Risnawati*: Teror Tenaga Kerja Honorer Semakin Horor

Opini651 Views

RADARINDONESIAMEWS.COM, JAKARTA – Indonesia di tahun 2020, dunia ketenagakerjaan masih buram, kelam dan suram.  Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menyatakan bahwa rezim Jokowi gagal mewujudkan tiga layak, yakni layak upah, layak kerja dan layak hidup bagi buruh. Rezim juga dinilai semakin menyulitkan posisi buruh dengan UU pengupahan dan pemagangan. UU pengupahan menghapuskan peran buruh dalam proses penetuan upah.

Sedangkan menurutnya, pemagangan memunculkan gelombang PHK akibat adanya tenaga kerja magang yang siap bekerja di bawah upah minimum regional (UMR).

Saat ini, pemerintah dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat sepakat akan secara bertahap menghapus tenaga kerja honorer. Dengan begitu, instansi pemerintah hanya diisi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK).

Hal tersebut adalah hasil rapat dengar pendapat antara anggota dewan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Badan Kepegawaian Nasional di Kompleks Parlemen, Senin, 20 Januari 2020.

Dilansir iNews.id, penghapusan tenaga honorer di Kementerian dan  Lembaga (K/L) maupun Pemerintah Daerah (Pemda) akan dilakukan bertahap.

Adapun masa transisi akan dilakukan lima tahun hingga 2023.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kemenpan-RB) Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, masa transisi tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Dalam pasal 99 beleid tersebut, diatur pegawai non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja pada instansi pemerintah dan lembaga nonstruktural masih dapat melaksanakan tugas paling lama lima tahun.

Setiawan menambahkan, selama masa transisi, para tenaga honorer juga dipersilakan untuk mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Ada transisi lima tahun, jadi diharapkan silahkan mereka (tenaga honorer) untuk mengikuti seleksi (CPNS dan PPPK) sesuai dengan prosedur yang ada,” ujar Setiawan dalam konferensi pers di Kantor KemenPAN-RB, Jakarta, Senin (27/1/2020).

Akar Masalah Ketenagakerjaan

Secara ideologis, sistem politik demokrasi secara konsisten menjanjikan kebebasan. Dengan problem ideologis ini, lahirlah akar masalah buruh yang belum mampu diselesaikan hingga saat ini, yakni: 

Pertama, negara gagal mensejahterakan rakyat secara umum. Negara adalah wadah resmi yang bertugas mensejahterakan rakyat termasuk buruh. Sebab negara hadir sebagai entitas yang diberikan mandat untuk menjadi pengelola seluruh sumber daya guna kemashlahatan. Negara juga mendapat legalitas yang dapat memaksa. Selain itu negara memiliki akses legal menggunakan unag negara untuk mensejahterakan rakyat termasuk buruh.

Kedua, negara gagal melahirkan kebijakan khusus buruh yang mensejahterakan. Dalam sistem Kapitalisme kebijakan negara tentu akan lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang buruh/pekerja. Terlihat kebijakan ekonomi rezim sekarang khususnya bidang ketenagakerjaan tidak mampu mengangkat kehidupan dan martabat buruh.

Kebijakan negara berupa sistem kontrak kerja perburuhan, pengupahan, dan sebagainya saat ini cenderung merugikan buruh.

Demikian juga outsorching bahkan memasukkan tenaga kerja asing menambah pilu nasib buruh dalam negeri. Selain itu juga terdapat pemagangan yang membuat perusahaan seenaknya bisa memecat karyawan yang memiliki gaji full karena mendapat suntikan tenaga magang yang rela dibayar jaug dari gaji biasa.

Ketiga, negara gagal mengontrol dan mengevaluasi kinerja perusahaan dan industri tempat buruh bekerja. Saat ini kontrol negara masih sangat lemah pada perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan buruh.

Bahkan terkesan ada pembiaran perusahan-perusahaan tersebut menghisap buruh tanpa memperhatikan faktor kesejateraan, kemanusiaan dan akhlak mereka.

