RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejumlah media memberitakan bahwa para murid sekolah justru jenuh karena belajar dari rumah, karena tugas yang dibebankan begitu banyak. Orang tua, khususnya ibu, juga dibikin stress menghadapi anak-anaknya yang mendadak sekolah di rumah.
Dilansir dari Kompas.com (2/7/20200 – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah menyiapkan episode lanjutan untuk penayangan program Belajar dari Rumah (BDR) di Tahun Ajaran Baru di TVRI sebagai alternatif kegiatan pembelajaran selama masa pandemi Covid-19.
Kemendikbud tengah merancang penyederhanaan kurikulum yang sesuai dengan konteks Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) agar berjalan lebih efektif di tahun ajaran baru 2020/2021.
Sehingga, tayangan dalam program BDR tidak mengejar ketuntasan kurikulum, tetapi lebih menekankan pada kompetensi literasi, numerasi dan karakter.
“Jadi ada satu tim khusus, di bagian tim Balitbang yang sedang merumuskan bagaimana kita melakukan berbagai macam perubahan kurikulum dan asesmen selama masa PJJ agar kemungkinan pembelajaran yang efektif lebih tinggi,” papar Mendikbud Nadiem Makarim dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang disiarkan melalui kanal Youtube DPR RI.
Selain untuk memperkuat kompetensi literasi dan numerasi, tujuan lain program BDR adalah untuk membangun kelekatan dan ikatan emosional dalam keluarga, khususnya antara orangtua dengan anak, melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan serta menumbuhkan karakter positif.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menjelaskan, jadwal di hari Senin hingga Jumat digunakan untuk pembelajaran dengan total durasi tiga jam per hari untuk semua tayangan.
“Jadi masing-masing ada setengah jam. Setengah jam untuk PAUD, setengah jam untuk kelas 1 sampai kelas 3 SD, setengah jam untuk kelas 4 sampai kelas 6 SD, dan setengah jam masing-masing untuk SMP, SMA, dan parenting,” tutur Hilmar.
Dengan begitu, usai menemani anak belajar melalui TVRI, orangtua juga bisa ikut belajar seputar dunia parenting yang “kekinian”. Berikut jadwal terbaru tayangan “Belajar dari Rumah” TVRI Rabu 5 Agustus 2020
Mengurai Akar Masalah
Belajar jarak jauh saat ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Untuk itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan aplikasi dan laman Rumah Belajar sebagai sarana pendukung belajar di rumah. Harapannya pembelajaran tatap muka dari guru dapat tergantikan.
Di lapangan, proses belajar di rumah penuh dilema. Sebagian besar guru ternyata hanya memberikan tugas kepada siswa, tanpa bimbingan. Memang, siswa terbantu oleh internet dalam mencari rujukannya. Namun, tugas kepada siswa tidaklah sedikit.
Banyak orang tua yang merasa keberatan atas tugas yang begitu banyak dari para guru sehingga anak-anak merasa stres.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akhirnya meminta pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi sistem belajar di rumah ini. Menurut KPAI, sistem belajar di rumah yang diterapkan sekolah tidak efektif karena belum ada pemahaman yang baik oleh para guru.
\Bagaimana pun, para ibu tak siap secara teknis ketika kebijakan sekolah di rumah dilakukan tanpa persiapan matang. Sungguh tidak terbayang. Yang pada intinya, para ibu tidak siap menjadi madrasatul ‘ula (sekolah pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Ini memang sangat terasa ketika sekarang ini sekolah itu tiba-tiba “pindah” ke rumah.
Meski hal ini tak bisa dijustifikasi sedemikian rupa secara mentah-mentah. Namun ada baiknya kita coba refleksi sejenak akan adanya kejenuhan para ibu kembali pada perannya selaku guru pertama bagi anak.
Jelas, karena suasana belajar di rumah pasti berbeda dengan sekolah. Wajar jika para murid maupun orang tuanya, khususnya ibu, akhirnya sama-sama stres. Karena itu penting sekali mewujudkan tata aturan kehidupan yang kondusif, dan tidak sekuler.
Namun, yang terjadi di masyarakat saat ini tidaklah sejalan dengan cita-cita output pendidikan kita. Belum lagi, keluarga sebagai pelaku utama pendidikan generasi juga mayoritas masih berbasis sekuler.
Masih banyak keluarga muslim yang tidak menyadari pentingnya memiliki tujuan untuk melahirkan generasi dambaan umat.
Sungguh dalam sistem sekuler semakin nampak, parahnya disfungsi keluarga. Padahal keluarga adalah salah satu pihak yang melaksanakan amanat mendidik generasi.
Bahkan tak jarang para ibu, selaku guru pertama dan utama di rumah untuk anak-anak, malah tidak punya kesempatan mendidik anak dengan baik karena terpaksa harus menghabiskan banyak waktu di luar rumah turut mencari nafkah.
Begitu pun sekolah. Sekolah masih selalu mengalami kendala dalam melakukan proses pembinaan kepribadian anak. Mulai kelemahan kurikulum, kekurangan sarana dan prasarana, kekisruhan birokrasi perekrutan guru, juga kesenjangan antara status guru ASN dan honorer.
Ditambah lagi, sekolah seringkali dianggap sebagai “laundry” untuk mengatasi anak-anak yang nakal.
Begitu juga masyarakat.
Sistem sekuler adalah kehidupan abnormal bagi pendidikan generasi. Masyarakat menjadi lingkungan yang justru tidak menjalankan fungsi pendidikan sebagaimana mestinya.
Alhasil, sistem sekularisme inilah yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan kenyataannya begitu kental mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Selain berakibat menjauhkan pendidikan dari arah dan tujuan membangun kepribadian mulia sebagaimana yang diharapkan, dominasi paradigma sekularisme juga telah melemahkan fungsi-fungsi unsur pelaksana pendidikan, mulai dari unsur instrumen pendidikan, keluarga, hingga masyarakat.
Padahal, sejatinya aspek pendidikan merupakan salah satu pilar utama pengokoh bangsa dan umat. Karena melalui pendidikanlah generasi mumpuni penerus bangsa dan umat ini bisa dipersiapkan.
Pentingnya Penerapan Islam Kaffah
Berbeda dengan Islam. Menurut Syariah Islam, pembelajaran anak harus dikembalikan pada misi penciptaannya oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Yang tak lain yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat [51] ayat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Memang benar, keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi para calon pemimpin.
Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentengi anak-anak dari pengaruh negatif dari luar.
Peran keluarga menjadi penting karena orang tualah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya.
Dalam sistem Islam, semua unsur penyelenggara pendidikan, mulai dari keluarga, sekolah (termasuk para guru), masyarakat bahkan negara, akan menempatkan dirinya sebagai pemilik tanggung jawab. Yang satu sama lain akan saling mengukuhkan karena dorongan keimanan.
Dengan demikian, Negara yang menjadi pilar utama penguat suksesnya pendidikan, yang dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan primer yang wajib dijamin oleh negara. Sekaligus dipandang sebagai salah satu pilar peradaban.
Dengan memberi perhatian penuh agar semua unsur pendidikan, mulai keluarga, sekolah dan masyarakat bisa benar-benar menjalankan fungsinya, dengan penerapan seluruh aturan Islam secara kafah.
Sungguh satu-satunya sistem yang layak diadopsi hanyalah sistem pendidikan Islam yang diterapkan dalam bingkai sistem Khilafah Islam, yang akan mewujudkan ketentraman hidup dan mengundang keberkahan Allah SWT. Wallahu a’lam.[]
*Pegiat opini Kolaka
Comment