Rina Tresna Sari, S. Pdi |
RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Dalam sejarah peradaban bangsa, pemuda adalah aset mahal dan tak ternilai harganya.
Kemajuan maupun keburukan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh pemuda yang menjadi tokoh utama dalam peran melakukan suatu perubahan. Kaum muda memiliki potensi yang bisa diharapkan. Mereka memiliki semangat yang sulit dipadamkan. Terlebih jika semangat bercampur dengan pengetahuan dan diimplementasikan melalui tindakan. Maka akan terciptalah suatu perubahan.
Namun, kalau para pemuda ternyata amoral dan bergaya hidup liberal, apakah akan mampu mewujudkan perubahan? Pada faktanya, dari masa ke masa pemuda yang menjadi generasi pemimpin bangsa ini terus dihantam berbagai virus pemikiran dan budaya Barat. Saat ini pacaran, freesex, aborsi, narkoba, bahkan LGBT menjadi warna kehidupan generasi masa kini. Hal ini membawa generasi pada keterpurukan dan kehancurannya.
Kini mereka terpapar virus liberal sekuler yang memberi ruang kebebasan pada remaja untuk berprilaku kemaksiatan yang mencabut fitrah manusia,mereka berani berbuat tetapi tidak siap bertanggung jawab.
Sebagaimana dilansir Okenews.com Balikpapan- Kasus pembunuhan terhadap anaknya sendiri yang dilakukan oleh remaja berinisial SNI (18) di dalam toilet Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Beriman pada Rabu 24 Juli sekira mendapat kritikan pedas dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan mengapa pelaku bisa tega membunuh dengan keji terhadap buah hatinya yang ia lahirkan.
Dari keterangan SNI dihadapan awak media mengatakan bahwa perempuan asal Tenggarong ini sejatinya tak ingin hal ini terjadi. Namun lantaran belum siap menikah dan belum siap punya anak, ia pun terpaksa melakukan hal itu. Padahal sang pacar diakui SNI telah siap untuk mengarungi rumah tangga bersamanya.(28/7/2019).
Kejadian di atas menjadi salah satu bukti bahwa generasi remaja saat ini tengah di ambang kerusakan yang sangat besar.
Berdiam diri bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi permasalahan ini.
Sudah banyak elemen masyarakat yang fokus dan melakukan berbagai edukasi untuk menyelesaikan masalah ini namun belum mampu melihat apa yang menjadi akar masalah sehingga berbagai upaya yang dilakukan tersebut hanya berujung pada terulangnya masalah-masalah yang serupa.
Kerusakan generasi muda pada hakikatnya disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan dan tak bisa dipisahkan. Bukan hanya masalah keluarga atau pendidikan saja, namun melibatkan faktor-faktor lain seperti sosial, ekonomi, budaya dan politik yang menjadi lingkungan bagi keluarga dan institusi pendidikan.
Maka dapat ditarik sebuah benang merah yang menghubungkan ketiganya bahwa permasalahan generasi muda merupakan permasalahan yang juga terkoneksi dengan sebuah sistem dan undang – undang suatu negara.
Petiana, faktor ketahanan keluarga yang saat ini didominasi oleh paham kapitalis menempatkan materi sebagai standar kebahagiaan keluarga sehingga berdampak miskinnya visi keluarga. Hidup mereka hanya didominasi oleh upaya untuk sekedar mengumpulkan harta dan kesenangan sesaat. Suami dan istri sama-sama disibukkan oleh kerja dan karir hingga mereka lupa peran dan kewajibannya yang hakiki sebagaimana telah diatur oleh hukum-hukum syara’. Dari sini, mulailah keluarga menjadi pincang. Anak-anak kehilangan pegangan, kehilangan panutan dan sedikit demi sedikit lepas kontrol.
Di sisi lain, nilai-nilai agama semakin terkikis dan menjauh dari keluarga oleh paham sekular. Agama dihayati hanya sebatas ibadah ritual belaka dan kehilangan ruhnya sebagai pedoman dan peraturan hidup. Maka tak heran apabila keluarga kehilangan orientasi hidup sehingga nasehat amar ma’ruf nahi munkar antara orangtua dan anak menjadi semakin langka. Hubungan orangtua dan anak menjadi kendor. Walhasil ketahanan keluarga menjadi hancur dan rapuh.
Kedua, faktor edukasi publik atau kontrol masyarakat yang harusnya mampu menguatkan suasana keimanan dan ketaatan masyarakat terhadap Islam dan hukum-hukumnya sudah tercerabuti oleh sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, edukasi publik justru menjadi sarana penyebaran virus materialis dan hedonis. Gaya hidup yang mengedepankan kesenangan dan kenikmatan materi ini adalah sarana bagi kaum kapitalis untuk memastikan barang-barang produksi mereka laris manis di pasaran.
Permasalahannya, konsumen edukasi publik ini mayoritas adalah kaum remaja. Mereka melahap berbagai informasi tanpa penyaringan. Tak ayal, terjadilah perusakan secara massif terhadap kepribadian mereka. Untuk bisa memenuhi biaya tinggi dalam mengikuti gaya hidup modernisme saat ini, sebagian remaja putri tak segan melacurkan diri, sementara yang laki-laki terjun dalam dunia kriminal, bahkan keduanya bisa melakukan penjarahan ataupun pencurian untuk memenuhi keinginan mereka.
Ketiga, faktor sistem pendidikan sekuler yang diterapkan dalam institusi pendidikan saat ini. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum sekuler. Artinya, Islam hanya dipahami sebagai agama yang mengatur urusan akhirat saja, bukan sebagai sistem kehidupan yang mengatur dan memberikan solusi atas setiap persoalan kehidupan manusia.
Kurikulum pendidikan menjadi sarana menyebarluaskan sekularisme Barat seperti pluralism dan liberalisme. Apabila pemikiran semacam ini sudah terinstall dalam benak para pemuda maka akan mudah bagi Barat untuk menancapkan hegemoni ideologinya di negeri muslim terbesar ini. Islam hanya dijadikan sebagai baju luar saja, namun pemikiran yang diemban adalah pemikiran Barat.
Maka selama sistem kapitalis yang mendominasi warna negara ini dibiarkan, maka selama itu pula semua persoalan kerusakan generasi yang terjadi tidak akan bisa terselesaikan secara tuntas.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita berpaling dari sistem kapitalis-sekuler dan kembali kepada sistem Islam yang telah Allah jadikan sebagai solusi bagi setiap permasalah kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]
Comment