Roy Wijaya: Menggali Sinema Indonesia Yang Pernah Dikebiri

Berita659 Views
Roy Wijaya,Sutradara Rumah Media Film .[Dok/pribadi]

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Persatuan Karyawan Film dan Televisi didirikan oleh sekelompok kecil karyawan film dan televisi, di ruang belakang Gedung Pola. Keadaan jauh berbeda dari sekarang, tubuh orang-orang film ini umumnya lebih kurus dari sekarang dan mereka berkeliaran jalan kaki, atau paling tinggi naik beca atau bus, karena hampir tidak ada karyawan film yang memiliki mobil.

Orang-orang kurus ini setiap saat berada dalam keadaan tegang. Garis-garis pemisah antara golongan komunis dan anti-komunis makin jelas. Di masa itu tidak ada seminar- seminar dan istilah-istilah seperti diskusi panel, moderator dan sebagainya masih merupakan hal-hal yang baru sekarang dikenal. 
Tetapi pertukaran fikiran berlangsung dimana-mana dan halaman-halaman koran merupakan medan polemik yang hangat. Kala itu perfilman Indonesia berada dititiknya yang terendah. Laju inflasi yang tidak terkendalikan membuat usaha membuat film hampir dapat diibaratkan dengan usaha seorang pedagang paku. 
Dagangannya laku. Barang dapat dijual dengan harga menguntungkan. Tapi dalam kenyataannya setelah beberapa waktu berlangsung modal yang tersisa menjadi tidak lebih dari seharga sebatang paku yang dapat ia pakai jika ia ingin menggantung diri.
Saya tidak ingat lagi berapa honorarium yang diterima seorang sutradara, pengarang skenario atau karyawan lainnya pada masa itu, tapi jika dibandingkan dengan harga yang berlaku diwaktu itu, maka jumlah itu sebetulnya tidak lebih dari sekedar hiburan tambahan untuk kepuasan bathin yang menjadi tujuan pokok dalam membuat film. 
Film-film yang dihasilkan betul-betul hitam putih, dengan pengertian, bebas sama sekali dari nuansa-nuansa yang membuat sebuah film hitam putih jadi begitu indah dan puitis, keindahan yang misainya dapat kila lihat pada film hitam-putih Ingmar Bergman. 
Dialog hanya bisa didengar di bioskop-bioskop kelas satu, sedangkan dipedalaman yang tersisa hanya bunyi kebisingan yang menyakitkan telinga. Keadaan film Indonesia begitu parah hingga waktu itu dikalangan pembuat film telah muncul fikiran-fikiran untuk melengkapi film Indonesia dengan sub-titles supaya jalan cerita masih bisa dimengerti penonton di daerah. 
Kegagalan dalam bidang reproduksi suara ini merupakan salah sa-tu pendorong bagi film Indonesia untuk mempergunakan sistem after recording dan meninggalkan praktek rekaman langsung. Dan begitu ia bebas dari “karangkeng” suara maka ia juga jadi bebas meninggalkan studio dan memanfaatkan latar-belakang kenyataan yang sebenarnya, suatu hal yang merupakan kemajuan. 
Tapi karena ia didorong keluar studio tanpa motifasi yang jelas, maka kepindahan ini tidak menambah kadar realisme dalam film Indonesia. Sebaliknya, kebiasaan ini membuat film Indonesia lebih membosankan dilihat dari sudut nilai visual. Tapi setidak-tidaknya satu hal bisa di atasi. Jika sebelumnya dalam film Indonesia tidak ada pintu yang bisa dibuka tanpa mengakibatkan “gempa” seluruh rumah, kini pintu sudah terasa sebagai pintu sebenarnya.
Perjuangan film Indonesia masih berada pada tahap mengatasi tantangan teknis yang paling mendasar. Sementara itu ia disaingi tidak saja oleh film-film Amerika dan Eropa, tapi saingan yang lebih berat datang dari film India dan film yang berasal dari semenanjung Melayu (waktu itu belum ada Malaysia) yang disebut film Melayu. 
Ditengah-tengah film Asia Tenggara kwalitas film Indonesia dapat dibayangkan berdasarkan sebuah percakapan kecil yang berlangsung antara almarhum Usmar Ismail dengan seorang produser Filipina. Produser Filipina itu ingin supaya Indonesia lebih banyak membeli film Filipina. 
Oleh karena itu wajarlah menurut pemikiran Usmar supaya Filipina juga membeli film Indonesia. Saya masih ingat bagaimana menggigilnya Usmar mendengar jawab orang Filipina itu. la berkata: “Your films area below standard”.
