Penulis: Efinda Putri N Susanto, M.Sc. | Intelektual Muda dan Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Filisida kembali mucul dan menggemparkan publik beberapa waktu ke belakang ini. Publik dikejutkan dengan kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Rabu (06/12). Empat anak berusia 6, 4, 3 dan 1 tahun seperti ditulis bbc.com (11/12/23) ditemukan berjejer dan terbujur kaku di kasur salah satu kamar pada pukul 14.50 WIB menurut laporan dari Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Bintoro. Mereka dihabisi oleh ayahnya, yakni Panca (41) yang dilaporkan ditemukan di kamar mandi rumah kontrakan tersebut dengan kondisi kedua pergelangan tangan penuh luka dan mengeluarkan darah.
Laman cnnindonesia.com menulis bahwa yang menjadi motif ayah bunuh empat anak di Jagakarsa karena cemburu. Dugaan ini diperkuat dengan adanya bukti berupa pesan ‘Puas Bunda Tx For All’ yang ditulis dengan darahnya sendiri ditemukan di lantai rumah lokasi pembunuhan. Selain itu, laman republika.co.id (15/12/23) mengungkap pesan yang ditulis di handphone dan laptop tersangka yang mengungkap rasa kecemburuannya kepada istrinya.
Berdasarkan review jurnal yang ditulis oleh Dr. Sarah G. West, MD dengan judul An Overview of Filicide (2007), filisida sendiri merupakan pembunuhan terhadap seorang anak yang mengacu pada usia hingga 18 tahun, hal ini bisa dilakukan oleh orang tua kandung atau figur yang dianggap sebagai orang tua, seperti wali atau orang tua tirinya.
Selang beberapa hari dari kasus di Jagakarsa tepatnya pada tanggal 12 Desember terjadi pula tragedi yang tak kalah menggemparkan dan memilukan publik. Satu keluarga di Malang diduga melakukan bunuh diri dikarenakan terjerat hutang.
Berdasarkan informasi yang ditulis antaranews.com (13/12/2023), terdapat tiga yakni seorang suami berinisial WE (43) yang berprofesi sebagai guru, istri berinisial S (40) dan anak ARE (12).
Kompas.com (14/12/23) mengungkap, terdapat wasiat yang ditinggalkan kepada anak yang ditinggalkan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) berupa tulisan di kaca dengan spidol hitam “Kakak jaga diri, papa, mama, adik pergi dulu, nurut uti, kung, tante, dan om, uang papa mama untuk pemakaman jadi satu. Love you kakak.”.
Mirisnya dan semakin miris. Kasus serupa terjadi sebagaimana ditulis kompas.com (14/12/23), pada tanggal 13 Desember seorang ayah berinisial U (43) tega menganiaya anaknya berinisial A (11) hingga tewas. Gegara ditegur oleh salah seorang tetangga karena tidak sengaja melindas kaki anaknya ketika A bersepeda.
Kondisi U yang sedang capek, perut kosong, ada pengaruh narkoba dan kesal dengan omelan tetangganya terpicu amarahnya terhadap anaknya dengan menampar, menendang serta membanting anaknya sampai-sampai orang-orang di sekitar – yang melihat kejadian itu menjerit histeris. Luar biasanya, kejadian tragis ini dilakukan di tengah keramaian dan tertangkap kamera cctv hingga videonya pun viral di media sosial.
Tragedi Berulang dan Kian Marak
Semacam fenomena gunung es, kejadian-kejadian tragis semacam ini sebetulnya hanya sebagian kecil dari kasus-kasus kriminal yang terungkap atau terlapor. Seolah menjadi tren atau fenomena, kasus-kasus kekerasan berbasis keluarga (KDRT), kasus bunuh diri dan kriminal lainnya sampai-sampai tak jarang info atau beritanya lewat di media sosial kita.
Dilansir dari tirto.id,
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagaimana ditulis titto.id, sepanjang 2023 (terakhir dikutip 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus.
Korban terbanyak adalah perempuan yaitu mencapai 16.351 orang. Dari keseluruhan jumlah kasus, ada 11.324 kasus KDRT. Jumlah korban dalam kasus KDRT mencapai 12.158 atau tertinggi dibandingkan kategori lainnya.
