Setahun Genosida Gaza

Opini78 Views

 

Penulis: Sarah Ainun, S.Kep, M.Si | Perawat

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Jika penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada kebaikan pada kalian. (karena itu), akan ada selalu dari kalangan umatku kelompok yang mendapatkan pertolongan. sampai hari kiamat tiba orang-orang ini tidak akan dirugikan oleh orang-orang yang telah meninggalkan mereka” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits tersebut, 1400 tahun yang lalu, Rasulullah SAW telah memberikan gambaran tentang kondisi geopolitik umat Islam di akhir zaman. Umat Islam akan mengalami penjajahan, baik secara fisik dalam mempertahankan akidah mereka, maupun melalui penjajahan ideologi atau pemikiran yang menjauhkan dan merusak akidah umat Islam sebagai seorang Muslim.

Saat ini, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana hadis ini relevan dengan situasi yang menimpa Palestina, khususnya Gaza dan dunia Islam dalam kancah politik global.

Sejak tahun 1948, meningkatnya migrasi Yahudi ke tanah Palestina (yang dalam terminologi Islam disebut Bumi Syam) secara besar-besaran di bawah Mandat Inggris menjadi awal mula bencana tragis yang dikenal sebagai peristiwa Nakba.

Pada masa itu, lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka ketika zionis Israel secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaannya dan mendirikan negara dengan dukungan Inggris, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara sekutu.

Kekejaman zionis yahudi yang berlangsung selama lebih dari 75 tahun merupakan rangkaian panjang sejarah penjajahan tanah Palestina yang hampir terlupakan dan diabaikan oleh dunia internasional, termasuk sebagian besar umat Muslim.

Namun, peristiwa Taupan Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, yang kini genap berlangsung selama satu tahun, menjadi titik balik di mana dunia Muslim, yang sebelumnya abai, mulai membangkitkan kembali kesadarannya tentang pentingnya Al-Quds dan Palestina dalam sejarah peradaban Islam.

Palestina bukan hanya merupakan kiblat pertama umat Islam dan tanah suci yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi juga tempat di mana Masjid Al-Aqsa masih berada di bawah ancaman dan pendudukan Zionis Israel.

Sejak berdirinya entitas Israel pada tahun 1948, penjajahan terhadap Palestina terus berlanjut dan semakin masif serta tersistematis dari waktu ke waktu. Serangan yang dilakukan oleh zionis Israel terhadap rakyat Palestina semakin brutal dan merajalela, dengan korban jiwa yang kini telah mencapai lebih dari 41 ribu orang dan 91 ribu lainnya terluka.

Dunia internasional telah mengakui bahwa tindakan ini bukan hanya konflik dua negara melainkan bentuk dari penjajahan dan praktik genosida atau pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina.

Arogansi Zionis Israel yang semakin kuat dan terus berkembang tidak hanya disebabkan oleh bersatunya negara-negara Barat, terutama AS, yang telah menjadi sekutu utama dan abadi Israel dalam memberikan dukungan penuh, baik secara ekonomi, politik, maupun militer.

Salah satu bentuk dukungan politik yang paling nyata adalah penggunaan hak veto oleh AS dalam setiap upaya menghentikan agresi dan pendudukan Israel di Palestina. AS sering kali menggunakan hak vetonya sebagai alat utama untuk menggagalkan resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata atau penghentian pembangunan pemukiman ilegal di wilayah Palestina.

Tidak hanya di PBB, berbagai keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) yang menentang berbagai tindakan mereka di wilayah pendudukan. Salah satu putusan penting ICJ adalah pada tahun 2004, yang menyatakan bahwa pembangunan tembok pemisah Israel di Tepi Barat ilegal di bawah hukum internasional.

Mahkamah memutuskan bahwa Israel harus menghentikan pembangunan tembok tersebut, meruntuhkan bagian yang sudah dibangun, dan memberikan kompensasi kepada warga Palestina yang terdampak. Namun keputusan itu diabaikan oleh Zionis Israel.

