RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Lagi-lagi, dengan dalih kebebasan berpendapat, narasi-narasi menghina Islam terus terjadi baik di dalam maupun di luar negeri seperti yang terjadi baru baru ini di Prancis.
Miris sekali, narasi miring tersebut berlangsung tanpa ada upaya mencegah apa lagi memberi sanksi hukum sesuai perundangan dan peraturan yang berlaku.
Dilansir laman mediaumat.news, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerukan kaum Muslimin di Indonesia maupun dunia untuk memboikot semua produk yang berasal dari Prancis lantaran Presiden Immanuel Macron yang tetap bersikukuh bahwa karikatur Nabi Muhammad yang dibuat oleh salah satu majalah Prancis, Charlie Hebdo – merupakan sebuah ekspresi kebebasan berpendapat.
Atas pernyataan Presiden Prancis tersebut, Dewan Pimpinan MUI dalam pers rilis yang ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi, M.A. dan Sekretaris Jenderal MUI Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., Jumat (30/10/2020), menyatakan sikap dan menghimbau kepada umat Islam Indonesia dan dunia untuk memboikot semua produk yang berasal dari Prancis.
MUI juga mendukung sikap Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan anggotanya seperti Turki, Qatar, Kuwait, Pakistan, Bangladesh, yang telah memboikot semua produk negara Prancis.
Selain memboikot, MUI juga menghimbau para khatib khutbah tentang penolakan penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, MUI pun mendesak pemerintah untuk menarik Dubes RI di Paris untuk sementara waktu. “Mendesak kepada pemerintah RI untuk melakukan tekanan dan peringatan keras kepada Pemerintah Prancis serta mengambil kebijakan untuk menarik sementara waktu Duta Besar RI di Paris hingga Presiden Immanuel Macron mencabut ucapannya dan meminta maaf kepada umat Islam sedunia,” tegas MUI.
Mencari Akar Masalah
Sinisme Barat terhadap Islam dan pemeluknya bukanlah pertama kali terjadi. Tidak ada hukum yang tegas yang membuat jera pelaku penghinaan. Hukum yang dipakai dalam sistem demokrasi sekuler saat ini tidak mampu memberikan keadilan dan efek jera bagi pelaku penghinaan serta mengatasinya dengan tuntas.
Dengan kata lain, jika kita masih mesra dengan sistem buatan manusia, tidak mungkin persoalan ini dapat diselesaikan dengan solusi hukum sendiri adilnya.
Penghinaan terhadap Islam sebenarnya hanya sebuah dampak dari sebuah sistem demokrasi sekular yang berlaku di negeri-negeri muslim. Bahkan bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi sekuler menjadi triger munculnya ‘penghinaan’ ini dengan alasan kebebasan berpendapat dan Hak Asasi Manusia.
Karena itu, butuh perubahan sistem dengan mencabut akar masalah, yakni sekularisme, kemudian ditegakkan sistem yang menjalankan seluruh aturan dan nilai yang berkualitas dan adil.
Umat Islam perlu memahami bahwa sistem hukum wajib berdasarkan pada Alquran dan Sunah. Islam harus menjadi dasar dari setiap aspek kehidupan, termasuk masalah hukum.
Tidak hanya itu, proses hukum pembuktian (ahkamul baiyinnat) juga wajib sesuai dengan aturan pembuktian yang ditetapkan oleh Islam.
Hanya dengan tindakan ini keadilan dapat dicapai untuk semua. Semua ini sepatutnya menyadarkan umat bahwa sistem perundangan di negeri-negeri muslim tidak akan mampu menegakkan keadilan kepada umat Islam.
Hukum yang ada juga tidak akan membela umat secara adil ketika Islam dan Rasul dihina.
Sebagai negara pengemban demokrasi sekular, Barat telah gagal menunjukkan wajah demokrasi itu sendiri. Empat pilar kebebasan yang sering diagung-agungkan tak menjadikan masyarakatnya terdidik dengan nilai toleransi tinggi.
Kebebasan berekspresi justru membuka sentimen anti-Islam seperti yang dilakukan Majalah Charlie Hebdo di Prancisa.
Merasa memiliki ruang bebas menggambar karikatur Nabi Muhammad sebagai teroris. Kebebasan yang menjadi pilar demokrasi tak lebih sekadar topeng untuk mempermanis wajah demokrasi.
Padahal faktanya, masyarakat Baratlah yang menjadi pelaku antikeberagaman dan intoleransi. Padahal bila mau membuka fakta sejarah, tanpa kontribusi Islam, adakah Eropa bangkit dan berevolusi hingga detik ini?
Kemunafikan Barat terhadap teori kebebasan dalam demokrasi makin nyata dalam peristiwa ini. Apakah pelecehan terhadap Nabi dan penghinaan terhadap kitab suci umat Islam adalah wujud kebebasan berpendapat dan berperilaku?
Apakah intoleran terhadap umat Islam dan menstigma buruk mereka merupakan wujud kebebasan beribadah (beragama)?
Adakah masyarakat nonmuslim yang melakukan aksi penghinaan itu mendapat hukuman setimpal dari tindakannya? Tentu saja tidak.
Hukum bagi penista agama memang ada. Hanya saja, hukum itu tidak menjamin perlakuan adil terhadap Islam. Islam dan pemeluknya tetap menjadi bulan-bulanan Islamofobia. Semua berawal dari narasi busuk Barat terhadap Islam.
Dalam sistem sekuler, agama hanya diposisikan sebagai salah satu dari sekian nilai/norma yang menjadi rujukan saat pembuatan UU.
Keberadaan agama bukanlah satu-satunya rujukan dalam mengatur kehidupan manusia. Wajar akhirnya agama pun dinistakan. Padahal, seharusnya agama menjadi satu-satunya sumber konstitusi dan perundang-undangan dan agama harus menjadi arah pandang kehidupan umat manusia.
Jika Islam tidak diposisikan sebagai landasan konstitusi dan arah pandang manusia, namun hanya sebatas salah satu nilai yang ada di masyarakat, jangan pernah berharap pelecehan terhadap agama berhenti.
Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan, penghinaan terhadap Rasul saw dan ajaran Islam akan tetap ada jika sistem sekuler dan kapitalisme masih bercokol.
Kembali pada implementasi syariat,
Islam memandang akidah dan syariat Islam adalah perkara penting yang harus ada dan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat.
Negara adalah institusi yang bertugas mewujudkan pandangan ini. Atas dasar itu, negara tidak akan menoleransi pemikiran, pendapat, paham, aliran atau sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Negara juga tidak akan mentolerir perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah dan syariah Islam.
Dalam kasus penistaan agama pun, Islam dengan sangat jelas memosisikan dan menanganinya.
Sebagaimana kisah seorang sahabat buta yang memiliki budak wanita, yang setiap hari menghina Nabi Muhammad saw.
Maka, telah sangat jelas, mengapa kasus penistaan agama masih ada dan terus berulang.
Di samping karena diterapkannya sistem demokrasi sekular, di sisi lain tidak adanya daya negara dalam memberikan sanksi yang membuat efek jera pada mereka.
Alhasil tidak heran jika penistaan agama itu akan terus ada, selama tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka penista agama akan terus berkeliaran.
Karena itu, ketika Islam diterapkan dan penanganannya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulu, maka tidak akan ada lagi yang berani menistakan agama lebih khusus Islam. in syaa Allah.[]
*Pegiat Opini Kolaka
Comment