Jika dibandingkan dengan data kasus KDRT dengan tahun sebelumnya, maka kasus ini cenderung mengalami kenaikan bahkan hampir 100% padahal belum sampai di penghujung tahun 2023 ini. Jumlah kasus tersebut terbilang sangat banyak. Kasus seperti ini merupakan fenomena gunung es.
Begitu pun dengan kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri) sebagaimana ditulis katadata.co.id (18/10/23), terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023.
Angka tersebut sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. Kasus ini banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Jawa Barat dan DI Yogyakarta.
Mencengangkan, ternyata bunuh diri sudah menjadi tren di kalangan anak-anak dan remaja. Masih lekat di benak kita tentu, berita menyoal kasus anak periang di SDN 06 Petukangan yang meninggal karena melompat dari lantai 4 sekolahnya (kompas.id, 28/09/23).
Ada pula kisah pilu lainnya dari Banyuwangi di mana anak SD berusia 11 tahun bunuh diri karena sering di bully disebabkan menjadi anak yatim (detik.com, 3/03/23).
Lantas yang terbaru, bocah SD di Pekalongan yang masih berusia 10 tahun tewas bunuh diri dikarenakan hp yang diambil oleh orang tuanya supaya dia makan siang terlebih dahulu. Sungguh miris dan menyayat hati (detik.com, 24/11/23).
Terkait hal ini, KPAI mencatat selama Januari-November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai anak mengakhiri hidupnya. Itu pun yang terlaporkan saja. Kasus tersebut terjadi pada usia rawan (kelas 5-6 SD), Kelas 1 atau 2 SMP, kelas 1 atau 2 SMA.
Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Diyah Puspitarini mengungkapkan bahwa kasus anak mengakhiri hidup menjadi penyebab kematian terbesar ketiga. Pertama adalah kecelakaan di jalan raya, kedua penyakit dan ketiga kekerasan yang bisa memicu anak mengakhiri hidupnya.
Mirisnya, fenomena bunuh diri bukan hanya marak di skala lokal, tetapi juga menjadi problem global. Itulah yang melatari WHO menetapkan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia sejak 2004.
WHO menyebutkan, diperkirakan kasus bunuh diri secara global mencapai lebih dari 703.000 kasus tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dirilis pada tahun 2019 lebih dari 77% kasus bunuh diri secara global terjadi di negara dengan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah (low and middle-income).
Selain itu diungkap pula kasus bunuh diri ini menjadi penyebab kematian terbesar keempat pada kelompok usia remaja 15-29 tahun di seluruh dunia (who.int, 28/08/23).
Sekulerisme adalah Sumber Persoalan
Seseorang sampai bunuh diri bahkan tega membunuh orang terdekat sebagaimana fakta yang dipaparkan di atas, biasanya sudah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada lagi solusi bagi persoalan hidupnya. Perjalanan hidupnya telah menemui jalan buntu, putus harapan (there’s no hope).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua faktor penyebab yang mampu mempengaruhi atau memicu kejadian tersebut.
Pertama, faktor internal yang berasal dari dalam diri seseorang. Tidak bisa dipungkiri kondisi masyarakyat saat ini mengalami degradasi pemikiran dan mental yang cukup luar biasa.
Kondisi ini menjadikan kebanyakan masyarakat mudah menyerah saat menemui masalah, lebih mengedapankan perasaan dan emosi saat menyelesaikan persoalan hidupnya, maunya serba instan dalam menggapai sesuatu, kurang empati dan mudah terbawa arus. Ya, kondisi masyarakat saat ini sangat rentan (fragile) dan kacau balau.
Penelitian American Psychological Association menemukan bahwa kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat makin menurun di setiap generasi (apa.org, 2011). Gen Z adalah generasi yang paling rawan mengalami stres saat ini.
Namun kalau diperhatikan secara mendalam, ternyata rapuhnya mental ini bukan hanya menghinggapi gen-Z saja tetapi juga sudah menghinggapi generasi millennial seperti yang terjadi pada fakta-fakta diatas.
Kedua, faktor eksternal yang memberikan pengaruh terhadap ketahanan diri seseorang. Kehidupan yang serba materialistik, hedonistik, liberalistik dan individualistik sangat berpengaruh membentuk pola pikir dan pola sikap manusia bahkan masyarakat saat ini.
