Oleh : Hani Handayani, A.Md*
RADARINDONESIANEWA.COM, JAKARTA — Beberapa hari yang lalu publik sempat di buat ketar-ketir terkait wacana penerbitan Perpres 10/2021 yang berisi tentang legalitas miras di empat provinsi, yang akhirnya dicabut oleh Presiden Joko Widodo.
Dicabutnya perpres tersebut tentunya tidak lepas dari sikap masyarakat yang kritis dan tidak hanya diam ketika wacana ini mencuat. Berbagai elemen masyarakat melakukan penolakan baik di media sosial atau pun lisan.
Tetapi publik kembali bertanya, apakah dengan pencabutan lampiran di Bidang Usaha No.31 dan 32 pasal 6 ayat 1 Perpes 10/2021 ini permasalahan miras di tanah air akan selesai?
Kebijakan pencabutan Perpres oleh pemerintah ini mengindikasikan bahwa terjadi tindakan yang kurang berhati hati dalam penyusunan dan pembuatan sebuah peraturan dan undang undang.
Miris memang, di satu sisi ada kebijakan pelarangan miras yang akan diberikan sanki bagi pelakunya tetapi di sisi lain dan dengan alasan demi “kearifan lokal” kebijakan ini lahir.
Bila kita berbicara tentang narasi “kearifan lokal”, tentu kita tidak bisa menutup mata tentang kekhasan suatu daerah.
Bila masyarakat dalam satu daerah atau setempat menolak kebijakan tersebut maka sudah selayaknya menyikapi persoalan tidak berlindung di balik narasi “ Kearifan Lokal” tersebut.
Dampak Miras
Tidak dapat dipungkiri bahwa miras lebih banyak mendatangkan kemudharatan bahkan bisa jadi tidak ada sisi baiknya. Karena tidak satu pun hasil studi yang menyimpulkan adanya dampak positif.
Saat Perpres belum disahkan saja, akses mendapatkan miras ini begitu mudah. Tak bisa dibayangkan bila Perpres ini jadi disahkan, akankah ada pengawas bagi anak-anak dan remaja dalam hal ini?
Akan banyak timbul permasalahan ketika para pelaku peminum miras ini di biarkan begitu saja. Contohnya, kejiwaan para peminum miras akan kacau, menimbulkan permasalahan sosial, karena biasanya mereka yang sedang mabuk suka membuat onar dan keresahan di lingkungan masyarakat.
Dampak miras akan lebih serius bila anak-anak yang meminumnya akan banyak persoalan sebagai ekses sosial yang timbul seperti tawuran, putus sekolah dan kasus pidana. Bahaya ini pun bisa mengintai yang tidak meminum miras sebagai imbas oleh kejahatan yang dilakukan oleh penhhuna miras yang memabukkan ini.
Misalkan di dalam sebuah keluarga ada seorang pemabuk maka kemungkinan besar, anak-anak yang tumbuh di keluarga tersebut mental dan fisiknya akan rusak. Pun hal yang terburuk ketika seorang ibu yang sedang menyusu tetapi pemabuk, bisa dibayangkan asi yang akan dikonsumsi bayinya sudah terkontaminasi dengan miras.
Sungguh miris membayangkan hal ini karena betapa pun besar investasi yang didapat dari miras ini, tidaklah sebanding dengan kerugian ekonomi dan beban sosial yang akan ditanggung negara nantinya.
Nasib Anak Bangsa
Permasalahan ini lahir karena sistem ekonomi kapitalis yang memandang segala sesuatu hanya berdasarkan keuntungan semata. Tidak lagi mempertimbangkan dampak dan kerusakan yang terjadi di tengah masyarakat.
Prinsip ekonomi kapitalis sangat sempit, ketika suatu barang atau jasa ada yang menginginkannya maka ini sesuatu yang bernilai jual. Oleh karena itu wajar para pelaku prinsip ekonomi kapitalis ini menganggap Perpes ini sangat menguntungkan investasi mereka.
Indonesia sudah dikenal dunia sebagai tempat wisata eksotik dengan berbagai keindahan alam dan budayanya sehingga tidak perlu menjadikan miras sebagai alasan investor untuk menarik wisatawan.
Oleh karena itu, agar masa depan anak bangsa tidak hancur oleh kebijakan yang salah seyogianya Perpres miras ini lebih baik di revisi kembali. Rasanya tidak rela harus menghadapi bencana demografi di masa depan, karena hilangnya perlindungan anak bangsa sejak dini.[]
*Anggota Komunitas Menulis Online
Comment