Saat Keluarga Menjadi Sarang Kekerasan, Kemana Tempat Anak Pulang

Opini266 Views

 

Penulis: Eka Purwaningsih, S.Pd | Pegiat Literasi, Aktivis Muslimah

 

RADARINDONEDIANEWS.COM, JAKARTA– Dilansir dari
kompas.com, Muhamad Rauf (13), warga Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat ditemukan tewas di saluran irigasi atau sungai di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023).

Di laman berita tersebut dikabarkan bahwa Rauf tinggal luntang-lantung di jalanan semenjak ayah dan Ibunya bercerai, jarang pulang ke rumah dan untuk makan Rauf meminta belas kasihan orang bahkan mencuri.

Malam itu Rauf pulang ke rumah lewat atap dan kepergok oleh kakeknya kemudian Rauf memukul kakeknya dan dibalas pukulan di kepala oleh sang kakek dengan gergaji, kakek memanggil Nurhani (ibu kandung Rauf), Nurhani datang dan langsung membanting Rauf.

Nurhani menelepon paman Rauf yang kemudian datang dan mengikat tangan Rauf kebelakang. Setelah itu sambil berlumuran darah, Rauf dibonceng Nurhani dengan motor pinjaman tetangga, di sumpal mulutnya dengan boneka milik adiknya dan di buang begitu saja di saluran irigasi.

Kondisi Rauf pada saat itu masih hidup, dan Nurhani sendiri masih bisa mendengar Rauf berkata “Maa sakit ma”. Sebelum kemudian meninggalkan Rauf.

Di usia 13 tahun memang idealnya anak sudah aqil baligh dan bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk. Namun Luka masa kecil, luka pengasuhan akibat perceraian orang tua akan berpengaruh besar terhadap aqilnya anak. Tak heran jika akhirnya Rauf memilih untuk tinggal di jalanan, walau itupun tidak lebih baik.

Sebetulnya sudah banyak regulasi yang dicanangkan pemerintah untuk mencegah dan mengurangi terjadinya tindak kekerasan, namun regulasi tak berdaya karena dalam sistem kapitalisme-sekuler seperti saat ini tidak ada dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya atmosfer keluarga sakinah mawadah warahmah.

Untuk menundukkan pandangan saja begitu sulit karena saat ini, menutup aurat diserahkan kepada masing-masing individu. Belum lagi tontonan dan sistem pergaulan yang bebas, membuat seseorang yang ilmu agamanya baik sekalipun bisa menjadi goyah. Himpitan ekonomi pun mau tidak mau membuat kondisi emosional tidak stabil dan mudah terpancing dan marah.

Maraknya Kekerasan yang terjadi, sebagian besar dipicu oleh kemiskinan dan perselingkuhan. Ini menjadi bukti bahwa tidak adanya supporting sistem dari negara.

Untuk menuntaskan masalah Kekerasan terutama dalam keluarga, tidak cukup hanya dengan speak-up. Tapi juga harus ada kerjasama dari berbagai pihak terutama negara – agar tatanan kehidupan kondusif dan menjadi benteng kuat menghalau kekerasan.

Kalaulah kemiskinan menjadi pemicu maka harus ada sistem ekonomi yang kuat, yaitu sistem ekonomi Islam yang membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu, umum dan negara. Sehingga apapun yang menjadi kepemilikan umum tidak bisa dikuasai oleh segelintir orang. Sumbernya di kelola sebaik mungkin oleh negara dan hasilnya untuk seluruh rakyat.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam.

Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi.

Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.

Sistem pergaulan dalam Islam juga akan menjaga tiga pilar utama yaitu keshalihan individu, masyarakat yang saling amar ma’ruf dan negara yang menerapkan aturan-aturan syari’at, hingga terbentuk suporting sistem untuk menghalau dan menutup celah pemicu terjadinya Kekerasan terutama dalam keluarga.

Dengan begitu akan tercipta atmosfer yang menjadikan tiap keluarga  sakinnah, mawwadah warohmah dan menjadi tempat ternyaman bagi anak untuk pulang karena Allah ridho dengannya. Wallahu’allam bishawwab.[]

Comment