Gaya hidup materialistik dan hedonistik mendorong pola pikir masyarakat untuk terus berfokus pada perolehan materi semata. Materilah yang secara dominan dianggap bisa mengantarkan kepada kebahagiaan. Jadilah siapa pun akan berlomba untuk mencari sebanyak-banyaknya materi, demi mengejar kebahagiaan.
Kehidupan yang jauh dari agama (sekuleristik) jelas akan mengantarkan siapa pun untuk melakukan hal semaunya, alias gaya hidup yang liberal. Tak peduli merugikan orang banyak atau tidak, selama ia mendapatkan manfaat, dianggap oke oke saja.
Jamak ditemui bagaimana masyarakat hari ini yang saling sikut demi memperoleh materi. Ini juga yang menyebabkan depresi sebab jika tidak mendapatkan materi seolah telah kehilangan kesempatan untuk bahagia.
Masyarakat saat ini semakin dibuat sibuk untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Harga-harga pangan pokok yang kian melangit ditambah ekonomi yang kian gelap, membuat rakyat sulit untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Boro-boro memikirkan yang lain, memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga saja meski sudah jungkir balik tapi masih terasa sempit dan mencekik.
Ditambah kehidupan sekuleristik yang berkelindan di tengah-tengah masyarakat saat ini menjadikan mereka semakin jauh dari konsep saling membantu atau tolong-menolong dan peduli terhadap sekitar yang diajarkan oleh agama. Jadilah mereka masyarakat yang individualistik.
Sekulerisme, paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan inilah yang menjadi biang keladi atau akar masalah dari rusaknya ruang hidup manusia dari berbagai lini. Paham yang bersumber dari kecerdasan manusia belaka ini hanya akan melahirkan ruang hidup yang rusak dan merusak.
Vitalnya, juga akan melahirkan sistem atau aturan-aturan hidup yang juga rusak. Sekulerisme betul-betul mendangkalkan pemikiran dan mengkosongkan hati nurani manusia. Maka wajar, ‘rumah’ yang seharusnya menjadi tempat kembali yang penuh kehangatan keluarga dan notabene menjadi tempat teraman justru menjadi tak lagi aman.
Selanjutnya, adanya media sosial yang sangat massif seperti saat ini, membantu mengkatalisasi pengaruh gaya hidup yang berasaskan sekulerisme hingga semakin merebak dan menghujam ke tengah-tengah masyarakat.
Sebagian besar orang mencitrakan dirinya di medsos hanya yang baik-baik saja. Terlebih pernah viral fenomena budaya flexing yang merupakan budaya memamerkan barang mewah untuk mendapatkan pengakuan atau validasi bahwa orang tersebut mampu, sepertinya hingga saat ini juga masih marak muncul di FYP (For Your Page), eksplore atau rekomendasi media sosial kita.
Hal-hal tersebut tidak bisa dipungkiri banyak memberikan refleksi kepada seseorang terhadap dirinya. Namun, realitas kehidupannya tidaklah sampai demikian sehingga ada gap atau kesenjangan dalam kehidupannya.
Sebenarnya gap tidak menjadi soal, hal ini wajar terjadi pada manusia. Manusia ketika memiliki cita-cita, maka sejatinya akan ada gap dalam hidupnya. Tidak akan menjadi soal selama manusia melakukan upaya untuk mencapai cita-citanya itu. Dia memiliki cara harus melakukan apa, punya semangat dan optimis untuk memperkecil gap tersebut dengan cara-cara yang baik.
Tetapi jika tidak punya cara untuk menggapai cita-citanya tersebut, maka gap atau jurang pemisah itu akan terus menganga. Alhasil akan menimbulkan stress bahkan depresi, apalagi ditambah tidak punya mental yang kuat maka hal ini akan menjadi persoalan besar.
