RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tabungan Perumahan Rakyat atau yang disingkat Tapera sebenarnya bukanlah institusi baru, sebelumnya bernama Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil ( Bapertarum-PNS).
Bapertarum-PNS memiliki sekitar 6,7 juta orang peserta, baik PNS aktif maupun yang telah pensiun dengan dana kelolaan Rp 12 triliun. Lembaga ini mengumpulkan uang dari PNS dengan memotong gaji setiap bulan. Uang di Bapertarum PNS pada dasarnya adalah uang milik PNS dan harus dikembalikan kepada mereka.
Nantinya setelah pensiun, peserta bisa mendapatkan dana simpanannya beserta hasil dari dana pengembangan yang ditempatkan di deposito bank, surat utang pemerintah, dan investasi lainnya.
Setelah Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2020 lalu, maka PP tersebut jadi payung hukum penyelenggaraan pungutan iuran yang akan dilakukan oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat ( BP Tapera) dalam waktu dekat.
Dengan nomenkelatur baru, BP Tapera kini tak hanya menjadi pemungut iuran bagi PNS, namun bakal mengelola dana dari iuran pekerja yang berasal dari BUMN, BUMD, TNI dan Polri, perusahaan swasta, dan peserta mandiri.
Pada tahap awal, target peserta Tapera adalah PNS, kemudian TNI dan Polri. Kemudian, Tapera diharapkan telah menjangkau 6,7 juta peserta dari ASN, TNI/Polri, BUMN, dan BUMD.
Sementara karyawan swasta atau formal diberi waktu selambat-lambatnya 7 tahun sejak Badan Pengelola (BP) Tapera beroperasi. Iuran Tapera sebesar 3 persen dari gaji, untuk karyawan swasta sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja ( potong gaji karyawan untuk iuran Tapera).
Khusus untuk peserta mandiri, iuran dibayarkan sendiri. (Kompas.com/ Rabu, 03/06/20)
Menanggapi hal tersebut, wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit mengatakan adanya aturan ini justru menambah beban pengusaha, khususnya di saat adanya pandemi Covid-19.
Menurutnya, saat dunia usaha sedang tidak kondusif, ekonomi melemah, beban pengusaha begitu besar dan rata-rata pengusaha membayar sekitar 10,24 persen hingga 11,74 persen dari total gaji untuk jaminan sosial pekerja.
Bila ditambah lagi dengan pembayaran Tapera, maka beban pengusaha akan semakin bertambah. (kompas.com/ Jumat, 05/06/20).
Tapera merupakan penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.
Peserta Tapera adalah PNS, BUMN, BUMD, TNI dan Polri, perusahaan swasta, dan peserta mandiri pekerja, divmana dalam pembayaran simpanan peserta pekerja dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja.
Akan tetapi, tidak semua peserta akan mendapat manfaat dari Tapera, terdapat beberapa syarat dan ketentuan.
Komisioner BP Tapera Adi Setianto menjelaskan, terdapat beberapa kriteria bagi peserta untuk bisa masuk kategori penerima manfaat dari Tapera.
Kriteria pertama adalah pihak-pihak yang belum memiliki atau sedang ingin memiliki rumah pertama. Basis penerima manfaat adalah peserta yang memenuhi kriteria penerima manfaat atau priority list, yang diterjemahkan BP Tapera nanti berupa peraturan BP Tapera.
Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat jelas merupakan kebijakan yang tidak memihak rakyat. Tapera tidak ubahnya BPJS Kesehatan. Masyarakat dipaksa membayar iuran, di mana tidak semua peserta akan mendapat manfaat dari iuran bulanan yang disetorkan.
Begitupun dengan Tapera tidak semua peserta mendapat hasil atau manfaat dari dana yang dibayar setiap bulannya, dan peserta pun tidak bisa mengklaim dana yang sudah disetorkan. Peserta hanya dapat mengambil dananya setelah pensiun bagi Pekerja; Telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pekerja Mandiri; Peserta meninggal dunia, Peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut.
Artinya peserta menyetor iuran setiap bulannya untuk rumah yang tidak pernah mereka miliki.
Jelas pembentukan Tapera adalah bentuk kesewenang-wenangan rezim kapitalis untuk menyedot dana dari masyarakat dan ini adalah bentuk lepas tanggung jawab pemerintah menyediakan sandang, pangan dan papan bagi rakyat lemah.
Sungguh hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah “seorang imam adalah penggembala (pelayan), dan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap seluruh rakyat yang dilayaninya”. (HR. Bukhari dan Ahmad).
Amanah itu harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun.
Mereka akan mengelola keuangan sesuai dengan pertimbanga dan kepentingan rakyat secara umum tanpa membedakan perbedaan agama.
Pemimpin dalam Islam tidak akan berani bermain-main dengan riba. Apalagi menjerumuskan rakyatnya pada dosa besar itu.
Sabagaimana sabda Rasullulah SAW “Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR. Ibnu Majah).
Pemimpin yang lurus dan beriman akan mencari uang dengan cara halal. Ia akan mendapatkan pemasukan utama melalui pengelolaan SDA yang ada.
Dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Bukan hanya dengan mengandalkan pajak dan pungutan lainnya.
Itulah kepemimpinan Islam yang tentu hanya bisa dimiliki saat sistem Islam yang diimplementasikan secara kaffah. []
Comment