Sementara itu pertentangan politik makin tajam. Karena kekuasaan hampir seluruhnya terpusat ditangan Pemimpin Besar Revolusi, maka politik kehilangan gerak. Maka sebagaimana wajarnya, di mana kebebasan berpolitik ditekan, maka politik beralih kebidang kebudayaan.
Pertempuran yang berlangsung dibidang kesenian, pertempuran yang berdasarkan pendirian politik kala itu lebih sengit disektor sastra, seni rupa dan film dari pada perdebatan dalam parlemen yang kala itu disebut DPR-GR dan sudah kehilangan fungsi sebenarnya sebagai sebuah dewan perwakilan rakyat. 
Sebagai jawab atas kegarangan LEKRA, lembaga kebudayaan yang dikuasai orang komunis, maka partai-partai lain seperti PNI dan NIT juga mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan. PNI menamakan lembaga kebudayaannya sebagai Lembaga, Kebudayaan Nasional disingkat LKN dan NU menamakan lembaganya sebagau Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia disingkat LESBUMI. 
Dunia film terpecah menjadi tiga kelompok: kelompok komunis, kelompok anti-komunis yang dekat pada Lesbumi yang kala itu dipimpin oleh Usmar Ismail, Jamaludin Malik dan Asrul Sani dan kelompok “nasi bungkus” yaitu kelompok yang bersedia ikut siapa saja asal disediakan nasi bungkus.
Salah satu kekuatan komunis terletak pada pengaruh mereka ditingkat tinggi. Film “Impian Bukit Harapan” yang disutradarai oleh Wahyu Sihombing yang sudah lolos sensor, tiba-tiba harus ditarik dari peredaran karena tulisan Sibarani dalam koran Bintang Timur, menuntut supaya film itu dibakar karena menghina kaum buruh.
Sedangkan “buruh dan tani adalah soko guru revolusi”. Film “Di Belakang Pagar Kawat Berduri” yang disutradarai oleh Asrul Sani yang juga sudah lolos sensor kemudian harus disensor kembali oleh Presiden dengan enam menteri kabinet berdasarkan tuduhan anti-revolusi dan anti-ma-nipol.
Dalam bidang sastera mereka menyerang (isti-lahnya waktu itu adalah “mengganyang”) penandatangan manifes kebudayaan (yang mereka sebut manikebu) dan humanisme universal. Dalam bidang seni rupa mereka mencoba membungkam pelukis-pelukis abstrak. Mereka berhasil menggolkan tuntutan supaya koran-koran yang boleh terbit hanya koran-koran yang berafiliasi dengan salah sebuah partai yang diakui. Dalam bidang film mereka berusaha supaya yang diajak berunding dalam soal film hanya organisasi yang berafiliasi dengan salah sebuah partai. 
Dengan demikian PARFI yang dilahirkan dari perjuangan menentang dominasi film India dipojokkan dengan tuduhan, bahwa Parfi adalah organisasi “gurem” karena tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik. Tapi Lesbumi memberikan jaminan sehingga mereka tidak bisa menyingkirkan Parfi yang mula-mula mereka coba kuasai, tapi tidak berhasil. Mula-mula karyawan film atau sebagian karyawan fihn bergabung dalam Parfi, tapi Parfi terutama adalah organisasi artis. 
Sedangkan kepentingan karyawan film tidak selalu sejalan dengan artis. Pimpinannya peka sekali terhadap masalah politik dan hal- hal yang menimpa artis. Saya masih ingat bagaimana almarhum Suryo Sumanto, ketua Parfi mengucurkan air mata waktu orang melaporkan padanya bahwa artis-artis wanita tertentu telah menjadi wanita panggilan dan piaraan.
Partai Komunis meneriakkan “politik adalah panglima” dan penguasaan politik terhadap dunia kesenian, setidak-tidaknya ya terhadap badan-badan yang bergerak dalam bidang kesenian hampir-hampir berhasil sudah. Sebagian seniman yang lugu mengira, bahwa jika mereka tidak menyerang orang Komunis, maka orang Komunis akan membiarkan mereka berkarya. Tapi sebagian lagi berpendapat, bahwa satu- satunya cara untuk menyelamatkan dunia kesenian dari dominasi orang politik, ialah dengan jalan memasuki dunia politik itu sendiri. Para seniman harus keluar dari sarang mereka dan menjadi orang politik. (*)

Dikutip Dari Catatan Kelam Sutradara Senior Asrul Sani.[]

Comment