuk memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat, lalu Allah akan membayarnya dengan fasilitas megah di surga, selamanya.
Jika telah nyata, cinta dan kasih dari penguasa, niscaya drama tol banjir tidak akan kembali menghiasi media. Tak hanya tol, seluruh jalan raya baik di ibukota maupun di daerah pinggiran akan terjaga bahkan dari sebuah duri yang mengancam penggunanya.
“Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab.
*Penulis lepas, dari Indramayu
Comment