Solusi Islam
Peradaban sekulerisme yang tegak hari ini lahir dari sistem yang menafikan eksistensi Sang Pencipta dalam pengaturan kehidupan manusia. Hal ini meniscayakan berbagai tragedi tersebut di atas terjadi. Di saat bersamaan, peradaban ini sangat mengagung-agungkan akal manusia yang serba lemah dan terbatas sebagai sandaran dalam menetapkan aturan di tengah-tengah kehidupan manusia. Lumrah jika kehidupan manusia kemudian menjadi kacau dan makin jauh dari kebahagiaan hakiki yang seharusnya diraih.
Berbeda secara diametral dengan peradaban Islam yang pernah tegak selama belasan abad serta membawa seluruh umat (bukan hanya kaum Muslimin) pada kemuliaan. Sistem yang pernah di pimpin oleh tokoh-tokoh besar di dunia Islam yang tentu tidak asing lagi di telinga kita. Merekalah para khalifah kaum muslimin sepeninggal nabi SAW. yang biasa disebut dengan khulafaur rasyidin, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sistem pemerintahan yang menerapkan syari’at Islam secara sempurna. Sistem ini dipastikan akan mengeliminasi semua stressor, bahkan menjadi support system bagi kesehatan mental masyarakat. Hal ini niscaya, karena akidah yang menjadi asas kehidupan mereka merupakan akidah yang lurus yang datang dari wahyu Sang Pencipta, Allah SWT., sehingga sesuai akal dan fitrah manusia hingga menjadikan jiwa tentram pagi setiap yang meyakininya. Akidah ini menjadi bekal ketahanan mental yang membuat umat Islam siap menghadapi ujian-ujian kehidupan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Mulk ayat 2,
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Seseorang yang beriman akan selalu mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Ia akan menerima semua ketetapan Allah dengan penuh keimanan dan meyakini apa yang menimpa dirinya adalah yang terbaik dari Rabbnya, sehingga ia akan mampu bersabar dalam menghadapi setiap ujian yang datang dalam kehidupannya.
Seseorang dengan keimanan yang lurus tidak akan pernah jemu mencari solusi atas persoalan yang dihadapinya, karena Allah telah menjanjikan bersama kesulitan ada kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Insyirah ayat 5-6,
فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرًا (٥) إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرا (٦)
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Siapapun hamba yang meyakini ayat ini dengan sungguh-sungguh, maka akan terbentuk mental yang kuat pada dirinya dan dia akan menjadi sosok yang kokoh tidak mudah menyerah saat menemui masalah.
Di sisi lain, aturan-aturan yang lahir dan memancar dari akidah Islam ini ditegakkan oleh penguasa dan ditopang oleh seluruh rakyatnya. Sehingga nuansa keimanan (jawil iman) tumbuh subur di dalamnya.
Dengan demikian, terwujudlah nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan, seperti nilai-nilai ruhiyah, madiyah (materi), moral dan insaniah. Umat pun akan terjaga agama, nyawa, akal, harta dan nasabnya.
Individu dan rakyat memiliki kekuatan mental karena akidah yang kuat. Setiap individu pun tercukupi kebutuhan pokoknya karena negara menjaminnya melalui berbagai mekanisme. Kemiskinan yang dapat memicu munculnya tekanan hidup dan terjadinya kejahatan akan hilang karena pemerintahan islam memiliki banyak sumber pemasukan negara sehingga mudah untuk menyejahterakan rakyat.
Sejarah pun mencatat dengan tinta emas bagaimana peradaban Islam selama ribuan tahun menjaga dan menyejahterakan rakyatnya.
Will Durant, seorang sejarawan barat, menulis dalam bukunya The Story of Civilization bahwa ‘Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.
Kegigihan dan kerja keras menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.’
Oleh karenanya, mewujudkan kembali sistem ini sangat urgen untuk menjadi fokus umat saat ini dan upaya pengembaliannya membutuhkan perjuangan keras dan sungguh-sungguh serta tersistem dari orang-orang yang sudah paham urgensi dan kewajiban untuk hidup dalam naungan sistem Islam. Itulah orang-orang yang sudah berazam mendarmabaktikan jiwa raga dan hartanya untuk mewujudkan janji Allah berupa kembalinya Khilafah Rasyidah yang kedua, yang akan akan mengembalikan umat pada kemuliaannya.
Semoga di antara mereka itu adalah kita. Semoga pula, melalui tangan-tangan kitalah, masa kemenangan itu tiba. Wallahu a’lam.[]
Comment