Dengan demikian, ketiga kegagalan tersebut menghantarkan buruh menjadi korban yang kesekian kalinya dari penerapan sistem kapitalisme di Indonesia, juga Dunia. Perlu adanya revisi yang bersifat ideologis untuk mengatasi hal tersebut, yakni kembali kepada Islam.

Dalam Islam negaralah yang mensejahterakan tenaga kerja atau buruh. Artinya, Buruh tidak menggantungkan kesejahteraanya hanya kepada gaji dan pendapatannya semata.

Kebutuhan pokok buruh tidak hanya dipenuhi melalui mekanisme pasar semata, melainkan dijamin oleh negara. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang lain.

Kebijakan Ketenagakerjaan Dalam Islam

Paradigma Islam tentang buruh adalah yang melindungi bukan mengeksploitasi. Tidak seperti sistem kapitalisme yang menganggap bahwa buruh hanyalah bagian dari faktor produksi yang manajemen nya diserahkan kepada mekanisme ekonomi, sistem islam memandang buruh lebih utuh. Ia adalah komponen yang wajib ditunbuhkan keimanannya, dijaga seluruh kepemilikannya dan disediakan kelayakan kerja dan kelayakan upah sesuai dengan prinsip moral dan keadilan. Individu buruh dianggap sebagai makhluk yang mendapatkan kebaikan dari islam.

Ketenagakerjaan didalam islam (Ijaratul Ajir), yakni bekerja dalam rangka memberikan jasa (berupa tenaga maupun keahlian) kepada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah tertentu.

Ijarah adalah pemberian jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) kepada seorang musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemberian harta dari pihak musta’jir kepada seorang ajiir sebagai imbalan dari jasa yang diberikan. Oleh karena itu ijarah didefinisikan sebagai transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai imbalan (kompensasi).

Memenuhi syarat sahnya transaksi ijarah yakni: (a) orang-orang yang mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk. Sehingga tidak sah melakukan transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz seperti anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental, orang gila, dan lain sebagainya; (b) Transaksi (akad) harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan.
Rasulullah bersabda:’Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada Khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedang orang itu tidak memberikan upahnya (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Pemberian upah dalam Islam sangat manusiawi.

Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu peristiwa dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas). Totalnya 63,75 gram emas. Jadi kalaulah dianggap satu gram emas harganya sekitar Rp 600.000, berarti gaji guru, pengajar anak-anak, lebih kurang Rp. 38.250.000. (Bandingkan dengan gaji guru atau upah profesi lainnya sekarang).

Peradaban Islam telah memberikan tinta emas dalam perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai aspek.

Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat turut menjadi catatan gemilang ketika peradaban Islam tegak di muka bumi ini.

Peradaban Islam tersebut adalah masa di mana Islam menjadi pedoman dalam segala lini kehidupan rakyat dengan kesempurnaan aturan yang ada di dalamnya dan tegak dalam satu institusi politik Khilafah Islamiyyah.

Adapun beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam khilafah sehingga ada keterjaminan kesejahteraan bagi rakyat antara lain: Pertama.

Khilafah adalah sebuah sistem kenegaraan Islam yang menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.

Kedua. Islam mengatur ketika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial.

Maksudnya keluarga dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.

Ketiga, Khilafah melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah adalah pihak yang mendapatkan mandat untuk mengayomi dan menjamin kesejehteraan rakyat. Dia yang akan menerapkan syariah Islam, utamanya dalam urusan pengaturan masyarakat seperti sistem ekonomi dan lainnya.

Secara rinci akan dijumpai dan merujuk dalam aturan Islam mengenai pengaturan ekonomi dalam negara yang disebut dengan sistem ekonomi Islam.

Di era khilafah dahulu, sistem ekonomi Islam menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya yang akan diterapkan secara utuh dan menyeluruh.

Karena itu, hanya Islam yang mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh bahkan gratis. Seperti inilah yang harus diterapkan agar muncul kesejahteraan.

Walhasil, di mana ada syariah, maka di situ ada maslahat. “Karena inilah, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.

Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap” (Al Iqtishod Fil I’tiqod halaman 128, Dâr al Kutub Al Ilmiyyah). Wallahu a’lam.[]

*Penulis Jurus Jitu Marketing Dakwah

Comment