Israel menunjukkan sikap arogansi dengan melancarkan serangan tidak hanya terhadap Palestina, tetapi juga terhadap negara-negara Muslim lain yang menolak dan menentang pendudukannya di Palestina.

Negara-negara seperti Iran, Suriah, Yaman, dan Lebanon menjadi sasaran tindakan militer agresif Israel yang saat ini eskalasinya semakin hari semakin meningkat. Serangan-serangan ini merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara-negara tersebut dan mencerminkan keangkuhan Israel di kawasan Timur Tengah.

Keberanian Zionis Israel diperkuat oleh diamnya dunia, termasuk penguasa dan negara-negara Muslim, yang seharusnya memiliki peran besar dalam membela dan membebaskan Palestina. Diamnya negara-negara Muslim ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa mereka, yang mayoritas penduduknya Muslim dan terikat persaudaraan agama serta tanggung jawab terhadap akidahnya sebagai muslim, justru tidak bertindak signifikan? Jawabannya ada pada sekat-sekat nasionalisme yang memisahkan mereka.

Dalam pandangan Islam, Bumi Syam adalah wilayah yang satu, menyatukan masyarakat dengan ikatan sejarah, agama, dan budaya yang kuat. Namun, pasca Perang Dunia Kedua, Bumi Syam terpecah belah menjadi negara-negara kecil. Pembelahan ini menciptakan negara-negara seperti Libanon, Suriah, Yordania, Palestina, Sinai di Mesir, Tepi Barat, dan Gaza, termasuk wilayah yang saat ini diduduki oleh Israel.

Pembelahan tersebut merupakan hasil dari tipu daya Barat sebagai bagian dari strategi besar untuk melemahkan umat Islam dan menciptakan sekat-sekat politik yang menghalangi persatuan mereka. Melalui perjanjian seperti Sykes-Picot Agreement pada tahun 1916, Barat dengan sengaja memisahkan umat Islam di wilayah Bumi Syam menjadi beberapa negara yang tidak hanya berbeda secara administratif, tetapi juga terpisah dalam identitas nasional.

Ide nasionalisme yang diperkenalkan oleh kekuatan Barat menjadi alat efektif untuk menanamkan sekat-sekat buatan di antara umat Muslim. Nasionalisme menggantikan ikatan persaudaraan Islam yang semestinya lebih mengedepankan persaudaran berdasarkan agama dan bukan kebangsaan.

Setiap negara di kawasan Bumi Syam mulai mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri, menegaskan identitas nasional yang terpisah, dan dalam proses ini mengabaikan keterikatan yang lebih besar sebagai bagian dari umat Islam yang satu. Sebagaimana Hadist Rasulullah Saw menjelaskan;

“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya)” (Shahih Muslim 4685).

Nasionalisme ini menjadi penghalang utama dalam upaya menyatukan umat Islam di wilayah Syam, karena masyarakat lebih mengutamakan identitas kebangsaan daripada ikatan keislaman.

Sehingga semakin banyak penguasa di negara-negara Muslim yang menormalisasi hubungan dengan penjajah Israel, seperti melalui Abraham Accords pada 2020, yang melibatkan Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko serta beberapa negara lain yang juga akan menormalisasi hubungannya dengan zionis Israel sebelum Taupan Al-Aqsa terjadi, seperti Arab Saudi.

Mereka memandang langkah ini sebagai cara untuk meraih manfaat ekonomi, terutama dalam bidang teknologi, perdagangan, dan pertahanan. Normalisasi ini juga berfungsi sebagai alat diplomasi untuk menunjukkan komitmen terhadap stabilitas kawasan dan mengamankan dukungan politik serta finansial dari Barat.

Sehingga pembebasan Palestina dari penjajahan Zionis Israel seringkali dianggap tidak mendesak atau diserahkan penyelesaiannya kepada politik diplomasi internasional (PBB).

