Sebagai Induk Kejahatan, Jangan Pernah Melegalisasi Miras

Opini1241 Views

 

 

 

Oleh: Novita Darmawan Dewi*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seiring dengan legalisasi investasi miras (yang kemudian diralat dengan pembatalan Perpres) beberapa kasus terkait bahaya miras kembali terkuak. Salah satunya terjadi di Kabupaten Bandung. Tiga toko atau kios di Kecamatan Arjasari, digerebek polisi dan warga, kedapatan menjual minuman keras.

Hal tersebut terungkap setelah Kapolsek Pameungpeuk, AKP Ivan Taufik, beserta jajarannya bersama warga RT dan RW setempat melakukan operasi miras rutin. (18/2/2021).

Sebelumnya, Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken Jokowi tersebut memberi izin investasi pada industri minuman keras (miras) mengandung alkohol, minuman mengandung alkohol anggur, dan minuman mengandung malt.

Selang sehari Presiden kemudian mencabut aturan itu karena mendapat banyak masukan dari ulama dan ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

Pertanyaannya, dengan dicabutnya mengenai investasi miras, akankah bahaya dan peredaran miras akan hilang?

Lampiran Soal Miras Dicabut

Pencabutan lampiran III terkait investasi miras yang diatur dalam Perpres 10/2021 dinilai sebagai wujud sikap demokratis Presiden. Presiden dianggap memperhatikan aspirasi publik.

Padahal jika ditelisik lebih dalam, munculnya Perpres ini tidaklah tiba-tiba. Ia dilahirkan sebagai bentuk pengejawantahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Mengutip laman katadata.co.id (7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi melalui UU Cipta Kerja. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah minuman keras mengandung alkohol.

Omnibus law tersebut mengubah UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu poin yang diubah ialah Pasal 12 mengenai bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk investasi.

Pasal 12 ayat (1) UU Cipta Kerja menyebutkan, semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pasal 12 ayat (2) UU Cipta Kerja mengatur enam bidang yang tetap tertutup, yakni budi daya dan industri narkotika golongan I, segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino, dan penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Terbitnya Perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Penting dipahami oleh umat bahwa memangkas cabang aturan tapi tidak mencabut aturan induk, ibarat memotong rumput tanpa mencabut akarnya.

Jubir Presiden mengatakan tindak lanjut atas keputusan Presiden akan diumumkan dalam waktu dekat. Apakah ada aturan pengganti atau tidak? Yang jelas, publik mungkin akan terus mengawasi.

Dalam demokrasi, mengompromikan hukum mudah terjadi. Undang-undang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Satu hari diputuskan, lain waktu bisa direvisi sesuai pesanan.

Dalam sistem demokrasi, hukum agama tidaklah menjadi standar menetapkan UU. Pemikiran manusialah yang bebas menentukan aturan. Tak heran bila banyak muncul UU kontroversi yang menyalahi aturan Islam. Sebab, sistem demokrasi sekuler pada dasarnya tidak ingin agama mencampuri kehidupan. Halal/haram tidak akan diperhitungkan dalam pembuatan UU.

Itulah mengapa sangat wajar ketika ada aturan yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti legalisasi atau investasi miras. Sebab, prinsip bernegara dalam sistem demokrasi sekuler adalah profit oriented. Apa pun yang mendatangkan nilai manfaat dan keuntungan, meski haram sekalipun, mereka halalkan dengan segala cara.

Jadi, jika menginginkan peredaran miras terhenti, bukan hanya bersuka cita atas pencabutan lampirannya atau membatalkan UU Cipta Kerja-nya. Namun, lebih dari itu, haruslah mencabut akar masalah terciptanya UU yang bertentangan dengan syariat Islam.

Legislasi Hukum dalam Islam

Ada perbedaan mendasar mengapa sistem demokrasi bertentangan dengan Islam. Salah satunya ialah kedaulatan dalam menetapkan UU.

Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Asy-Syari’, Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt.. Manusia tidak berhak membuat aturan sendiri. Hukum yang diterapkan haruslah berdasarkan syariat Islam. Manusia hanya pelaksana hukum Allah.

Oleh karenanya, dalam negara islam hukum yang dilegalisasi hanya yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas. Tidak ada kompromi hukum. Tidak ada pula perundingan dalam membuat hukum sebagaimana dalam lembaga legislatif demokrasi.

Dengan menjadikan aturan Allah sebagai standar hukum yang baku, tidak akan ada peluang bagi manusia mengubah ketetapan Allah menurut kehendak dan kepentingannya saja.

Kompromi atau jual beli hukum mustahil terjadi. Allah Swt. berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.”(QS Yusuf: 40).

Legislasi hukum Islam dalam bermasyarakat dan bernegara tentu  tidak akan berjalan sempurna jika sistem yang diterapkan masih sekuler menhikuti alur hukum kapitalistik. Di dalam sistem sekuler, selalu ada peluang bagi lahirnya UU-UU lain yang bertentangan dengan syariat Islam.

Sekularisme Pangkal Masalah dan  Islam Sebagai solusi

Meski lampiran tentang investasi miras pada Perpres 10/2021 dicabut, bukan berarti peredaran miras akan surut, karena sistem sekulerlah pangkal masalahnya. Selama sistem ini tegak, jangan banyak berharap bahwa segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran akan berkurang atau hilang.

Dengan sifat dasar manusia yang relatif berubah-ubah, maka tidak akan mungkin aturan manusia memberi solusi bagi umat manusia.

Sementara hukum Allah di dalam Al-Qur’an tidak pernah akan berubah dan dari Al-Qur’an bisa digali hukum-hukum untuk menyelesaikan problem manusia sepanjang zaman.

Hanya dengan implementasi syariat Islam secara kaffah, barulah segala kemaksiatan bisa dihilangkan. Hanya dengan hukum Allah, semua kemungkaran bisa dienyahkan hingga ke akarnya.

Adakah yang lebih layak memberi aturan selain Allah? Allah Swt. berfirman yang artinya, “…..Maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” Wallahu’alam.[]

*Pegiat Komunitas Ibu Ideologis Tas Bude, Bandung

____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment