Risnawati*: Tidak Ada Istilah 100 Hari Kerja Dalam Islam

Opini629 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah memasuki 100 hari, sejak dilantik pada 20 Oktober 2019.

Walaupun sebenarnya Presiden bernama lengkap Joko Widodo itu telah menegaskan, di periode keduanya memimpin kali ini, dia tidak memasang target 100 hari kerja.

“Kan sudah saya sampaikan sejak awal tidak ada 100 hari. Karena ini keberlanjutan dari periode pertama ke kedua. Ini terus ini. Nggak ada ini berhenti terus mulai lagi. Nggak ada,” kata Jokowi di Tangerang, Kamis (30/1/2020).

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 telah memasuki 100 hari kerja,

Hal itu terhitung sejak presiden  melantik para menteri pada 23 Oktober 2019. Sejumlah catatan penting pun telah mewarnai perjalanan pemerintahan Jokowi dalam 100 hari kerja.

Sebagian kebijakan sarat akan gebrakan. Namun, sebagian lainnya juga dipenuhi kontroversi.

Analis Politik Gun Gun Heryanto menyebutkan hasil 100 hari kerja pemerintahan ini baru dapat dijadikan sebagai indikasi untuk melihat tendensi arah pemerintahan.

Analis Politik Gun Gun Heryanto menuturkan, dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, terdapat sejumlah hal yang patut dikritisi, terutama terkait wilayah penegakan hukum.  (Tangkapan layar channel Youtube Kompas TV).

Menurutnya, masih terlalu prematur untuk menyimpulkan apakah pemerintahan ini akan berhasil atau tidak. Kendati demikian, Gun Gun menuturkan, dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi, terdapat sejumlah hal yang patut dikritisi. Dalam hal ini, Gun Gun pun menyoroti wilayah penegakan hukum.

“Banyak hal yang patut dikritisi, terutama menurut saya di wilayah penegakan hukum,” kata Gun Gun dalam wawancaranya di ‘Sapa Indonesia Pagi’ yang diunggah kanal Youtube Kompas TV, Rabu (28/1/2020).

Jika kita mendapati pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, dan adil tentukita bersyukur dan rakyatnya pasti beruntung.

Namun sebaliknya, bila pemimpin kita gemar korupsi, pencitraan, dzalim dan tidak mengayomi rakyat berarti kita berada dalam kerugiaan.

Sebagaimana dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini yang telah terbukti melahirkan para pemimpin yang rela tunduk pada kepentingan korporasi, bahkan tunduk pada  kekuatan asing. Ini dikarenakan, kekuasaan dalam sistem politik demokrasi memang sangat bertumpu pada kekuatan modal.

Sehingga, model pemilihan penguasa yang berbiaya tinggi ini bertemu dengan kepentingan korporasi atau pihak asing yang memang membutuhkan suasana kondusif untuk berinvestasi yang hakekatnya merupakan jalan penjarahan atas kekayaan milik rakyat secara legal.

Lalu, pertanyaannya adakah model kepemimpinan yang dapat memberi yang terbaik kepada rakyatnya, bukan hanya dalam 100 hari, bahkan selamanya ? Ada, Kepemimpinan Islam jawabannya. Model kepemimpinan Islam memang takkan pernah ditemukan dalam model kepemimpinan manapun.

Apalagi dalam sistem sekuler demokrasi yang minus dari dimensi ruhiyah, yang mencampakkan peran Allah SWT dalam pengaturan kehidupan.

Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

Berbeda dengan kepemimpinan dalam demokrasi. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan kekuasaan. Kepemimpinan adalah tanggung jawab, bukan kesewenang-wenangan.

Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [QS.al-Baqarah:30].

Allah SWT telah mewajibkan pemimpin untuk memerintah rakyat hanya dengan syariah-Nya saja. Allah SWT mengharamkan pemimpin untuk menerapkan hukum-hukum kufur atau yang berasal dari luar Islam.

Allah SWT mensifati orang yang tidak berhukum dengan syariah-Nya sebagai kafir (QS al-Maidah: 44), zalim (QS al-Maidah: 45) atau fasik (QS al-Maidah: 47).

Islam melarang kaum Muslim, termasuk pemimpin mereka, untuk mencari dan mengambil dari selain Islam atau mendatangkan sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam Islam.

Semua itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Karena itu dengan tegas Allah memerintah kita untuk menghukumi masyarakat dengan hukum Islam dan tidak mengikuti hawa nafsu manusia atau rakyat. Allah SWT berfirman:

“Karena itu hukumilah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu.”(TQS al-Maidah [5]: 48).

Sistem kepemimpinan Islam juga yakni Khilafah justru memiliki mekanisme yang membuat kepemimpinan tak menjadi sesuatu yang menggiurkan. Bahkan justru menakutkan.

Bagaimana tidak? Hadis-hadis berikut barangkali bisa menjawab mengapa dalam Islam, kepemimpinan tak dianggap istimewa sehingga orang-orang tak berlomba-lomba meraihnya sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Rasulullah Saw bersabda : “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi).

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani).

Dengan demikian, betapa berat tanggungjawab kepemimpinan dalam pandangan Islam. Karena apa yang dilakukan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya akan berimplikasi pada kehidupannya di akhirat kelak. 

Dengan demikian, kepemimpinan hakiki berangkat dari pemahaman kewajiban atas pelayanan dan tanggung jawab atas tindakan.

Bukan hanya dipertanggungjawabkan dihadapan pemilu atau Pilpres ataupun pilkada dan  bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.

Maka kita dapati Umar bin Abdul Aziz merupakan pemimpin yang takut kepada Allah. Saking takutnya terhadap Sang Maha Khaliq, dia senantiasa menitikan air mata disepanjang harinya.

Beliau mengkhawatirkan tentang kepemimpinannya. Beliau khawatir, jika ada sebagian dari rakyatnya yang merasakan ketidakadilan karena kepemimpinannya. Umar bin Abdul Aziz berdiri di atas mimbar di hari Jumat. Ia kemudian menangis.

Ia telah dibaiat umat Islam sebagai pemimpin. Di sekelilingnya terdapat para pemimpin, menteri, ulama, penyair dan panglima pasukan. Ia berkata, “Cabutlah pembaiatan kalian!” Mereka menjawab, “Kami tidak menginginkan selain Anda!” Ia kemudian memangku jabatan itu, sedang ia sendiri membencinya.

Begitu pula Umar bin Khatab yang berjalan dikegelapan malam, memeriksa seluruh rakyatnya untuk memastikan tidak ada lagi hak rakyat terhadap penguasa yang terabaikan.

Kita ketahui, bagaimana beliau yang mulia dengan punggungnya sendiri memanggul gandum dan dengan tangannya sendiri memasak untuk melayani seorang wanita dan anaknya yang kelaparan, warga negaranya, tanpa menyebutkan diri beliau seorang Amirul Mukminin dihadapan wanita itu.

Memimpin bukan memainkan citra dan mempertahankan citra agar tetap langgeng di kursi kekuasaan. Melayani rakyat bukan untuk memperoleh simpati, yang dengannya dijadikan saham untuk mempertahankan kekuasaan.

Memimpin adalah melayani rakyat karena Allah SWT, dimana setiap hak yang ditunaikan, setiap kewajiban yang diselenggarakan, setiap sanksi yang diputuskan, setiap kebijakan yang dikeluarkan, semuanya semata-mata karena mengharap Ridho Allah SWT.

Walhasil, ketika pemimpin suatu negeri telah mendahulukan rasa takut kepada Allah SWT, maka disaat yang bersamaan, dia pun akan selalu berusaha memenuhi amanahnya kepada rakyat yang dipimpinnya, terlebih lagi janji kepada Allah SWT.

Inilah yang terjadi pada masa kepemimpinan Islam, rakyatnya tidak merasakan kelaparan, negerinya makmur, semua berkat ketaatan pemimpin, dan ketundukan rakyatnya terhadap aturan Allah SWT.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…(Al A’raaf : 96). Wallahu a’lam.[]

*Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah

Comment