Sadis, PPN Tetap Naik Saat Kondisi Ekonomi Menukik

Opini26 Views

 

Penulis: Yuni Damayanti | Pemerhati Sosial

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tariff ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi perpajakan (UUHPP).

Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600VA.

Untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen tersebut, pemerintah mengungkapkan sejumla dalih. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara, Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri,. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.

Tak pelak, keputusan pemerintah ini mendapatkan penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Bahkan muncul satu petisi yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN di laman change.org. Alasan membuat petisi ini karena krbijakan ini hanya akan membuat hidup masyarakat semakin sulit di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu (tirto.id, 21/12/2024).

Kado pahit lain yang disipkan pemerintah di tahun 2025 adalah tambahan pajak (opsen) untuk kendaraan bermotor. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), opsen akan mulai berlaku efektif pada 5 Januari 2025, hanya berselang empat hari dari masa berlaku efektif PPN 12 persen, (tirto.id, 23/12/2024).

Kenaikan PPN tetap diberlakukan. Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak terelakkan.

Kebijakan menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang pasang surut seperti ini jelas akan menambah tumpukan masalah ekonomi yang memiliki efek domino. Meski bahan pokok terbebas dari kenaikan PPN 12%, efek dominonya akan berimbas kepada  masyarakat yang cenderung menaikkan harga bahan pokok untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran akibat kenaikan PPN ini.

Selain itu kenaikan PPN 12% juga akan mendorong turunya daya beli dan konsumsi masyarakat. Ketika pendapatan tetap, lalu pengeluaran bertambah, masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran dan menahan uang mereka. Jika kondisi ini terus terjadi, pendapatan para produsen, penjual, atau pedagang juga akan menurun.

Menaikkan PPN 12% lalu memunculkan solusi bansos serta subsidi di tengah penolakan rakyat bisa disebut sebagai kebijakan populis otoriter, yakni kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah-olah berpihak kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elite pemerintah. Namun kebijakan tersebut sebenarnya justru mengakomodasi kepentingan para elite, terutama kaum pemodal (kapitalis) yang jumlahnya sedikit.

Seperti inilah konsekuensi sistem kapitalisme, di mana pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara sehingga penguasa terus memburu rakyat dengan berbagai pungutan. Salah satu bukti pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara adalah peningkatan pemasukan pajak yang sangat signifikan dari taun ke tahun.

BPS melaporkan bahwa penerimaan pajak mencapai 82,4% dari total penerimaan. Pada tahun 2023, pendapatan negara sebesar Rp2.634 triliun. Tahun 2024 menjadi tahun dengan penerimaan negara paling tinggi sepanjang sejarah karena diperkirakan mencapai Rp2.802,3 triliun.

Mengutip dari laman Kemenkeu (9-11-2024), hingga 31 oktober 2024 pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. Bisa terbayang jika nilai PPN 12% benar-benar terealisasi, jelas penerimaan negara akan meningkat tajam. Sejatinya pajak adalah upaya penarikan dana masyarakat secara paksa dengan dukungan undang undang dan atau kebijakan pemerintah.

Bagaimana sosok pemimpin dalam kacamata Islam?

Seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. menggunakan kata “raa’in” (pengembala). Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya. Pengembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya.

Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.

Selain itu, pemimpin dalam Islam digambarkan sebagai perisai. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Selain itu, kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah taala.

Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tetap terjaga.

Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurusi rakyat ini akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Rasulullah saw menegaskan dalam sebuah hadits:

“Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).

Hal penting lainnya yang harus dipahami adalah bahwa kepemimpinan atau kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Swt dan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam Islam, rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.

Untuk sekedar memahami dan peduli dengan beban ekonomi yang ditanggung rakyat saja – penguasa dalam sistem kapitalisme sekuler, belum melakukannya secara empathi dan sungguh-sungguh. Apakah lagi dengan  kebijakan kenaikan PPN 12% dinaikkan saat kondisi ekonomi sedang lemah.

Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam konsep ekonomi Islam, pajak bukanlah merupakan pos pendapatan utama sebuah negara. Pajak (dharibah) hanyalah pos darurat yang dipungut oleh negara kepada warga negara tertentu jika keuangan negara dalam kondisi kritis. Dalam Islam, negara memiliki banyak sumber pemasukan.

Pos pendapatan pertama, fa’i dan kharaj. Mencakup bidang (ghonimah, fai dan khumus) bidang kharaj, bidang status tanah, bidang jizyah, bidang fa’i dan bidang dharibah (pajak).

Pos pendapatan kedua, bidang pemilikan umum meliputi, migas, listrik, pertambangan, laut, sungai,perairan dan mata air, hutan dan padang rumput, dan asset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.

Pos ketiga, bagian (bidang) sedekah, meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan zakat pertenakan.

Pemimpin negara mengoptimalkan pengolahan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainya. Dari semua pos pemasukan itu negara mendapat pemasukan besar sehingga tidak perlu menarik pajak.

Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidential, tidak terus menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara kosong sementara ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.

Oleh karena itu, pajak tidak menjadi sumber utama pendapatan negara sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini.[]

Comment