Meskipun retorika pembelaan terhadap Palestina sering digaungkan, terutama dalam forum-forum internasional, kenyataannya tindakan yang diambil hanya sebatas simbolis. Bantuan yang diberikan sering kali tidak sebanding dengan kemampuan dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh negara-negara Muslim.

Padahal, potensi ekonomi dan militer beberapa negara Muslim cukup besar untuk memberikan tekanan kepada Zionis Israel dan sekutunya. Namun, sekat-sekat politik dan nasionalisme yang memisahkan negeri-negeri Muslim membuat mereka terpecah dan tidak mampu bersatu untuk membela Palestina secara efektif.

Lantas, pertanyaan besarnya, bisakah negeri-negeri Muslim berharap membebaskan Palestina dari penjajahan dengan mengandalkan kekuatan internasional, khususnya lembaga internasional seperti PBB?

Meskipun dukungan terhadap Palestina saat ini tidak hanya datang dari dunia Islam, namun dunia internasional, termasuk negara-negara Barat, melihat dari sudut pandang moral terus mengecam dan mendesak Israel untuk menghentikan tindakan agresi brutalnya terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza. Bahkan, keputusan dari beberapa sidang PBB, agar Zionis Israel menghentikan agresinya.

Namun, dalam praktiknya di lapangan, eskalasi serangan Israel justru semakin meluas dan meningkat setiap harinya.

Dalam tatanan politik global, kebijakan internasional tidak ditentukan oleh moralitas, melainkan oleh siapa yang paling kuat. Dalam hierarki geopolitik saat ini, kekuatan tertinggi berada pada negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua, seperti Inggris, AS, dan sekutu mereka.

Secara moral, negara-negara kuat ini seharusnya mampu menekan Israel, namun justru sebaliknya, merekalah yang menjadi pendukung utama Israel, memberikan dukungan politik, militer, dan diplomatik yang memperkuat posisi Israel dalam dinamika Timur Tengah.

Karena kekuatan-kekuatan ini merupakan anggota berpengaruh di PBB, mereka terus mendikte arah tatanan politik global sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Maka, mengapa penjajahan dan genosida Zionis Israel di tanah Palestina berlangsung begitu lama? Umat Islam harus cermat dalam melihat dan memahami serta membangun kesadaran bahwa akar persoalannya terletak pada perpecahan pada tubuh umat Islam yang terjebak dalam sekat-sekat negara dan ikatan nasionalisme yang diciptakan Barat.

Tujuan utama dari pembelahan ini adalah agar umat Islam tidak dapat membangun kembali kekuatan politik mereka yang dahulu sangat berpengaruh di bawah Kekhalifahan Utsmaniyah.

Untuk membebaskan negeri-negeri Muslim, bukan hanya saudara-saudara kita di Palestina, tetapi juga di tempat lain seperti Myanmar (Rohingya), Xinjiang China (Uyghur), India, dan berbagai belahan dunia lainnya yang mengalami penjajahan dan genosida, hanya dapat dilakukan dengan membangun kesadaran bahwa umat Islam harus bersatu kembali.

Persatuan ini diperlukan untuk membangun kekuatan politik global di bawah satu kepemimpinan dalam sebuah sistem negara Islam.

Karena Muslim Palestina sejatinya membutuhkan kehadiran pasukan dari negeri-negeri Muslim untuk melawan penjajah Zionis Yahudi. Masalah Palestina adalah eksistensi entitas Israel di tanah Palestina, yang tidak mengenal diplomasi, melainkan peperangan.

Oleh karena itu, Palestina dan negeri-negeri Muslim lainnya yang tertindas dan terjajah hanya dapat dibebaskan melalui jihad fi sabilillah di bawah satu komando seorang imam (khalifah) dalam sistem negara Islam yang merupakan junnah (perisai). Sebagaimana hadist Rasulullah Saw;

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[]

Comment