Rosmiati, S.Si: Tsunami Selat Sunda, Bumi Porak-poranda

Berita450 Views
 Rosmiati, S.Si
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menjelang akhir tahun 2018 bangsa ini kembali berduka. Untuk kesekian kalinya bencana alam menghampiri negeri ini menghantam tanpa ampun dari arah barat hingga timur Indonesia. Belum kering air mata saudara-saudara di Lombok dan Palu, kini duka kembali menerpa masyarakat yang bernaung di pesisir pantai selat Sunda. Sabtu 22 Desember 2018 menjadi moment yang tentu tidak akan bisa dilupakan oleh masyarakat pesisir Banten dan Lampung Selatan. Tsunami yang datang dengan tiba-tiba, sepi dari peringatan itu membuat masyarakat kelabakan alhasil banyak korban dan beberapa orang hilang. 
Tsunami merupakan salah satu fenomena alam yang tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Peristiwa gelombang tinggi yang menghantam pesisir pantai selat Sunda beberapa hari lalu pun disinyalir bahwa itu akibat erupsi gunung anak Krakatau yang sejak Juni aktif. Namun, yang disayangkan dari tragedi ini ialah minimnya peringatan yang diberikan oleh instansi terkait. 
Minimnya peringatan ini pun menarik perhatian para imuwan dunia bagaimana tidak negeri ini berulang dilanda bencana gempa bumi maupun tsunami. Namun mitigas bencana masih sangat minim dilakukan. Sebagaimana dilansir melalui media Republika.Co.Id, bahwa NBCnews dalam laporannya mengungkapkan “mengapa tsunami menerjang Indonesia tanpa peringatan”. 
Costas Synolaksi (Direktur pusat penelitian tsunami Universitas Calofornia Selatan). Ia mengatakan bahwa tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Banten dan Lampung Selatan bukanlah diakibatkan oleh aktivitas tektonik atau gempa bumi. Namun, akibat aktivitas vulkanik dari gunung anak Krakatau yang telah aktif sejak Juni. Beliau juga menuturkan bahwa tsunami selalu didahului oleh aktivitas seismic yang memungkinkan untuk dilakukan beberapa peringatan. (Republika 27/12/18). Beliau pun sangat menyayangkan hal ini. 
Selain Costas, Profesor Emiritus ilmuan bumi di Universitas Northwestern, Emile Okal, mengungkapkan gunung berapi adalah sesuatu yang terus hidup dan secara geologis tidak dalam kondisi stabil sampai kapan pun. Gelombang pun sangat mungkin terjadi jika gunung berada dibawah air. Dengan berani Emile Okal mengatakan untuk mendeteksi tsunami dengan benar Indonesia harus menghabiskan uang sekitar satu miliar dolar untuk teknologi dan tenaga sepanjang waktu di sepanjang wilayah pesisirnya. Bahkan dengan usaha demikian itu bukan jaminan bahwa peringatan akan datang pada waktunya (Republika 27/12/18). 
Tentu ini sangat disayangkan. Padahal perihal mitigasi bencana juga merupakan amanat UUD yang termaktub dalam UU No 24 tahun 2007 pada pasal 1 di sana jelas dikatakan bahwa mitigasi ialah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Akibat tidak terealisasinya perkara ini dengan baik menjadi salah satu penyebab tingginya angka korban jiwa dalam setiap tragedi. Kendati hal ini memang sudah ajal dan takdir dari masing-masing individu. Namun, ditengah modernisasi zaman dibarengi dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mitigasi bencana harusnya ditingkatkan. Terlebih lagi negeri ini berada pada zona merah dalam hal bencana gempa dan tsunami. Rangkaian lempeng tektonik (sesar) serta gunung api aktif bawa lautnya membuat bangsa ini kapan saja bisa dilanda bencana.
Jika mengutip kata-kata dari Prof. Emile Okal sebelumnya. Pemerintah harusnya berani menggelontorkan dananya untuk melengkapi kekurangan alat dalam penanganan tsunami ini. Sebab begitulah tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya. Mengurus seluruh kebutuhan warganya. Ditambah lagi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami sangat potensional akan terjadi di negeri ini. “Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya (HR.Muslim).”
Maka harusnya perhatian penguasa dalam perkara penanggulangan bencana tidak boleh luput dari agenda atau program kerjanya. Pemimpin wajib untuk memberikan rasa aman serta perlindungan bagi setiap rakyatnya. Terlebih lagi menyangkut hajat hidup orang banyak seperti perihal mitigasi bencana yang mana adalah harus dipenuhi dan diadakan. 
Bukankah kita punya hasil alam yang melimpah. Harusnya ini mampu dikelola dengan baik agar hasilnya bisa menghidupi dan memenuhi kebutuhan penting warga negara. Namun faktanya, limpahan barel minyak serta mineral alam lainnya di negeri ini belum mampu mensejaterahkan rakyat. Kapitalisme membuat rakyat pun kian miskin dan terkuras bak jatuh tertimpa tangga pula. Sudah hidup susah dengan penghasilan pas-pasan, dihimpit dengan berbagai tunjangan kehidupan, mahalnya biaya hidup, tempat berlindung (rumah) seadanya dihantam tsunami pula. Sungguh benar-benar nestapa tiada tepi kian melanda tanah air ini. 
Alam memang sewaktu-waktu akan murka dan marah hingga ia akan melululantahkan apa yang ada diatasnya. Sebagai insan beriman peristwa demi peritiwa yang mendera negeri ini darinya kita belajar. Bahwa mungkinkah kita sudah sangat jauh menepi dari syariat-Nya?. Hingga Dia pun memerintahkan lempengnya bergetar, lautnya bergelombang. Dalam Islam sebagaimana masa pemerintahan Umar Bin Al-khathab ra, ketika gempa terjadi sang Amirul Mukminin pun menyeru ummat untuk segera bertobat dikhawatirkan telah merajalela kemaksiatan di tengah-tengah kehidupan mereka. 
Iya. Kendati jika ditakar dalam pandangan ilmu pengetahuan, tsunami memang gejalah alam yang jelas penyebabnya bahwa di sana ada aktivitas dari berbagai komponen bumi. Namun jika dilihat dari sudut pandang keimanan tragedi itu ialah bentuk teguran Allah Swt kepada setiap insan manusia. 
Dalam sebuah hadist Qudsi pun digambarkan bahwa dalam sehari air laut tiga kali meminta izin kepada Allah Swt untuk menghabiskan seluruh manusia di muka bumi akibat menjamurnya kemaksiatan yang manusia lakukan. Namun, Allah Swt menjawab jangan dulu. “Ya Allah izinkanlah saya menghabiskan mereka”. Kata air laut. Allah Swt menjawab, “jangan dulu, diantara mereka masih ada hamba-hamba-Ku yang masih beriman.” Kendati demikian Allah Swt pun kadang mengizinkan air laut untuk menghabiskan manusia. Tetapi Allah Swt memerintahkan untuk tidak menghabiskan semuanya. Agar sebagian jadi korban yang selamat pun akhirnya sadar dan bergegas untuk bertobat. Wallahu a’lam.[]

Comment