Sekolah dan Bullying, Inilah Solusi Tuntas

Opini331 Views

 

Penulis : Rezky Diah Permatasari S.Pd | Guru Bimbingan dan Konseling |
Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Media social X tengah dihebohkan dengan kasus bullying (perundungan) di sekolah internasional, Serpong Tangerang Selatan. Menurut informasi yang beredar, korban mendapat kekerasan dari siswa-siswa senior di sekolah tersebut hingga harus mendapat perawatan di rumah sakit. Berita tersebut menjadi semakin viral karena salah satu pelaku diduga anak dari seorang artis terkenal.

Menurut American Psychological Association, bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif dimana seseorang / sekelompok orang dengan sengaja dan berulang melakukan intimidasi yang menyebabkan orang lain cedera atau ketidaknyamanan.

Bullying dapat berupa kontak fisik, kata-kata, atau tindakan yang lebih halus. Korban mengalami kesulitan membela dirinya sendiri dan tidak berdaya “menghentikan” intimidasi.

KPAI mencatat ada kenaikan signifikan kasus bullying di tahun 2022 yakni sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. Survei Mendikbudristek memperkuat hal ini. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% kasus bullying di lingkungan sekolah.

Artinya, sekolah sudah menjadi tempat maraknya bullying! . Mengapa hal ini terus berulang? Di mana letak masalah utamanya? Padahal, perangkat kebijakan pendidikan terus berusaha mengatasi maraknya bullying di sekolah.

Pertama, kasus ini sebenarnya hanyalah sebagian dampak penerapan sistem kehidupan sekuler dengan prinsip sebisa mungkin Tuhan hanya diingat dan dibawa di tempat ibadah saja. Ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis sekularisme, individu yang dihasilkan adalah individu yang tidak takut Tuhan dan berperilaku sesuai kehendaknya. Sudah tidak mempertimbangkan pahala dan dosa.

Kedua, pola asuh pendidikan sekuler masih mewarnai pendidikan di keluarga. Kebebasan berekspresi dan berperilaku menjadi faktor anak-anak mudah mengakses tontonan berbau kekerasan. Beberapa kasus bullying pada siswa tersinyalir karena pelaku mengakses video-video kekerasan lewat ponsel.

Faktor kebebasan ini pula yang menjadi model bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mendapat banyak kemudahan dalam teknologi, tidak ada pengawasan, jadilah mereka mencontoh apa pun yang terakses melalui dunia digital dan media sosial.

Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualis makin mengikis kepedulian antar sesama. Masyarakat tumbuh menjadi manusia yang mudah kalap dan tersulut emosi, lalu saling membalas perilaku dengan kekerasan.

Terkadang, perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dianggap wajar dan sekadar perilaku normal bentuk dari bebasnya berekspresi. Jika model masyarakat seperti ini terus berjalan, anak-anak juga akan terinspirasi dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang.

Ketiga poin di atas menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah, orang tua, dan masyarakat dalam mencegah bullying agar tidak makin menjadi.

Bullying adalah penyakit sosial dari hasil peradaban sekuler. Bukan hanya marak terjadi di Indonesia, tetapi juga di sekolah-sekolah luar Indonesia. Sistem sekuler telah membawa generasi saat ini ke dalam jurang kerusakan yang sangat parah. Jika kita bercermin pada peradaban Islam, profil generasi yang dihasilkan sungguh sangat bertolak belakang.

Dalam sistem Islam, keimanan adalah landasan dasar dalam pendidikan. Tidak heran jika pada masa Islam tampil sebagai peradaban dunia, telah lahir banyak individu berkepribadian mulia, berakhlak karimah, dan unggul dalam ilmu dunia.

Setidaknya, ada empat faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut:

Pertama, keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku jahat dan sadis. Seseorang yang memahami Islam dengan benar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela. Ia menyadari konsekuensi sebagai hamba Allah yaitu menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Kedua, sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu berkepribadian dan berakhlak mulia secara komunal. Tatkala sistem pendidikannya baik, output generasi yang tercetak juga baik. Selain itu negara juga wajib menjalankan fungsinya mengontrol media dan informasi yang mudah diakses anak-anak. Tidak boleh ada konten berbau kekerasan yang bertebaran di media mana pun.

Ketiga, dengan landasan keimanan inilah, pola asuh orang tua dalam mendidik juga akan berubah. Suasana keimanan akan terbentuk dalam keluarga. Sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama, dan tidak mudah mencela orang lain.

Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berdasarkan Islam juga akan melahirkan masyarakat Islam yang bertakwa. Membangun masyarakat dengan budaya empati dan saling menasehati adalah hal yang dijunjung tinggi. Inilah yang akan menjadi karakter masyarakat yang berhati-hati dalam berucap dan bersikap, bukan bebas dan semaunya sendiri.

Maraknya kasus ini tidak akan selesai dengan seruan revolusi mental, pendidikan karakter, ataupun kampanye anti-bullying saja. Akar masalah perundungan ialah sistem kehidupan sekuler yang rusak dan merusak. Solusi tuntas adalah dengan mencambut akar masalah dan menggantinya dengan Islam secara komprehensif dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara.[]

Comment