Oleh: Nila Dewi Kencana, Siswi SMPN 1 Simpang Empat, Tanah Bumbu
_________
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat kakakku yang berada di ruang ICU. Tubuhnya dipenuhi selang dan alat-alat penunjang hidup lainnya. Orangtuaku menangis sejadi- jadinya melihat anaknya yang terbaring lemah tak berdaya.
Tak berapa lama dokter menghampiri kami.
“Apa yang terjadi kepada anak saya Dok?” tanya ayah.
Dokter pun menjelaskan kondisi kakakku.
“Pasien sempat mengalami henti jantung saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Namun detak jantungnya kembali setelah dilakukan tindakan CPR,” tegas dokter itu.
Ibuku tidak sanggup mendengarkan penjelasan dari dokter, akhirnya terjatuh pingsan.
“Lalu bagaimana kondisi Kak Gina sekarang Dok?” tanyaku yang masih mencoba menerima apa yang terjadi.
“Kami lakukan pemeriksaan CT scan guna memeriksa fungsi otaknya karena pupil mata Gina tidak merespon dan sekarang Gina dinyatakan mati otak.”
“Selanjutnya apa yang harus dilakukan Dok? Apakah ada tindakan yang bisa menyelamatkan anak saya?” ucap ayah dengan penuh harapan.
“Kami meminta maaf sebesar-besarnya tetapi melihat keadaan pasien sudah tidak ada yang bisa kami lakukan karena otak pasien sudah mati namun jantung tetap memompa darah. Apabila alat penunjang hidup dimatikan maka pasien akan meninggal dunia. Namun bila alat penunjang hidup tetap dinyalakan pasien mungkin akan bertahan setidaknya satu hari dan paling lama dua minggu ”
Keluargaku menangis sejadi-jadinya, menyesali nasib yang menimpa kakakku. Aku berusaha tidak menangis untuk menenangkan keluargaku.
“Baik Dok, apabila seperti itu beri kami waktu untuk memutuskan,” sahut ayah
“Baik Pak, namun ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan, semasa hidupnya anak Bapak mendaftar menjadi salah satu pendonor organ apabila Bapak setuju untuk mendonorkan organnya, Bapak bisa menandatangani kertas ini, ”jawab dokter itu.
Aku tidak bisa menahan air mataku lagi saat itu. Bagaimana bisa kakakku memikirkan orang lain. Bahkan di saat kondisi seperti ini dia masih ingin membantu orang lain. Ayahku yang masih sedih pun terbawa emosi ketika dokter itu membicarakan tentang kakakku yang mendaftar menjadi pendonor organ
“Dokter bisa mendiskusikan tentang itu ke saya tapi tidak sekarang, seperti yang dokter lihat, keluarga saya sedang berduka!” tegas ayahku dengan nada marah.
“Saya memohon maaf sebesar-besarnya apabila Bapak tersinggung tetapi semakin lama menunggu, fungsi organ akan menurun dan pada akhirnya tidak bisa didonorkan” ucap dokter itu.
Memang sangat tidak pantas membicarakan hal semacam itu di depan keluarga yang masih sangat berduka namun apa boleh buat. Kakakku sangat baik hati, bahkan setelah meninggalpun dia ingin tetap berguna bagi orang lain hingga rela mendonorkan organnya.
Pada akhirnya, ayah menandatangani lembaran kertas yang menyatakan kakakku akan mendonorkan organnya kepada yang membutuhkan. Karena mungkin itu yang diinginkan oleh kakakku jadi kami harus mewujudkannnya.
Akhirnya keluarga memutuskan untuk mengiklaskan kak Gina, supaya tidak terlalu lama menanggung sakit. Dokter melepaskan semua alat penunjang kehidupan yang menempel pada tubuhnya.
Setelah pemakaman mendiang kakak selesai. Keluargaku berusaha melupakan musibah ini. Bagaimanapun kami tetap harus melanjutkan hidup, tidak ada pilihan lain. Tak bisa dimungkiri banyak hal berubah, suasana rumah menjadi sangat sunyi.
Aku sering melamun dan belum bisa melupakan kakakku. Nilai-nilaiku menurun karena tidak ada lagi kakak yang biasa mengajariku apabila kesulitan. Orangtuaku melampiaskan kesedihannya dengan pekerjaan, mereka jarang pulang ke rumah.
Tari sahabatku mencoba menghibur. Namun hasilnya nihil, aku tidak bisa melupakan tragedi itu dari benakku.[SP]
(Bersambung)
Comment